Es Bang Joe Monjali

Sebelumnya Mad by NeYo

Siang ini matahari membakar Jogja dengan ganasnya, membakar setiap orang yang melintasi jalan Monjali dengan girangnya, termasuk aku. Sesampainya di kedai jus, kudapati Pria sedang duduk manis bertemankan sebuah kamera dan laptop. Pelan-pelan aku mengamati menu yang ada.

Suwe tenan e..” kalimat pembuka dari Pria yang dari tadi mengamatiku dari jarak lima meter.

“Bingung” jawabku singkat.

Lah, ngopo?

“Enggak..”

Lah, kowe ki ditekoni opo jawab e opo

“Ha?” Aku memfokuskan pandangan pada Pria.

Nah to.. Aku ngomong ra to’ rungokke”

“Hahaha.. ngapuralah

“Itu bahasa mana lagi?”

“Ngapak,” aku terkekeh dan disambung tawa renyah dari Pria.

Pria mengamati laptop dihadapannya. “Sudah 70%, dek, gimana menurutmu?”

“Ha? Piye, mas?

Pria melipat tangannya di atas meja, memandangku lurus. “Kamu kenapa?”

“Aku?” tangan ini mengarah kehidungku sendiri.

Iyo, moso mas tukang jus

Aku tertawa pelan.

Healah, piye?” tanya Pria dengan wajah serius.

Aku menggeleng mantap.

“Boleh saya baca pikiran kamu lagi?” tatapnya penuh selidik.

“Jangan!” cegahku segera.

“HAHAHA!” keras keras Pria tertawa. “Kalau gitu, mending kamu aja yang cerita,” Pria menyandarkan tubuhnya di kursi.

Aku mangatupkan mulut.

“Oke, kalau memang gak mau cerita kamu yang traktir saya.”

Aku mengangguk.

“Ah, gak asik! Kamu kenapa sih?” tatap matanya menyelidik.

“Aku baik baik aja. Bahkan lebih baik dari yang kamu lihat sekarang,” ujarku apa adanya.


Pria mengangguk. 


***

Suara ketukan pintu sore ini mengacaukan jam tidur siang paling berharga. Kubuka pintu kamar tergesa-gesa. Kulihat Reo berdiri di depan pintu sambil menenteng sekotak donat berlebel J.CO lengkap dengan seringai termanisnya. Lama kupandangi tampang tak berdosa manusia dihadapanku ini. Ada yang berubah. Cara berpakaiannya yang acak adul sekarang lebih tertata, rambutnya kini tersisir rapi mendekati kata klimis, dan oh my god dia pakai behel. Dasar laki laki metropolitan, batinku.

"Ini buat kamu," dia menyodorkan sekotak donat itu padaku. "Tadi aku baru nonton di Mall sebelah, terus keinget kamu, jadi aku sempatkan buat mampir".

"Aku boleh masuk?" tanyanya.

"Duduk di situ aja," aku menunjuk lantai teras depan kamar sambil meraih sapu dari dalam kamar.

Reo tampak kaget. "Katanya kamar kosmu bebas, masa aku gak boleh masuk?"

"Kalau buat kamu gak ada kata bebas bebasan lagi," aku duduk selonjoran di teras. "Kalau kamu mau berdiri sampai satu jam kedepan juga gak papa kok."

Akhirnya Reo jongkok di sampingku. "Ra, kamu yakin gak mau ngajakin aku masuk?"

"Kenapa sih? Sejak kapan kamu jadi manja gini?"

"Sejak ditinggalin sama lo!" ucapnya sambil ndeprok.

"Kenapa?"

Reo hanya diam. 

Aku menghidupkan mp3 dari handphoneku. Kali ini lagu Never Forget You by Zara Larsson jadi lagu pengiring telapati antara aku dan Reo. Diam diam aku melirik Reo yang asik dengan tatapan kosongnya. Aku tau, kalau dia sudah kehilangan titik fokus dari pandangannya itu berarti ada sesuatu yang ingin dia tanyakan tapi tidak tau bagaimana caranya.

"Kalau mau tanya, tanya aja, gausa kebanyakan drama," ucapku ketus.

"Hmmm.. aku gak tau harus mulai dari mana," ucap Reo cemas. "Aku tau hubungan kita akhir akhir ini sedang tidak baik baik saja. Kamu mengabaikan semua panggilanku, kamu membaca semua chatku tanpa balasan, kamu menghindari aku, kamu melewatkan hari wisudaku, dan kamu tidak mengucapkan selamat ulang tahun untukku. Aku gak nyangka kalau kamu bisa ngelakuin semua itu ke aku. Selama ini yang aku tau, kamu adalah perempuan paling sabar, paling pemaaf, dan paling pengertian yang pernah aku temui. Ternyata kesalahanku di Bujang beberapa bulan lalu sudah merubah semua yang ada di dalam dirimu. Aku sudah tidak tahan lagi. Aku gak tau harus ngehadapi kamu dengan cara seperti apa lagi."

Aku memandanginya tanpa berkedip. Dalam situasi seperti ini rasanya aku ingin menendang kepalanya sampai lepas, meremas jemarinya sampai remuk, dan berteriak kencang di telinganya. "Terus?" tanyaku.

Reo mendongak pelan. "Aku minta maaf," ucapnya lirih.

"Ha? Apa?" aku mendekatkan telingaku.

"Aku minta maaf," ucapnya sekali lagi.

"Aku maafin," aku berdiri kemudian masuk kamar dan menguncinya dari dalam.

"Ra, dengerin aku sebentar," ucap Reo dari balik pintu. "Apa pun yang terjadi diantara kita aku mau kamu tetap bahagia. Aku selalu mendoakan yang terbaik dengan kamu. Aku mau kamu medapatkan orang yang lebih baik ketimbang aku. Sekarang kamu bebas memilih jalan hidupmu sendiri, gak perlu ada campur tanganku di dalam pilihanmu. Kamu bebas kencan sama siapa pun, Ra. Tapi plis, tolong, jangan sama Pria."

"Sekali lagi, aku minta maaf, aku sudah melakukan kesalahan yang lebih mengerikan daripada memepertemukan kamu dengan Mela. Maafkan aku karena sudah memperkenalkan kamu dengan Pria. Aku kira Pria yang kita temui di Malioboro itu masih sama seperti Pria yang aku kenal dua tahun lalu. Ternyata itu semua salah! Aku mohon, sekali ini saja, tolong dengarkan perkataanku ini. Sebelum kamu melangkah terlalu jauh, aku mohon, berhentilah sekarang," pintanya.

***

"Hayolooo, ngelamun."

"Enggak kok," aku pura pura fokus pada naskah ditangan.

"Yang ini kayanya perlu di revisi deh," aku menunjuk sebuah coretan gambar di ujung kertas.

"Oke, aku bisa revisi malam ini. Mau direvisi jadi apa?" Pria terkekeh.

"Jadi, kita bisa mulai take kapan?"

"Dua minggu lagi," jawab Pria mantap.



Mad by NeYo

Sebelumnya Jogja City Mall

“Assalamualaikum,” sapanya dari ujung telfon.

“Waalaikumsalam,” jawabku.

“Kok saya jadi kikuk gini ya? Hahaha” ucapnya nyaris tak terdengar.

“Yaudah kalau gitu dimatiin aja telfonnya”

“Jangan!” teriakan itu terdengar melengking.

“Hmm..”

“Duh, saya mau ngomong apa ya..”

“Ya terserah.”

“Saya boleh cerita tidak?”

“Cerita aja,” sejenak tidak ada suara dari ujung sana. “Hallo, kamu tidur?”

“Tunggu sebentar,”

Samar-samar terdengar alunan lagu yang kebetulan aku hafal sebagian liriknya. “She’s staring at me. I’m sitting, wondering what she’s thinking. Nobody’s talking cause talking just turns into screaming. Ohhh..” aku ikut bernyanyi pelan.

“Kok kamu tau lagu ini?”

“Kenapa? Gak boleh?”

“Boleh kok,” sahutnya sambil terkekeh.

“Gimana? Mau cerita apa mas Pria?” aku bertanya dengan nada lemah lembut.

Terdengar Pria sedang menarik nafas dalam-dalam. “Saya baru bertemu teman lama. Namanya Naya. Setelah sekian lama ternyata dia tumbuh menjadi wanita yang cantik. Padahal dalam ingatanku, Naya masih sebulat dulu. Sekarang dia sudah mirip artis ibu kota. Pakai dress merah jambu dan higheels, turun dari sedan bersama laki-laki yang gak kalah mentereng.”

“Jangan bilang dulu dia pernah suka sama kamu terus kamu tolak karena dia bulat kaya tahu?”

Pria tertawa renyah. “Kebalik, Ra”

“Daebaaak! Terus.. Terus..” aku berdecak kagum.

“Kalau kamu kira saya cerita seperti ini karena menyesal, kamu salah, Ra” tuturnya datar. “Naya itu wanita super duper baik. Diantara sekian banyak teman wanita saya, cuma dia yang paling bisa ngertiin kondisi saya.”

“Ohya? Sampai segitunya?”

“Serius. Bahkan ketika saya memutuskan untuk keluar dari Farmasi terus pindah ke Ilmu Hukum, Naya adalah orang pertama yang mendukung saya. Dia yang bantu saya jelasin semuanya ke orang tua. Jauh jauh dari Bekasi ke Sukoharjo cuma mau jadi tameng saya. Sementara saya? Saya sudah pergi jauh ke Batam waktu itu,” suara parau itu mengghilang sejenak.

“Hampir tiga bulan saya jadi waitress di Singapura,” lanjutnya.

“Waaaah! Keren! Terus gimana?”

“Ceritanya sampai situ aja dulu. Kapan kapan saya ceritain lagi. Biar ada bahan obrolan dan gak kikuk kaya tadi,” Pria terkekeh sendiri.

“Oke. Bisa bisa..”

“Hmmm..” gumam Pria.

“Apa?”

“Sudah malam. Waktunya ikan bobo..” ucapnya ragu-ragu.

“Oke, titip salam buat ikanmu ya.”

“Aku gak punya ikan, Ra”

“Besok aku belikan di Sunmor biar kamu punya ikan ya..”

“Asik!” seru Pria kegirangan. “Yaudah cepat tidur sana. Assalamualaikum.”

“Walaikumsalam,” jawabku.