Setia (?)

Kita melangkah bersama
Menikmati sedih ini berdua
Sedihmu jadi bagian hidupku
Tapi bahagiamu bukan lagi tentang aku

Percuma,
Kau bilang cinta tanpa banyak kata
Percuma,
Kau bilang setia tapi ternyata..

Angkringan Jalan Monjali

Sebelumnya Warung Anglo dan Segelas Root Bear


"karena di dalam hati setiap nama memiliki posisinya masing-masing.."

Malam ini dia mengenakan baju flannel kesayangannya berdiri di hadapanku. Di dalam genggamannya terdapat seikat bunga mawar merah kesukaanku. Dia menggapai jemariku sambil berkata, "malam ini kita kemana?" 

Jawabanku masih sama, "terserah".

Dia hanya tersenyum tipis dan melajukan motornya memecah hiruk pikuk jakal malam ini. "Aku punya banyak cerita malam ini," ucapnya penuh semangat.

"Aku siap jadi pendengarmu, ksatria"

***

Jari lentiknya mengitari bibir gelas berisi kopi susu pesanannya. Matanya mengamati kepulan asap tipis dari dalam gelas. Mulutnya sedari tadi mengulang kata-kata yang sama, "aku mau cerita.." "aku mau cerita.." "aku mau cerita.." tapi belum ada satu kisah pun keluar dari mulutnya.

"Serius.." dia menghela nafas berat. "Aku mau cerita beneran"

Aku mengambil posisi senyaman mungkin untuk mendengarkan ceritanya. Jarang-jarang lelaki satu ini berbagi cerita, batinku.

"Kamu tau, aku baru dari rumah Mela buat ngasihin ini.." dia menyentuh seikat bunga disampingnya. "Ini buat kamu. Aku sengaja beli dua, satu buat Mela, dan satu buat kamu." 

"Terima kasih, ksatria!" ucapku kegirangan.

"Jangan senang dulu, ceritaku panjang nih.." dia menghirup kepulan asap dari dalam gelam.

"Cuma dihirup aja? Gak diminum?" tanyaku.

"Kamu lupa ya? Aku punya sakit mag, mana bisa minum kopi." 

"Astaga cintaaa! Aku hampir lupa. Kayanya salah deh aku ngajakin kamu kesini." 

"Santai aja.. harga makanan di sini murah kan? Kalau murah berarti kamu gak salah" dia tertawa sendiri.

"Terserah deh.." aku meminum bagianku. "Jadi, mau cerita apa, cinta?"

"Ceritanya gini.."


***

"Aku gak tau harus mulai dari mana.." lagi lagi dia menghela nafas. "Tadi sore aku beli dua ikat bunga dengan warna dan harga yang sama karena aku sayang kalian berdua. Karena dua bunga mawar ini aku bisa lihat respon yang sama sebanyak dua kali tapi jauh sebelum aku putusin buat beli dua ikat bunga ini aku sudah tau kalau aku bakalan ngelihat akhir pertemuan yang beda," dia terdiam sejenak. Matanya menerawang jauh, seperti menghitung motor lalu lalang, padahal tatap matanya kosong. 

"Maksudnya gimana?" kataku.

"Waktu ketemu Mela aku bawa dua ikat bunga dihadapannya. Biar pun ikat bunga itu sama, tapi aku kasih dia kebebasan untuk memilih karena Mela pacaraku. Sebelum memilih Mela sempat tanya, 'kenapa harus milih? bukannya bunga itu sama aja?' aku jawab 'iya, sama aja kok. kamu pilih yang mana?'. Sampai akhirnya Mela milih ikat bunga dari tangan kananku." 

"Njuk?" 

"Njuk dia tanya lagi, yang satu buat siapa?'' dia natapku lama.

Aku balik menatapnya. 

"Aku jawab bunga itu buat kamu. You know what lah.. dia langsung ngebuang bunga di tangannya. Dia bilang, 'kenapa harus Rara? bisa gak sih sekali aja gausa bawa bawa Rara?' aku cuma diam aja. Aku tunggu sampai emosi Mela reda. Sayangnya, sampai aku pulang pun Mela masih marah-marah" dia mengangkat gelas berisi kopi, hendak meminumnya.

"Stop!" teriakku. "Jangan diminum! Jangan coba-coba minum itu! Jangan mati konyol"

"Bodo amat!" umpatnya.

Segera aku raih gelas itu dari tangannya.

"Yaelaaah, kamu itu lucu. Kalau sudah tau Mela bakalan marah ngapain beliin aku bunga yang sama. Kalau sudah tau Mela marah sekarang kamu mau minum kopi biar mag nya kambuh terus mati?" ucapku dengan nada tinggi.

"Kamu tau? Kenapa aku sekarang duduk disini? Kenapa aku pesan kopi susu? Karena aku pengen lihat marahmu. Karena marahmu beda sama marahnya Mela." dia menghempaskan tubuhnya dikursi.

Aku terdiam. Tak percaya dengan kata-katanya.

"Mela selalu marah tanpa alasan yang jelas. Bahkan masalah kecil dan sepele pun bisa buat dia marah. Sementara kamu? Kamu marah untuk kebaikanku, bukan sekedar melampiaskan emosi aja," ucapnya lirih.

"Lalu?"

"Kenapa harus Mela? Kenapa tidak kamu saja?"

Aku tertunduk lemas.