Aku Menyerah!

Lagi-lagi aku mengakhiri sebuah hubungan yang baru aku mulai awal semester kemarin. Dalam hati aku menghitung jumlah hubungan yang berakhir hanya karena kerasnya sikapku. Aku mengenalnya dengan tidak sengaja. Bertabrakan lalu saling tukar nomor handphone? Tidak, ceritanya tidak sedramatis itu, tapi dalam gelap malam aku selalu berhayal bisa memulai hubungan bahagia bersama dia yang tak sempurna.

Pesan singkat dengan bumbu perhatian sering dia kirim hingga membuat hatiku luluh. Wanita mana yang tidak kesengsem dengan sejuta kata-kata manis yang selalu dia umbar tiap malam. Demi dia yang masih aku agungkan sampai di akhir cerita ini, aku rela tidur larut malam untuk berbalas pesan singkat dengannya. Pesan singkatnya aku balas dengan penuh antusisas, setiap kali handphoneku bergetar aku berharap itu balasan pesan singkatnya.

Dari awal berkenalan hingga hari ini namanya masih menempati tab paling atas dalam daftar chat. Sikap dinginku pun akhirnya leleh bersama perhatiannya. Aku mulai tertarik dengan dia yang aku kira punya pemikiran dewasa. Harapan demi harapan mulai bermunculan. Setiap malam aku merangkai mimpi indah bersama dia. Aku tak mau mimpiku dijamah oleh laki-laki lain selain dia. Namun semua mimpi yang aku rangkai itu tak lekas menjadi nyata.


Hingga suatu malam dia membuka pembicaraan serius, bicara tentang perasaan dan arah hubungan kami selama ini. Dia mengungkapkan semua rasanya. Aku pun juga. Dia berharap aku menerima tawaran sebagai wanita nomor satu di hatinya. Sayang pengakuan yang dia buat malam itu hanya lewat pesan singkat. Walau pun memiliki definisi setia yang sama tapi aku tetap tak mau menerima tawarannya jika dia tak katakan langsung di depan mataku.

Aku hanya ingin melihat matanya, melihat betapa besar keseriusannya dan seberapa keberaniannya dalam mengungkapkan perasaan di depan wanita. Namun di luar dugaan, dia hanya menjawab "aku butuh waktu yang pas". Spontan hati kecilku mengumpat. Apa waktu yang selama ini aku berikan tak cukup untuk merangkai kata cinta?

Sejak saat itu aku terus berjuang, berharap waktu yang dia maksud segera tiba. Nyatanya, setelah tiga bulan kami bersama, waktu yang dia maksud belum juga datang. Aku yang telah mati-matian bertahan, berusaha mengubah tabiatku, dan jadi yang dia mau pun mendadak lelah. Semua terasa tidak imbang. Dia acuhkan aku dengan segala kesibukannya dan dia tetap memaksa aku untuk pahami maunya. Dia tak pernah mengerti aku dan suka menuntut ini itu. Menyakitkan!

Aku juga wanita. Aku ingin diperjuangkan seperti wanita-wanitanya yang dulu. Aku juga ingin di rayu saat merajuk, tapi nada tinggiku selalu dibalas dengan nada yang lebih tinggi lagi. Dalam keadaan sekacau itu dia masih sempat memojokkan aku dengan rangkaian kalimat panjang lebar yang sejujurnya tak pernah aku tau arahnya . Dia selalu memposisikan aku sebagai dukun yang bisa menerka-nerka maunya tanpa dia harus bicara. Dia selalu memberiku sandi-sandi morse yang harus segera aku terjemahkan. Dia selalu memberi kode-kode aneh dan berharap aku peka. Jadi, dalam cerita ini siapa yang berperan jadi wanita?

Ayolah aku ini wanita, apa aku salah jika menunggu dia menyapaku terlebih dahulu ketika berpapasan dengan dia di kampus? Karena selama ini dia selalu melewatiku, perlakukan aku seperti orang yang baru dia kenal kemarin sore. Seolah kami tak ada rasa sedikitpun. Bahkan terkadang aku merasa bahwa dia tak menganggapku ada.

Pujian-pujian yang sering dia sematkan kini berubah jadi cemoohan. Kata sayang yang sering dia ucap pun berubah jadi hinaan. Kami bertengkar hebat kemarin malam. Mengosongkan emosi yang selama ini terpendam..

Dia bilang otakku telah di racuni kata-kata busuk dari para sahabatku. Dia bilang telingaku terlalu lebar sehingga banyak mendengar kata orang. Aku sudah jelaskan berkali-kali bahwa aku tak pernah dengar kata orang, tapi lagi-lagi dia memojokkan aku dan bersembunyi dibalik kata "konsekuensi". Konsekuensi apa lagi yang dia maksud? Sudah terlalu banyak konsekuensi yang aku pikul demi bersama dia. Mungkin dia tidak sadar bahwa  aku selalu tutup mata dengan semua kekurangannya. Rela korbankan yang aku punya demi lengkapi ketidaksempurnaannya. Namun semua pengorbananku sia-sia. Otak dungunya selalu menganggap aku lebih memihak pada mereka yang tidak suka melihat kami bersama.

Iya, aku wanita keras kepala. Aku tak bisa pasrah dengan cara dia menindasku. Hanya karena aku menyayanginya bukan berarti dia bisa menganggap aku sapi dengan hidung tercocok. Aku tak bisa diperlakukan seperti boneka! Aku lelah. Aku ingin menjalani hubungan normal seperti yang lainnya. Aku jadi wanita dan dia jadi pria. Aku ingin dia yang mengantar aku kampus, membelikan aku makan saat sakit, rela berhujan-hujan hanya untuk bertemu aku, dan mau luangkan waktunya untuk membantuku kerjakan tugas kuliah. Sayangnya peran kita terbalik.. aku yang lakukan semua kebodohan itu demi dia!

Aku memang tak bisa jadi yang dia mau..
Aku ingin sampaikan banyak terimakasih untuk dia, karena aku cukup bahagia telah mengenal dia yang rajin sholat, tak lupa dengan sholat jum'at, dan rajin puasa sunah. Tak banyak yang bisa aku lakukan untuk pertahankan dia. Aku sudah lelah berjuang sendiri. Aku menyerah.


Spesial Pake Telor Karet Dua Bungkusnya Disobek

Sekarang pukul 11 malam, aku baru saja memasuk kamar kos dengan sambutan dari setumpuk boneka yang memaksaku untuk menjamahnya. Sayangnya aku masih enggan untuk menghampirinya. Banyak tugas yang menunggu, batinku. Aku berganti pakaian dan ke kamar mandin untuk gosok gigi, cuci muka, dan berwudhu. Setelah menyelesaikan empat rakaatku, tenaga yang sedari pagi terus menggebu akhirnya tumbang ditebas rasa kantuk. Aku menyerah, aku merebahkan diri di atas ranjang. Berusaha tutup mata.. tapi tiba-tiba kenangan bersamamu berlalu lalang dalam pikiranku.

Apa aku benar-benar merindukan kamu?

Dua jam lalu aku mendatangi tempat kosmu, bukan untuk bertemu kamu lagi, tapi untuk bertemu orang lain. Dengan penuh rasa canggung aku menyusuri lorong dan melewati beberapa kamar kos. Kamar di ujung lorong ini adalah kamarmu, kamar yang biasa aku masuki dan berbagi banyak hal dengan kamu. Segerombolan lelaki tampan sedang asik berbincang didepan sebuah kamar dengan pintu tertutup dengan lampu padam. Aku tau kamu ada di dalam kamar berukuran 3x3 itu. Kamu suka mematikan lampu saat tidur. Aku tau.. kamu suka tidur pagi, bangun pagi, dan tidur dari siang hingga malam hari. Jam tidurmu terbalik. Aku tau!

Aku habiskan banyak waktu untuk berbincang dengan sesorang yang namanya pernah kamu pinjam. Diam-diam aku mencuri pandang ke arah pintu kamarmu. Berharap kamu keluar kamar dalam keadaan acak-acakan dan melihat aku duduk manis di depan kamarmu. Dalam setiap kedatangnku ke tempat kosmu, aku selalu berharap bisa bertemu dengan kamu walau sebenernya tujuanku kesana bukanlah bertemu kamu. Aku rasa caci maki wanitamu tak bisa habiskan nyaliku untuk terus memburumu. Aku kira aku masih cukup berani untuk merangsek masuk dalam hidupmu lagi. Bukan sebagai pengacau, tapi sebagai penyejukmu. Ingatkah kamu.. beberapa bulan terakhir aku adalah wanita yang menjadi nyala dalam baramu. Namun seiring padamnya baramu, aku tak lagi kamu anggap ada.

Sampai pukul 9 malam pun kamu tak kunjung terjaga dari mimpi indah. Mau tak mau aku bangkit dari tempat duduk, bergegas menuju IDM bersama salah seorang teman kosmu. Aku tidak sedang berkencan atau berusaha gantikan posisimu dengan orang lain. Walau kamu sudah tak menganggapku seseorang yang spesial pakai telor karet dua dan bungkusnya disobek, tapi kamu masih menyandang gelar yang sama seperti dulu. Ah.. aku masih kerap membaca sms terakhir dari kamu Berharap kalimat terakhir itu tak ada. Berharap semua sama dan baik-baik saja. tapi harapan tak selamanya bisa jadi nyata.. semua berubah. Kamu bilang aku tak spesial lagi, sementara dalam diam aku masih menganggap kamu sebagai orang spesial. Apa harus semenyakitkan ini? Entah bodoh atau dungu.. setelah melewati hari yang cukup menyakitkan dan sempat tersentak akibat kabar putusnya kamu dan wanitamu dengan tololnya aku berharap bisa bertemu dengan kamu lagi walau kamu sudah memaksa aku untuk menjauhimu. Dengan polosnya pula aku tetap mengagungkan kamu, memberimu posisi sebagai satu-satunya orang spesial.

Lama aku menunggu temanmu menginstall software yang akan digunakan untuk mengerjakan tugasku. Dalam diam aku berharap semoga kamu terjaga dan buru-buru datangi kami. Aku tau ini tempat favoritmu untuk habiskan malam. Temanmu bilang, kemarin malam kamu habiskan malam bersamanya di sini. Bukan sebuah kesengajaan, aku butuh earphone untuk menyelesaikan editing audio dan temanmu bilang kalau kamu sudah bangun tidur dengan suka hati kamu akan antarkan earphone itu untuk kami. Buru-buru dia mengetik pesan singkat untuk kamu, berharap kamu bangun, membalas pesan itu, datang kemari, dan bertemu aku. Ah, skenario yang muluk-muluk karena nyatanya pesan singkat yang dia kirim pun tak terkirim. Sungguh.. aku sudah benar-benar kehilangan kamu.


Apa kamu sempat menjadi milikku? Jika tidak, kenapa aku merasa kehilangan kamu ketika kamu putuskan untuk menyenangkan hati wanitamu dan tinggalkan aku? Apa semuanya telah berakhir? Aku ingin melihatmu lagi, tapi aku takut hal itu mengingatkan kamu pada kekhilafan kita waktu itu. Kamu bilang aku harus jauhi kamu tapi aku tak boleh jauhi teman-temanmu, lalu apa yang harus aku lakukan ketika aku bertandang ke kosmu, bertemu kamu, dan mata kita saling bertemu? Apa aku harus bertindak acuh atau aku harus menyapamu dengan sebutan giant seperti dulu? Ah, aku takut.. aku takut kehilangan akal ketika bertemu dengamu lagi. Aku takut.

Jika Aku Jatuh Cinta Lagi

Jika aku jatuh cinta lagi, aku mau orang itu dia. Seorang remaja asal Magelang yang sering aku temui di mushola kampus selepas sholat duhur. Seorang yang aktif di Badan Eksekutif Mahasiswa. Seorang yang mendampingi mentri komunikasi saat sang mentri bertandang ke kampus beberapa minggu lalu. Waktu itu aku duduk diantara sekian banyak mahasiswa lain, tapi enatah kenapa mata kami masih bisa  bertemu. Cukup lama kami bertatap mata,  tapi masih seperti biasa, tatap mata itu seolah memberi sebuah isyarat yang belum bisa aku tebak maknanya.
Aku ingin orang itu dia.. dia yang duduk disampingku saat sakit asma kambuh disela-sela aktifitas Ospek. Sudah hampir setahun lamanya, tapi aku selalu ingin mendapat moment yang pas untuk memulai percakapan dengan dia. Ingin aku menyapanya, bertukar pin bbm, dan mulai membangun komunikasi yang intensif dengan dia. Sayangnya aku seorang wanita yang mementingkan gengsi ketimbang rasa kagumku padanya.