Benang Kusut Dalam Otakku

"Kamu selalu sms aku. Aku selalu bales sms kamu. tapi, kenapa kamu gak pernah bales smsku lagi?"

Lama aku berpikir harus membalas smsmu dengan kata-kata macam apa. Akhirnya aku hanya membalas, "Soalnya aku gak tau harus bales apa".

Sebenarnya aku punya banyak pertanyaan untuk kamu. Pertanyaan tentang kamu dan masalah yang entah sudah berlalu atau masih harus berlanjut. Saking banyaknya pertanyaan itu sampai-sampai aku bingung harus memulainya dari mana.

Kamu bilang, "aku males kalo udah ketemu tapi kamu gak mau ngomong. Wetmeruwet."

Aku sudah siapkan daftar panjang pertanyaan sebelum menemuimu, tapi lagi-lagi tatapan matamu selalu mengoyak hati dan membuat susunan kataku menjadi benang kusut. Aku tak tau harus memintalnya dengan cara apa jika benangnya saja sudah kusut.

Kamu bilang, "aku kan sudah bilang waktu itu, kamu ngomong aja. Aku denger, aku juga tanya-tanya sama kamu. Tapi kamu malah balik tanya"

Hei, aku tau betul, waktu itu kamu masih setengah sadar. Baru tidur magrib dan harus buru-buru bangun sekitar jam 8 karena ada aku yang hampir setengah jam berdiri di depan pintu kamarmu. Kamu suruh aku masuk kamarmu yang gelap, menghidupkan lampu, lalu aku hanya bisa duduk sambil melihatmu bergulung-gulung malas di atas kasur. Jadi, bagaimana bisa aku memulai obrolan serius dengan orang setengah sadar seperti kamu waktu itu?

Aku juga masih sangat ingat, waktu itu kamu memaksa aku untuk jelaskan isi pesan singkat yang aku kirim di malam sebelum.  Belum sempat aku jelaskan apapun ketika perbincangan kita mendadak panas dan aku geram dengan percakapan kita yang masih aku ingat sampai sekarang.

Kamu : percuma kamu kesini kalo gak mau ngomong. Kamu pulang gak dapet apa-apa.

Aku : percuma juga aku ngomong panjang lebar. Toh akhirnya aku juga gak bisa dapetin kamu kan?

Kamu : ya gak bisalah!

Percakapan itu membuat hatiku dongkol. Aku beranjak dari tempat duduk dan meninggalkan kamu yang masih saja gulung-gulung diatas kasur. Mau tidak mau aku alihkan kekesalanku dengan cara ngobrol di ruang tamu sambil menonton tv  bersama salah seorang teman kosmu. Beberapa saat kemudian kamu melintasi ruang tamu, melewati aku begitu saja, dan berlalu meninggalkan tempat kos. Entah kamu pergi kemana, mungkin membeli makan. Tapi caramu melewatiku membuat aku semakin geram, seolah kamu lupa dengan nada tinggi yang sempat keluar 5 menit lalu.

Kali ini aku ingin jelaskan maksud smsku malam itu. Aku bilang, "aku benar-benar kehilangan kamu". Dulunya aku kira melepaskanmu pergi, membiarkanmu menatap sinis ketika bertemu, dan menjaga jarak denganmu akan sama mudahnya dengan yang aku lakukan pada "mantan calon pacar"ku. Tapi aku salah. Membiarkan kamu larut dalam kebencian atas kesalahanku yang perlahan masuk dalam hubunganmu karena merasa dibukakan pintu oleh sang tuan rumah ternyata malah membuatku semakin tersiksa.

Terlebih ketika kamu bilang, "kamu sudah tidak spesial lagi". Seolah ada belati yang tiba-tiba menusuk tepat di jantungku. Sesak. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa cerita ini sudah hampir mendekati ending? Dan masih banyak lagi pertanyaan yang berkecamuk dalam benakku saat itu.

Aku benar-benar kehilangan kamu yang ternyata sudah aku anggap sebagai hujannya kemarau. Aku menganggapku lebih dari sekedar orang "spesial". Tenyata rasa sayangku sama besarnya seperti rasa sayangku kepada kakak laki-lakiku dan sahabatmu. Aku sudah menanggap kamu dan sahabatmu seperti kakakku. Ketika kamu putuskan untuk menjauh, aku benar-benar merasa sendiri. Aku kehilangan penunjuk arah sekaligus pohon rindang untuk berteduh dari teriknya matahari.

Kamu bilang, "males sama kamu". Aku memang orang yang "malesi". Aku bukan tipe orang asik, mudah berjabat tangan dengan orang, bertukar nomor handphone lalu berteman akrab seperti wanitalain di luar sana. Aku sang wanita tak tau malu ini selalu penasaran dengan akhir ceritanya, kapan kamu ada waktu? Aku ingin mendengarkan ceritanya dengan seksama. Kemudian membuat kesimpulanku sendiri.

Aku rindu..

Pagi tadi aku sampai di Jogja Istimewa..
Dengan malasnya aku membuka pintu kamar kos, menyingkirkan barang-barang yang berserakan diatas kasur dan merebahkan diri. Ah, rasanya baru kemarin aku sampai di rumah tapi hari ini aku harus kembali ke dunia nyata. Tak terasa sudah dua semester aku hidup di Sleman. Tak banyak yang berubah, aku masih bebal seperti dulu..

Tahun lalu usiaku masih belasan. Terlalu kekanak-kanakan untuk memahami niat baik ibu. Terlalu angkuh untuk menyerah dan kuliah di Jember. Alasan aku menolak untuk kuliah di Jember hanya satu; jadi anak dosen itu tidak enak dan serba salah. Iya, serba salah.. ketika anak dosen pintar, disayang banyak dosen, dan jadi salah satu mahasiswa yang di perhitungkan para haters pasti akan berpendapat "iyalah pinter, kan anak dosen". Tapi, ketika anak dosen bodho, jarang masuk kuliah, dan jadi mahasiswa kasta bawah para haters juga akan berpendapat "anak dosen kok bodho".

Selain itu aku juga sudah bosan hidup di Jember. Bukannya tidak cinta dengan Jember, tapi aku ingin merasa bebas. Waktu itu aku baru saja menanggalkan seragam putih abu-abu dan tak bisa dipungkiri, selalu ada fase dimana seorang remaja ingin hidup bebas, jauh dari orang tua, dan tidak ingin dikekang dengan nasihat berisi perintah ini itu. Walau ibu bukan tipe seorang ditaktor tapi ingin hidup bebas dan bisa pulang larut sempat jadi salah satu alasan aku kukuh ingin kuliah di Jogja.

Aku bukan seorang anak pintar. Hanya seorang anak pemalas yang alergi dengan buku-buku pelajaran. Masih seperti anak-anak pada umumnya, aku selalu remidi dibeberapa mata pelajaran. Sampai suatu hari aku bilang, "ibu.. tolong carikan tempat kuliah yang gak usah mikir". Akhirnya ibu dapatkan info tentang sebuah Sekolah Tinggi yang baru saja berstatus negeri. Iya, sekolah tinggi itu letaknya di Jalan Magelang Km 6,5 Sleman.

Di sini aku bukan lagi anak dosen. Aku hanya mahasiswa biasa yang berusaha pertahankan IP diatas 3,5. Memang bukan hal mudah tapi aku sadar bahwa ada wanita berusia 49 tahun yang menungguku pulang dengan gelar. Dulu, ketika ada tugas yang susah untuk di kerjakan aku selalu bertanya pada ibu. Namun sekarang berbeda, ibu dosen pertanian dan aku berkuliah di teknik broadcasting. Habislah! Aku harus kerjakan semuanya sendiri.

Bicara tentang Jember dan kebebasan.. aku selalu rindu dengan alun-alun Jember, beberapa cafe tempat biasa aku habiskan malam, dan aku selalu rindu dengan rumah. Ketika jauh dari ibu, aku bisa pulang semalam apa pun yang aku mau. Namun disisi lain aku ingin tetap di rumah. Aku ingin ibu menelfonku setiap kali pulang larut. Aku juga rindu dengan marahnya ibu ketika aku telat makan. Disini anakmu jarang sarapan dan jarang makan malam karena malas keluar untuk beli makan.