Kamar Indekos


Harusnya jam segini aku belajar soal soal TPA, tapi karena lagu ‘Kukira Kau Rumah – Amigdala” yang mendukung suasana hati akhirnya kuputuskan untuk menulis saja. Mungkin cerita ini terdengar wagu, tapi dalam kehidupan nyata aku ini cuma seonggok daging berlemak yang baperan.

Kemarin malam, dia bilang pacarnya minta putus lagi. Disaat itu pula jantungku berdebar debar, “iyain aja mas.. kali ini iyain aja” batinku. Tapinkarena aku seirang yang santun, aku biang, “kalau masih bisa dipertahankan kenapa harus putus? Toh kalian pacaran sudah lama, keluarga sudsh saling kenal, kanapa harsu putus?”

Dia bilang, “Furi bilang dia bosan sama hubungan kami yang stuck di sini aja. Furi ingin putus tapi takut ketika sudah putus dia gak bisa dapat yang sebaik aku. Padahal aku ini jahat lho..”

“Memang..”

“Aku itu heran, banyak orang yang bilang aku jahat padahal aku lho jahat”

“Jahat buangeeeet.. tapi ya mas, aku ngerasa kalau kalimat dia takut gak bisa nemuin orang yang sebaik kamu kedengaran egois banget. Pokok egois level MAX.”

Mendadak suasana menjadi senyap, suara motor yang wang weng di depan rumah tidak terdengar lagi. Jujur semalam aku sudah ngantuk efek samping obat flu tapi terpaksa melek karena merasa dia butuh pendengar. Itung itung balas budi karena dia sudah sering dengar sambat darurat yang bahkan pacarku pun ogah dengarnya.

“Tapi malahane kok, bebanku berkurang satu..” balasnya.

“Pointnya, sekarang kamu nikmati aja hidupmu yg dulunya serba Furi Furi Furi. No matter how, you must love your self as well as you love me. Hahaha”

“Hahaha, injih nyai. Cepet tidur sana biar nanti bisa sahur..”

“Siap bossque..” tapi saking deg degannya aku gak bisa tidur sampai sahur.

Selama ini aku tau dia tidak benar benar suka aku, selama ini kami sepakat untuk saling support sesuai kapasitas masing masing, selama ini kami berandai andai untuk buka usaha bareng terus keluar dari relationship kami yang sama sama toxic tapi gak bisa. Akhirnya kami memutuskan untuk jadi kakak adik saja, walau nyatanya kami seumuran banget. Lagian, setelah sekian banyak cerita yang kami bagi cuma ada satu point yang aku dapat, “kami hanya perlu saling dukung tanpa perlu keluar dari hubungan toxic masing masing”.


AKU KEMBALI..

Hallo, apa kabar? Apa masih ada yang mau baca?

Hari ini, hari paling menjengkelkan dalam hidupku. Makanya aku mampir kesini untuk sekedar sambat darurat. Jujur, setelah dua tahun tidak posting apapun di blog, aku jadi canggung buat nulis apapun. Bahkan skripsi..

Ohiya, funfact: aku sekarang sudah sarjana. Time flies ya, terakhir nulis bukannya masih semester tujuh, kok sekarang udah sarjana aja? Singkat cerita skripsi yang aku kerjakan berjalan lancar jaya makmur sentosa. Alhamdulillah juga karena sudah diberi kesempatan untuk lulus sembilan semester, yang artinya tidak dapat predikat cumlaude (eh nulisnya bener gini gak sih?).

Mau nulis apa lagi ya..
Karena ini kali pertama aku nulis setelah ratusan purnama berlalu, rencananya aku pengen flashback sama segala sesuatu yang terjadi dua tahun terakhir, tapi tiba tiba lupa haha.

Gimana kalo ngomongin soal percintaanku selama dua tahun terakhir, setuju? Harus setuju.

Pertama, aku berhenti nulis cerbung Pria karena tokoh Pria dalam dunia nyata tiba tiba punya pacar. Dimana aku sampai hari ini masih rada snewen kalo inget moment itu. Jelas aku ikut bahagia atas apa yang dimiliki Pria versi nyata saat ini, tapi ada satu hal yang membuat aku merasa, "kenapa sih?". Aku pikir kami cukup dekat untuk berbagi seputar kehidupan sehari hari tapi bodohnya aku kelewatan satu moment dimana Pria versi asli mulai jatuh cinta sama seorang perempuan berambut panjang dengan lipstik merah menyala. Dari situ aku mulai menarik diri dari segala hal tentang Pria versi asli. Bahkan sejak saat itu aku jadi ogah ogahan main ke kosan tempat dia tinggal. Padahal kosan Pria versi asli adalah rumah kedua di Jogja. Singkat cerita, setelah wisuda aku mengembalikan barang barang Pria versi nyata yang kebetulan ada di kamarku. Iya, barang itu lukisan sama buku lapuk berisi tutorial menggambar anatomi tubuh.

Kedua, setelah Pria versi nyata hilang dari kehidupanku yang fana. Aku ketemu sama seorang baru dari jogja belahan bumi bagian selatan. Dia sungguh menggemaskan. Bersamanya akal sehatku terasa diobrak abrik. Iya, aku sebegitu gila sama dia yang jalan pikirannya menyimpang dari jalur pikirku. Awal tahun 2018 kami sepakat untuk pacaran dan satu jam lalu aku memutuskan untuk menyerah. Aku memutuskan untuk berhenti membebani dia dengan segala obsesiku. Ya pokok gitu.. kapan kapan kalau kejiwaanku sudah tidak berantakan, aku ceritakan seberapa besar obsesiku padanya.

Ketiga, aku mulai merasa ngantuk karena mataku bengkak habis menangisi kebodohan yang sama.

Jadi, sampai sini dulu ceritaku..
Kalau besok ada waktu aku ceritain hal baru.

Love you..

Jogja, saya jatuh cinta!

Saya jatuh cinta dari lempuyangan sampai giwangan, dari bukit bintang sampai prambanan, dari gunung kidul sampai parangtritis, dari jakal sampai gejayan, dari jalan magelang sampai monjali, dari tugu jogja sampai nol km, saya tetap jatuh cinta pada jogja dan satu manusia bertubuh jangkung, rambut ikal, hidung mancung, kidal, dan gila seperti kamu.

Selama ini saya jatuh cinta pada senyum perpisahan kita di terminal giwangan dan jatuh cinta lagi pada senyum yang sama di stasiun lempuyangan. Saya mencintai ombak pantai gunung kidul sampai bibir pantai parangtritis. Lagi lagi saya jatuh cinta pada bukit bintang dan siluet wajahmu. Saya akan mendekap erat punggungmu dari jalan magelang sampai sewonderland kalau perlu. Saya akan tetap mencintai rabut ikal sebahu yang kau kuncir kuda saat hunting foto dari nol km sampai tugu jogja. Saya akan selalu memandangi caramu menulis, melukis, dan memetik gitar dengan tangan kidal karena saya cinta kamu!

Entahlah, mungkin saya mulai gila, tapi untuk kali ini saja biarkan saya mencintai semua kurangmu dengan segala kelebihanku. Biarkan saya menikmati empat tahun paling ekstrim bersamamu. Ayo, bersama nikmati setiap jatuh bangun ini entah dengan suka atau derai air mata, selama itu kamu, saya tetap cinta!


Healah, Muk!

Untuk punggung yang siluetnya kunikmati setiap pagi,
Kita cuma bisa saling lirik sambil senyum tipis. Setiap hari kita cuma bisa melakukan hal konyol seperti itu. Berhari hari, bersemester semester kita cuma sebatas teman sekelas yang jarang tukar kabar kalau sedang libur panjang. Tanpa kamu sadari, setiap pagi aku rajin melirik wajah kantukmu di deret kursi paling belakang. Tanpa aku sadari, aku menjadi kegirangan setiap kali kamu lempar senyum khas sok imut itu. 

Kenapa harus kamu? 
Bayangkan selama lima hari dalam lima semester kita selalu betemu tanpa jeda. Kamu rajin kuliah walau sambil tidur. Kamu jarang absen walau dalam keadaan kantuk. Kamu rajin kuliah.. yang aku tau cuma itu. Aku tidak pernah tau banyak tentang kamu. Kita tidak pernah bicara panjang lebar meski sering sarapan bareng di pendopo kampus. Kamu asik dengan manusia manusia berasap sementara aku asik pindah pindah duduk untuk menghindari asap. Wajahmu itu selalu tertutup asap vapor dengan liquid vanilla. Asap yang selalu menjadi bahan perdebatan kita berdua. Apa lagi ya? Aku tidak tau banyak tentang kamu. Jadi aku bingung harus menulis apa lagi.

Tentang note yang aku tulis di laptopmu beberapa bulan lalu..
Aku kira kamu tidak akan pernah membacanya karena hilang bersama seluruh data di Disk C. Waktu itu yang aku ingat, aku sedang mengagumimu diam-diam, aku sedang berdiri memandangimu dari kejauhan. Sengaja menjaga jarak supaya kamu tidak menyadari keberadaanku. Supaya semua yang aku sembunyikan tidak kamu temukan. Aku takut kita berakhir seperti seorang teman sekelas yang membuatku hilang akal sampai sampai ingin mendorongnya masuk ke dalam liang sedalam 13 meter lalu menguburnya hidup hidup. 

Setelah membaca note yang aku tulis, apa balasanmu?
Balasanmu cuma pertanyaan klarifikasi seperti : aku baca notemu yang di laptopku itu barusan banget setelah pulang liburan dari Lombok. 
Apa cuma itu?

Cangkringan

Sebelumnya Es Bang Joe Monjali

“Sebelum ke lokasi, kamu bisa mampir kos saya dulu kan?”

“Ngapain?”

“Bangunin saya,” Pria nyengir kuda.

“Ditelfon aja gimana?”

“Yaelah! Alarm aja gak kedengeran apa lagi bunyi telfon.”

“Iya deh iya..”

“Kalo udah sampek kos..”

“Langsung masuk kamar aku aja. Gausa ketuk pintu dulu. Per-cu-ma!” sahutku.
Pria terkekeh.

***
Pukul tujuh kosong kosong aku sudah bertengger di depan kamar Pria. “Pri, udah bangun belum?” pelan pelan ku ketuk pintu kamarnya. Tidak ada tanda-tanda kehidupan, batinku. Perlahan kubuka pintu dengan ornament stiker band band metal itu. Udara dingin segera menyergapku. Aroma pengharum ruangan menyapa hidungku lembut. Pria masih tidur berbalut selimut bergambar club sepak bola MU.

“Siapa lu? Masuk kamar orang seenaknya!” seorang laki laki meneriakiku dari arah belakang. Spontan aku membalikkan badan. “Siapa lu? Maling?” hardiknya.


“Aku..”

“Lu maling kan? Iya? Ngaku deh lu!”

Bruuuk! Sebuah bantal mendarat tepat di muka laki laki bertubuh jangkung dihadapanku. “Dia temen saya,” kata Pria dari balik selimutnya. “Maafin dia ya, Ra, dia emang arogan gitu”

“Aku yang salah kok,” ucapku lirih.

“Emang lu yang salah! Masuk kamar orang main nyelonong aja. Gak punya sopan san-”

“Bang, udah deh..” Pria bangkit dari tempat tidur lalu menuntunku keluar kamar. “Maaf ya, saya lupa gak bilang kalau abang saya seminggu ini di Jogja.”

Aku mengangguk.

“Tunggu kami di ruang tamu aja ya. Nanti biar saya yang jelasin ke dia.”

“Iya,” jawabku.

Pria memandangiku sebentar. “Imut banget sih kalau lagi ngerasa bersalah gini,” Pria mengacak acak rambutku.

***

“Uqi”

“Rara”

“Kalian yang akur ya,” ucap Pria dengan nada menggoda.

“Ohya, Ra. Hari ini kita kumpul di basecamp dulu atau langsung ketemu di rumah bu Endah?”

“Kata Kak Banyu langsung ketemu di rumah bu Endah aja”

“Lu kalo ngomong sama Rara emang sok lembut gitu?” bisik Uqi sesaat kemudian.

Pria mengangguk pelan. “Pencitraan..” jawabnya.

“Anjir! Orientasi kamu sudah berubah?” celetuk Uqi.

***

Bau angin Jakal atas memang berbeda dengan Jakal bawah. Aku menghirup nafas dalam dalam. Rasanya seluruh rongga dadaku dipenuhi dengan kesejukan yang entah kapan bisa aku rasakan lagi. Dan semua kesejukan itu hilang ketika suara Uqi terdengar melengking di telinga.

“Lu niat ngecrew apa mau camping? Bantuin Pria nurunin alat sana”

Aku tak menjawab. Cukup! Hari ini tidak akan seasick yang aku bayangkan. Pelan pelan kuangkat satu box berisi lighting portable. “Udah, Ra. Biar saya aja yang keluarin alatnya. Itu berat..” Pria meraih box lighting dari tanganku.

“Aku bisa kok. Selow aja..”

“Serius?”

Aku mengangguk.

“Orang kerjanya lelet begitu ngapain lu ajakin sih?” sidir Uqi ketika bersimpangan denganku.

Disisi lain ada Banyu yang menyaksikan segelintir drama antara aku dan Uqi.

“Temen lu yang jadi campers matanya sinis banget sih?”

Kali ini Uqi merubah fokusnya ke Banyu yang ketenangannya terusik karena tas kameranya ditemukan dalam kondisi terbalik di bagasi mobil.

“Liat deh, males gue liatnya.”

“Bang..” ucap Pria geram.

“Apa?” balas Uqi.

“Saya kesini mau kerja, bang. Kalau film saya bagus bisa lolos kurasi saya bisa dapat penghasilan. Plis jangan bikin semuanya jadi gak nyaman” tandas Pria.

“Sok, pulangin gue ke kos!”

Untuk pertama kalinya aku melihat muka Pria merah padam. “Abang mau balik? JALAN KAKI SANA!!”

Uqi terbelalak. Dan sejak kejadiaan itu aku memilih untuk  diam sembari menebar senyum kesana kemari. Deadline yang semakin dekat membuatku berharap semoga mood Pria tetap terjaga jadi cukup sekali saja kami take di sini.

***

Selesai take di jakal atas rencananya kami akan melanjutkan perjalan ke gunung kidul untuk menemui narasumber kedua. Tapi mendadak Pria merombak total agenda hari ini. Pria bilang kondisi tubuhnya sedang tidak fit. Pria ingin segera pulang dan tidur yang lama entah sampai kapan.

“Ra, maaf..” ucap Pria pelan.

“Maaf buat?”

“Saya gak bisa antar kamu pulang. Kamu mau kan pulang bareng Banyu?”

“Mas Banyu mau gak pulang sama aku?”

“Sini sini.. sama Om,” jawab Banyu.

“Eh Pri, titip kamera aku di jok tengah. Awas aja sampe berubah posisi kaya tadi”

Pria tak menjawab. Tubuhnya kini masuk kedalam kapsul berroda lalu lenyap ditelan jalan.

Es Bang Joe Monjali

Sebelumnya Mad by NeYo

Siang ini matahari membakar Jogja dengan ganasnya, membakar setiap orang yang melintasi jalan Monjali dengan girangnya, termasuk aku. Sesampainya di kedai jus, kudapati Pria sedang duduk manis bertemankan sebuah kamera dan laptop. Pelan-pelan aku mengamati menu yang ada.

Suwe tenan e..” kalimat pembuka dari Pria yang dari tadi mengamatiku dari jarak lima meter.

“Bingung” jawabku singkat.

Lah, ngopo?

“Enggak..”

Lah, kowe ki ditekoni opo jawab e opo

“Ha?” Aku memfokuskan pandangan pada Pria.

Nah to.. Aku ngomong ra to’ rungokke”

“Hahaha.. ngapuralah

“Itu bahasa mana lagi?”

“Ngapak,” aku terkekeh dan disambung tawa renyah dari Pria.

Pria mengamati laptop dihadapannya. “Sudah 70%, dek, gimana menurutmu?”

“Ha? Piye, mas?

Pria melipat tangannya di atas meja, memandangku lurus. “Kamu kenapa?”

“Aku?” tangan ini mengarah kehidungku sendiri.

Iyo, moso mas tukang jus

Aku tertawa pelan.

Healah, piye?” tanya Pria dengan wajah serius.

Aku menggeleng mantap.

“Boleh saya baca pikiran kamu lagi?” tatapnya penuh selidik.

“Jangan!” cegahku segera.

“HAHAHA!” keras keras Pria tertawa. “Kalau gitu, mending kamu aja yang cerita,” Pria menyandarkan tubuhnya di kursi.

Aku mangatupkan mulut.

“Oke, kalau memang gak mau cerita kamu yang traktir saya.”

Aku mengangguk.

“Ah, gak asik! Kamu kenapa sih?” tatap matanya menyelidik.

“Aku baik baik aja. Bahkan lebih baik dari yang kamu lihat sekarang,” ujarku apa adanya.


Pria mengangguk. 


***

Suara ketukan pintu sore ini mengacaukan jam tidur siang paling berharga. Kubuka pintu kamar tergesa-gesa. Kulihat Reo berdiri di depan pintu sambil menenteng sekotak donat berlebel J.CO lengkap dengan seringai termanisnya. Lama kupandangi tampang tak berdosa manusia dihadapanku ini. Ada yang berubah. Cara berpakaiannya yang acak adul sekarang lebih tertata, rambutnya kini tersisir rapi mendekati kata klimis, dan oh my god dia pakai behel. Dasar laki laki metropolitan, batinku.

"Ini buat kamu," dia menyodorkan sekotak donat itu padaku. "Tadi aku baru nonton di Mall sebelah, terus keinget kamu, jadi aku sempatkan buat mampir".

"Aku boleh masuk?" tanyanya.

"Duduk di situ aja," aku menunjuk lantai teras depan kamar sambil meraih sapu dari dalam kamar.

Reo tampak kaget. "Katanya kamar kosmu bebas, masa aku gak boleh masuk?"

"Kalau buat kamu gak ada kata bebas bebasan lagi," aku duduk selonjoran di teras. "Kalau kamu mau berdiri sampai satu jam kedepan juga gak papa kok."

Akhirnya Reo jongkok di sampingku. "Ra, kamu yakin gak mau ngajakin aku masuk?"

"Kenapa sih? Sejak kapan kamu jadi manja gini?"

"Sejak ditinggalin sama lo!" ucapnya sambil ndeprok.

"Kenapa?"

Reo hanya diam. 

Aku menghidupkan mp3 dari handphoneku. Kali ini lagu Never Forget You by Zara Larsson jadi lagu pengiring telapati antara aku dan Reo. Diam diam aku melirik Reo yang asik dengan tatapan kosongnya. Aku tau, kalau dia sudah kehilangan titik fokus dari pandangannya itu berarti ada sesuatu yang ingin dia tanyakan tapi tidak tau bagaimana caranya.

"Kalau mau tanya, tanya aja, gausa kebanyakan drama," ucapku ketus.

"Hmmm.. aku gak tau harus mulai dari mana," ucap Reo cemas. "Aku tau hubungan kita akhir akhir ini sedang tidak baik baik saja. Kamu mengabaikan semua panggilanku, kamu membaca semua chatku tanpa balasan, kamu menghindari aku, kamu melewatkan hari wisudaku, dan kamu tidak mengucapkan selamat ulang tahun untukku. Aku gak nyangka kalau kamu bisa ngelakuin semua itu ke aku. Selama ini yang aku tau, kamu adalah perempuan paling sabar, paling pemaaf, dan paling pengertian yang pernah aku temui. Ternyata kesalahanku di Bujang beberapa bulan lalu sudah merubah semua yang ada di dalam dirimu. Aku sudah tidak tahan lagi. Aku gak tau harus ngehadapi kamu dengan cara seperti apa lagi."

Aku memandanginya tanpa berkedip. Dalam situasi seperti ini rasanya aku ingin menendang kepalanya sampai lepas, meremas jemarinya sampai remuk, dan berteriak kencang di telinganya. "Terus?" tanyaku.

Reo mendongak pelan. "Aku minta maaf," ucapnya lirih.

"Ha? Apa?" aku mendekatkan telingaku.

"Aku minta maaf," ucapnya sekali lagi.

"Aku maafin," aku berdiri kemudian masuk kamar dan menguncinya dari dalam.

"Ra, dengerin aku sebentar," ucap Reo dari balik pintu. "Apa pun yang terjadi diantara kita aku mau kamu tetap bahagia. Aku selalu mendoakan yang terbaik dengan kamu. Aku mau kamu medapatkan orang yang lebih baik ketimbang aku. Sekarang kamu bebas memilih jalan hidupmu sendiri, gak perlu ada campur tanganku di dalam pilihanmu. Kamu bebas kencan sama siapa pun, Ra. Tapi plis, tolong, jangan sama Pria."

"Sekali lagi, aku minta maaf, aku sudah melakukan kesalahan yang lebih mengerikan daripada memepertemukan kamu dengan Mela. Maafkan aku karena sudah memperkenalkan kamu dengan Pria. Aku kira Pria yang kita temui di Malioboro itu masih sama seperti Pria yang aku kenal dua tahun lalu. Ternyata itu semua salah! Aku mohon, sekali ini saja, tolong dengarkan perkataanku ini. Sebelum kamu melangkah terlalu jauh, aku mohon, berhentilah sekarang," pintanya.

***

"Hayolooo, ngelamun."

"Enggak kok," aku pura pura fokus pada naskah ditangan.

"Yang ini kayanya perlu di revisi deh," aku menunjuk sebuah coretan gambar di ujung kertas.

"Oke, aku bisa revisi malam ini. Mau direvisi jadi apa?" Pria terkekeh.

"Jadi, kita bisa mulai take kapan?"

"Dua minggu lagi," jawab Pria mantap.