Untuk kamu yang selalu ada dalam tulisanku

Dear Giant...
Mungkin kamu tak akan pernah membaca tulisan ini dengan alasan tak memiliki cukup kuota. Namun hanya dengan cara ini aku bisa memperlihatkan sisi lain dari aku yang tak pernah kamu ketahui. Kita sering berbicara via telfon hingga dini hari, tapi hitungan jam tak lantas membuatmu mengenaliku secara detail. Kamu belum tau betapa busuknya aku, betapa gilanya aku ketika menginginkan seseorang, betapa sadisnya aku ketika aku ingin mengeluarkan seseorang dari kehidupanku dan andai kamu tau sisi lain dari aku, kamu pasti mengurungkan niat baikmu untuk menyatukan aku dengan seseorang dari masa laluku.
Cukup kamu tau, aku sangat bersyukur karena telah dipertemukan dengan kamu. Selama berbulan-bulan hidup di kota orang, kamu adalah orang pertama yang menjabat tanganku dan menyebut dirimu sebagai “Adam”. Malam perkenalan kita memang tak sesempurna FTV, tapi entah kenapa perkenalan yang sudah berlalu beberapa bulan masih melekat dalam ingatan. Malam itu kita duduk di teras depan tempat kos-ku. Menikmati lalu lalang kendaraan sembari mendengarkan cerita singkatmu tentang Jogja, hanya seperti itu dan tak ada yang spesial.. setelah bicara panjang lebar layaknya sales alat dapur, kamu berpamitan untuk pulang.
Cerita berhenti disitu.
Aku hanya mengingat namamu tanpa tau dimana letak asrama yang pernah kamu ceritakan, dimana kamu kuliah, dan status hubunganmu sekarang. Dan beberapa hari kemudian kamu muncul dengan sapaan yang kaku. Dari sapaan kaku itu kita memulai babak baru, aku menyebutnya dengan perkenalan ke-dua. Hari itu juga untuk pertamakalinya kamu menelfonku, mengajakku bicara hingga lewat jam 1 malam. Awalnya kita hanya membahas project yang sedang aku kerjakan, namun lama kelamaan obrolan kaku itu berubah menjadi obrolan yang membuat waktu berlalu tanpa kendali. Obrolan yang membawamu dalam sebuah pengakuan.. pengakuan yang sama, yang sering aku dengar dari banyak laki-laki di luar sana; aku membuatmu nyaman. Tak berhenti sampai disitu, kamu mulai bicara ngelantur saat aku memberi tanggapan yang sama tentang kamu. Waktu itu aku bicara apa adanya karena aku adalah orang yang tak mudah akrab dan tak begitu suka bicara panjang lebar dengan orang yang baru aku kenal.
Satu.. Dua.. Tiga..
Tiga jam berlalu, obrolan hangat itu masih berlanjut. Hingga kamu mengajakku membicarakan perasaan. Dari situ kamu tau bahwa sampai hari ini aku masih sendiri, sedangkan kamu masih enggan mengakui status hubunganmu dengan alasan kamu takut aku menjauhimu ketika aku tau bahwa kamu sudah tak lagi sendiri. Iya, sampai hari ini pun kamu sedang menjalin hubungan jarak jauh dengan seorang wanita yang berasal dari kota yang sama dengan kamu. Sedangkan aku hanya tertawa nanar ketika kamu mengakui status hubunganmu itu. Aku menarik nafas.. kecewa. Untuk kesekian kalinya aku merasa sangat nyaman dengan seseorang yang telah menjadi milik orang lain. Apa di dunia ini tak ada seorang yang sendiri?
Hari berlalu..
Fastlane handphoneku penuh dengan pesan singkat dan beberapa panggilan masuk darimu. Setelah aku setuju untuk tidak tinggalkan kamu hanya karena kamu memiliki kekasih diluar sana membuat kamu semakin tak terkendali. Intensitas pangilan masuk semakin rapat.. hingga pertemuan kedua kita tiba. Kamu menjemput aku untuk pergi ke asrama yang pernah kamu ceritakan sebelumnya, ya masih dengan dalih mengerjakan project yang sempat aku konsep bersamamu beberapa malam sebelumnya. Sesampainya di asrama aku sempat ngobrol dengan beberapa penghuni asrama yang notabene sekota dengan aku dan kamu. Pertemuan kedua kita tak berjalan mulus karena kamu memilih diam. Sejak pertemuan kedua itu kita sudah jarang berkomunikasi dan aku sendiri juga mulai acuh dengan kamu.
Yang ada di dalam pikiranku waktu itu..
Sepulang dari asrama pikiranku kacau, semua hal yang membuatku menilai bahwa kamu adalah orang baik seketika hilang. Aku tak habis pikir dengan cara kamu yang memperlakukan aku begitu manis, sementara jauh di sana ada seorang wanita yang sedang berjuang mati-matian untuk pertahankan hubungan kalian. Dimana letak keagungan cinta yang selama ini kalian puja? Bahkan hanya karena ketidakmampuan kamu mengontrol emosi membuat kamu dengan mudahnya menggenggam tanganku. Sedangkan kamu tak pernah memikirkan betapa porak porandanya hati wanitamu ketika dia tahu laki-laki pujaannya sedang bergandengan tangan dengan seorang yang baru dikenal.
Untuk kedua kalinya kamu menelfonku..
Aku tau kamu baru saja sakit flu dan aku sangat merasa bersalah karena tak memiliki cukup waktu untuk datang menjengukmu. Malam itu aku tak mendengar suara merdumu, flu benar-benar mengoyak pita suaramu sampai-sampai hanya nada-nada sumbang yang bisa kamu keluarkan. Namun aku cukup menikmati percakapan malam itu. Percakapan yang dimulai dengan pertanyaan, “apa kamu suka denganku?” waktu itu aku tak bisa menjawabnya dengan jelas. Aku berkelit habis-habisan karena amarah yang sempat menguasaiku sepulang dari asrama waktu itu. Lancang!
Keesokan harinya kamu menjemputku di kampus, mengajakku menyusuri jalan protokol kota Yogyakarta untuk menuju wonosari. Mendung tebal mengantar perjalanan kita ke Gunung Kidul, dalam berberapa menit motor kesayanganmu melesat cepat ke tempat tujuan. Sebenarnya perjalanan yang kita lalui relatif lebih lama daripada waktu tempuh yang pernah aku lalui bersama beberapa teman asramamu saat survei lokasi untuk makrab. Disepanjang perjalanan pun kamu tak ada hentinya menggodaku. Entah kamu lupa dengan wanita itu atau kamu memang sengaja membuat seolah-olah tak ada seorangpun yang tersiksa dengan jarak. Lucu, laki-laki macam apa kamu ini? Mendung yang mengiringi perjalan kita mulai menepi, dari ketinggian "Bukit Bintang" aku bisa melihat kota Jogja yang disirami air hujan. Menikmati pemandangan seindah ini dengan seorang yang salah, batinku. Aku bisa apa? Aku bisa menipumu habis-habisan,berusaha untuk menghindari pertanyaan yang berbau "perasaan", tapi aku tak mungkin menipu diriku sendiri. Aku tak bisa.
Dan..
Hari ini aku belajar berpikir jernih.. berpikir tentang diriku sendiri, kamu, dan wanitamu. Jika wanitamu berhasil menemukan tulisan ini aku akan meminta maaf padanya. Dengan rasa menyesal aku meminta maaf karena mungkin sampai wanitamu temukan tulisan ini pun aku masih belum bisa lepas dari bayang-bayangmu. Selain itu aku juga ingin mengucapkan selamat untuk wanita yang bisa menangkan hatimu, walau sempat terucap sebuah penyesalan karena waktu tak pertemukan kita sebelum kamu memutuskan menjalin hubungan dengan wanitamu, tapi yang jelas selama sebelas bulan terakhir wanita itu mampu membuatmu tersenyum bahagia.
Ketika kamu membaca tulisan ini, aku mau kamu berhenti menganggapku sebagai simpananmu.