Untuk kamu yang selalu ada dalam tulisanku

Dear Giant...
Mungkin kamu tak akan pernah membaca tulisan ini dengan alasan tak memiliki cukup kuota. Namun hanya dengan cara ini aku bisa memperlihatkan sisi lain dari aku yang tak pernah kamu ketahui. Kita sering berbicara via telfon hingga dini hari, tapi hitungan jam tak lantas membuatmu mengenaliku secara detail. Kamu belum tau betapa busuknya aku, betapa gilanya aku ketika menginginkan seseorang, betapa sadisnya aku ketika aku ingin mengeluarkan seseorang dari kehidupanku dan andai kamu tau sisi lain dari aku, kamu pasti mengurungkan niat baikmu untuk menyatukan aku dengan seseorang dari masa laluku.
Cukup kamu tau, aku sangat bersyukur karena telah dipertemukan dengan kamu. Selama berbulan-bulan hidup di kota orang, kamu adalah orang pertama yang menjabat tanganku dan menyebut dirimu sebagai “Adam”. Malam perkenalan kita memang tak sesempurna FTV, tapi entah kenapa perkenalan yang sudah berlalu beberapa bulan masih melekat dalam ingatan. Malam itu kita duduk di teras depan tempat kos-ku. Menikmati lalu lalang kendaraan sembari mendengarkan cerita singkatmu tentang Jogja, hanya seperti itu dan tak ada yang spesial.. setelah bicara panjang lebar layaknya sales alat dapur, kamu berpamitan untuk pulang.
Cerita berhenti disitu.
Aku hanya mengingat namamu tanpa tau dimana letak asrama yang pernah kamu ceritakan, dimana kamu kuliah, dan status hubunganmu sekarang. Dan beberapa hari kemudian kamu muncul dengan sapaan yang kaku. Dari sapaan kaku itu kita memulai babak baru, aku menyebutnya dengan perkenalan ke-dua. Hari itu juga untuk pertamakalinya kamu menelfonku, mengajakku bicara hingga lewat jam 1 malam. Awalnya kita hanya membahas project yang sedang aku kerjakan, namun lama kelamaan obrolan kaku itu berubah menjadi obrolan yang membuat waktu berlalu tanpa kendali. Obrolan yang membawamu dalam sebuah pengakuan.. pengakuan yang sama, yang sering aku dengar dari banyak laki-laki di luar sana; aku membuatmu nyaman. Tak berhenti sampai disitu, kamu mulai bicara ngelantur saat aku memberi tanggapan yang sama tentang kamu. Waktu itu aku bicara apa adanya karena aku adalah orang yang tak mudah akrab dan tak begitu suka bicara panjang lebar dengan orang yang baru aku kenal.
Satu.. Dua.. Tiga..
Tiga jam berlalu, obrolan hangat itu masih berlanjut. Hingga kamu mengajakku membicarakan perasaan. Dari situ kamu tau bahwa sampai hari ini aku masih sendiri, sedangkan kamu masih enggan mengakui status hubunganmu dengan alasan kamu takut aku menjauhimu ketika aku tau bahwa kamu sudah tak lagi sendiri. Iya, sampai hari ini pun kamu sedang menjalin hubungan jarak jauh dengan seorang wanita yang berasal dari kota yang sama dengan kamu. Sedangkan aku hanya tertawa nanar ketika kamu mengakui status hubunganmu itu. Aku menarik nafas.. kecewa. Untuk kesekian kalinya aku merasa sangat nyaman dengan seseorang yang telah menjadi milik orang lain. Apa di dunia ini tak ada seorang yang sendiri?
Hari berlalu..
Fastlane handphoneku penuh dengan pesan singkat dan beberapa panggilan masuk darimu. Setelah aku setuju untuk tidak tinggalkan kamu hanya karena kamu memiliki kekasih diluar sana membuat kamu semakin tak terkendali. Intensitas pangilan masuk semakin rapat.. hingga pertemuan kedua kita tiba. Kamu menjemput aku untuk pergi ke asrama yang pernah kamu ceritakan sebelumnya, ya masih dengan dalih mengerjakan project yang sempat aku konsep bersamamu beberapa malam sebelumnya. Sesampainya di asrama aku sempat ngobrol dengan beberapa penghuni asrama yang notabene sekota dengan aku dan kamu. Pertemuan kedua kita tak berjalan mulus karena kamu memilih diam. Sejak pertemuan kedua itu kita sudah jarang berkomunikasi dan aku sendiri juga mulai acuh dengan kamu.
Yang ada di dalam pikiranku waktu itu..
Sepulang dari asrama pikiranku kacau, semua hal yang membuatku menilai bahwa kamu adalah orang baik seketika hilang. Aku tak habis pikir dengan cara kamu yang memperlakukan aku begitu manis, sementara jauh di sana ada seorang wanita yang sedang berjuang mati-matian untuk pertahankan hubungan kalian. Dimana letak keagungan cinta yang selama ini kalian puja? Bahkan hanya karena ketidakmampuan kamu mengontrol emosi membuat kamu dengan mudahnya menggenggam tanganku. Sedangkan kamu tak pernah memikirkan betapa porak porandanya hati wanitamu ketika dia tahu laki-laki pujaannya sedang bergandengan tangan dengan seorang yang baru dikenal.
Untuk kedua kalinya kamu menelfonku..
Aku tau kamu baru saja sakit flu dan aku sangat merasa bersalah karena tak memiliki cukup waktu untuk datang menjengukmu. Malam itu aku tak mendengar suara merdumu, flu benar-benar mengoyak pita suaramu sampai-sampai hanya nada-nada sumbang yang bisa kamu keluarkan. Namun aku cukup menikmati percakapan malam itu. Percakapan yang dimulai dengan pertanyaan, “apa kamu suka denganku?” waktu itu aku tak bisa menjawabnya dengan jelas. Aku berkelit habis-habisan karena amarah yang sempat menguasaiku sepulang dari asrama waktu itu. Lancang!
Keesokan harinya kamu menjemputku di kampus, mengajakku menyusuri jalan protokol kota Yogyakarta untuk menuju wonosari. Mendung tebal mengantar perjalanan kita ke Gunung Kidul, dalam berberapa menit motor kesayanganmu melesat cepat ke tempat tujuan. Sebenarnya perjalanan yang kita lalui relatif lebih lama daripada waktu tempuh yang pernah aku lalui bersama beberapa teman asramamu saat survei lokasi untuk makrab. Disepanjang perjalanan pun kamu tak ada hentinya menggodaku. Entah kamu lupa dengan wanita itu atau kamu memang sengaja membuat seolah-olah tak ada seorangpun yang tersiksa dengan jarak. Lucu, laki-laki macam apa kamu ini? Mendung yang mengiringi perjalan kita mulai menepi, dari ketinggian "Bukit Bintang" aku bisa melihat kota Jogja yang disirami air hujan. Menikmati pemandangan seindah ini dengan seorang yang salah, batinku. Aku bisa apa? Aku bisa menipumu habis-habisan,berusaha untuk menghindari pertanyaan yang berbau "perasaan", tapi aku tak mungkin menipu diriku sendiri. Aku tak bisa.
Dan..
Hari ini aku belajar berpikir jernih.. berpikir tentang diriku sendiri, kamu, dan wanitamu. Jika wanitamu berhasil menemukan tulisan ini aku akan meminta maaf padanya. Dengan rasa menyesal aku meminta maaf karena mungkin sampai wanitamu temukan tulisan ini pun aku masih belum bisa lepas dari bayang-bayangmu. Selain itu aku juga ingin mengucapkan selamat untuk wanita yang bisa menangkan hatimu, walau sempat terucap sebuah penyesalan karena waktu tak pertemukan kita sebelum kamu memutuskan menjalin hubungan dengan wanitamu, tapi yang jelas selama sebelas bulan terakhir wanita itu mampu membuatmu tersenyum bahagia.
Ketika kamu membaca tulisan ini, aku mau kamu berhenti menganggapku sebagai simpananmu.

Dibawah Sinar Bulan

“Apa cahaya bulan bisa mempertemukan kita lagi?”
“Iya..” jawabnya mantap, “jika aku menyelesaikannya dengan baik, aku akan segera kembali”
Redup cahaya bulan malam ini akan mengakhiri semuanya. Aku akan menjadi wanita desa dan kamu akan menjadi orang hebat di negeri orang. Bangga? Jelas. Namun hati ini masih tak rela melihatnya melambaikan tangan sembari menghilang ditelan gelapnya malam. Ini bukan kali pertama dia pergi meninggalkan aku di bawah temaram cahaya bulan. Desa ini bukanlah rumah baginya, hanya sebatas tempat melepas lelah dan membasuh dehaga dari aktivitas kota.
Semuanya masih tampak sama, bahkan setelah dia menjadi seorang sarjana didikan Jepang. Dia masih menggenggam tanganku erat, sorot matanya membuat isi dadaku bergetar. Mungkin saat ini air mata sudah membasahi pipi. Sampai kapan? Batinku. Akankah semua penantian ini berakhir bahagia seperti di dalam dongeng yang biasa nenekku bacakan? Atau malah sebaliknya. Malam ini aku tak ingin melepas hangat telapak tangannya. Aku masih ingin berlama-lama menatap parasnya.
Dibawah sinar bulan dia memelukku erat. Aku berharap semoga waktu berhenti, biarkan dia tenggelam dalam peluk hangat ini, buat dia lupa dengan semua pekerjaan kantornya, dan tak akan pernah meninggalkan aku lagi.
“Ini sangat membuatku tenang”, ucapnya lirih.
“Tak bisakah kamu tinggal lebih lama lagi?”

Dia hanya diam. Pertanyaan yang sama dengan respon yang sama juga. Ah, aku benar-benar ingin mengakhiri penantian klasik ini, tapi penantian ini tak ada yang memulai dan semuanya terjadi begitu cepat hingga aku tak sempat memikirkannya. Bahkan ketika aku tau bahwa penantian ini akan berakhir sia-sia, aku masih tak bisa mengakhirinya.

Yang Tak Pernah Menganggapmu Ada

Bagaimana kabarmu? Apa kamu masih mengingat aku? Apa kamu masih menyebut namaku dalam doamu? Maafkan aku karena telah mecampakkan kamu untuk kesekiankalinya. Hari ini aku datang dengan tampang pengecut, aku tak berani datang menemuimu secara langsung tapi aku harap seberkas tulisan ini dapat membuatmu mengerti betapa menderitanya aku tanpa kamu.
Sekali lagi maafkan aku karena telah masuk dalam kehidupanmu secara tiba-tiba lalu pergi begitu saja. Aku menulis ini dengan sejuta rasa rindu yang sudah lama menumpuk, dengan rasa bersalah yang terus menggunung, dan dengan rasa lelah karena terus berusaha melarikan diri dari kamu. Sejujurnya aku ingin segera menyerah, bertekuk lutut dihadapanmu, memohon maaf darimu, dan memulai cerita cinta yang baru.. tentunya masih bersamamu. Andai kamu tau tentang semua keinginanku yang tak pernah terpenuhi sejak aku putuskan untuk meninggalkan kamu. Aku hanya ingin bisa menyapamu dengan sebutan “sayang” seperti dulu. Aku hanya ingin leluasa mengucap rasa rindu kapan pun yang aku mau. Sebelum aku tidur aku ingin mendengar gelak tawamu dari ujung telfon seperti malam-malam terdahulu dan satu hal lagi yang ingin aku beri tahukan kepadamu bahwa aku sungguh-sungguh menderita karena semua rasa bersalahku.
Seseorang yang dulu bersedia menjadi pendengar setiaku ketika amarah membuat semua yang aku bicarakan tak ada artinya, seseorang yang berhasil membuat aku bangkit dari keterpurukan, dan seseorang yang telah menyelamatkan aku dari kutukan cinta terlarang kini telah pergi menjauh dariku. Semuanya salahku, aku salah karena waktu itu aku hanya memandangmu dengan sebelah mata. Bahkan aku tak pernah menganggap kamu ada. Maaf.. Aku benar-benar menyesal atas semua keacuhanku terhadap kamu. Sekarang aku tau betapa berartinya kamu setelah kamu benar-benar pergi dari kehidupanku. Semua air mata yang terlambat membasahi pipi pun tak akan bisa memutar kembali waktu atau bahkan menyembuhkan semua lukamu.
Mungkin kamu tak bisa menerima jutaan kata maaf dariku. Aku tau aku memang pantas dihantui rasa bersalah atas ketidak setiaanku kepadamu waktu itu. Semua orang menganggap aku sebagai orang gila karena telah mecampakkan laki-laki sebaik dan setulus kamu, tapi aku tak bisa terus hidup seperti ini. Kepalaku terasa pening ketika seorang terdekatmu datang dan menjudge aku sebagai wanita yang suka mengumbar harapan, wanita yang rajin mengucap kata sayang kepada banyak laki-laki, dan wanita yang kerap datang dan pergi sesuka hati. Jika kamu juga berpikiran sama seperti yang orang terdekatmu katakan padaku, aku masih bisa memakluminya. Iya, aku yang dulu memang seperti itu. Namun aku yang sekarang sudah sedikit berubah dan kalau aku bisa memutar kembali waktu aku tak ingin mengecewakan kamu hingga berkali-kali seperti dulu.

Aku rindu kamu. Apa sahabatmu sudah menyampaikan kata rinduku padamu? Apa kamu juga merindukan aku? Beberapa hari yang lalu aku memang menitipkan salam untukmu. Tak hanya itu, akhir-akhir ini aku juga semakin sering berbalas pesan dengan sahabatmu itu. Dari pertengkaran-pertengkaran kecil hingga hal yang serius sering aku bicarakan dengannya. Ah, aku menemukan kamu di dalam dirinya. Semua kesamaan yang kalian berdua miliki membuat rasa bersalahku semakin menyesakkan dada. Sungguh, aku ingin mengulang kembali waktu hingga aku bisa menghindari semua kesalahanku terhadapmu. Jika waktu itu kembali aku tak akan mengabaikan semua pesan singkatmu. Jika waktu memberiku kesempatan untuk memperbaiki semua, aku janji aku tak akan mengumbar kata-kata sayang kepada banyak orang kecuali kamu. Tapi nyatanya masa lalu itu tak bisa berubah dan aku hanya bisa mengutuk diri atas semua kebodohan yang pernah aku lakukan.

Cahaya Jingga Candi Boko

Sampai hari ini aku masih bisa merasakan getar bahagia itu, walau sudah seminggu yang lalu tapi semua masih terasa nyata, jelas, dan tak ada sedikit pun memori yang terhapus tentang hari itu. Iya, beberapa hari yang lalu aku berlindung dibalik punggungmu saat derasnya hujan mengacaukan agenda hunting kita. Setelah berkunjung ke Candi Ijo harusnya kita melanjutkan perjalanan ke Candi Boko yang katanya memiliki senja nan eksotis. Namun sayang, cuaca hari itu tak memungkinkan kita untuk menanti cahaya jingga dari ketinggian. Hingga akhirnya kamu mengurungkan niat mengunjungi Candi Boko.
Setelah deras hujan sempat membuat sebagian baju dan tasmu basah, akhirnya kita menemukan tempat berteduh. Sebuah bengkel kumuh ditepi jalan menjadi tempat singgah kita untuk menikmati gemericik air hujan dan aroma tanah basah. Tak seindah drama korea yang bisa berteduh berdua saja, kita berteduh bersama banyak orang; ada yang berbaju kumel dengan gerobak dibelakang motornya, ada sepasang muda-mudi dengan baju basah kuyub, dan yang lebih mengharukan lagi ada seorang balita yang terlelap dalam dekap erat ibunya. Sedangkan kamu sibuk memasang cover bag sembari menghisap rokok. Ah, hujan benar-benar melunturkan semua atribut sosial dari setiap orang.
Sesekali aku mencuri pandang pada kamu yang sedang asik menghisap rokok. Dari jarak sedekat ini tentu aku bisa melihat betapa banyak asap yang kamu hembuskan keluar, itu semua membuatku begidik ngeri. Memang sejauh ini aku melihat kamu bukan sebagai perokok berat seperti kakakku, tapi sama saja.. merokok itu bukan hal yang sehat dan merokok itu bukan suatu kebiasaan yang bisa dengan mudah diubah atau bahkan ditinggalkan begitu saja. Sungguh aku sangat membenci seorang perokok macam kamu, tapi aku bisa apa? Disaat seperti ini memang hanya sebatang rokok yang bisa membuat tubuhmu tetap terasa hangat.
Beberapa saat kemudian hujan mulai reda, satu persatu orang yang memenuhi bengkel kumuh itu mulai pergi melanjutkan perjalanannya, termasuk kita. Kali ini aku dan kamu sudah benar-benar membulatkan tekat untuk tidak kembali ke rumah sebelum mendapatkan matahari terbenam. Masih dengan semangat yang menggebu kita memutar arah untuk kembali menelusuri tanjakan supaya bisa memijakkan kaki di sebuah candi yang terletak diatas bukit. Candi itu bernama Candi Boko, sebuah destinasi pariwisata DIY yang menyuguhkan matahari senja dengan warna jingga yang menawan. Sebagai landscaper kita tak bisa melawatkan kesempatan untuk mendapat citraan Tuhan yang sangat menawan itu.
Udara segar bercampur aroma basah akibat hujan lebat beberapa saat lalu membawamu pada nostalgia. “Di kampung halamanku suasananya selalu seperti ini. Tak pernah ada musim kemarau, yang ada hanya musim hujan”, katamu. Sesampainya di lokasi candi, kita sempat kecewa dengan gumpalan awan hitam yang tak kunjung menepi. Namun kekecewaan itu tak berlangsung  lama karena guratan “mejikuhibiniu” nampak jelas di langit, itu menandakan bahwa cahaya matahari telah berhasil menembus gumpalan awan tebal. Akhirnya kita memutuskan untuk terus mengejar senja walau kemungkinan untuk mendapatkan senja sesaat setelah hujan lebat sangatlah kecil.
Sebelum sampai kekomplek candi utama, kita disuguhkan dengan lukisan indah kota Yogyakarta dari ketinggian. Dari jauh juga tampak Candi Prambanan yang kelihatan lebih tinggi dari bangunan-bangunan disekitarnya. Kita terus melangkahkan kaki menuju candi utama yang merupakan tempat para landscaper menjemput sunset. Sampai ditempat, kamu langsung mempersiapkan tripod dan camera untuk mengabadikan sunset ala Candi Boko.


Sunset Candi Boko
Kata seorang penjaja makanan disekitar Candi Boko, sunset akan tampak pada pukul  5 sore atau sekitar 30 menit dari saat kita tiba disana. Namun belum genap 30 menit kita menunggu ditempat itu matahari senja sudah tampak meradang dan kamu segera mengambil posisi untuk ngambil bagian demi bagian terindah dari matahari senja di Candi Boko. Ah, sekali lagi aku terbius dengan kepiawaianmu membidik cahaya senja dan kamu tampak serasi dengan camera ditanganmu. Sungguh aku sangat berterima kasih kepada Tuhan yang telah pertemukan aku dengan ciptaannya yang tak sempurna tapi sarat akan kelebihan; kamu.

Cahaya jingga dari Candi Boko

Makalah Ilmu Politik : PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA LANGSUNG DAN MELALUI DPRD


ILMU POLITIK
PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA LANGSUNG DAN
MELALUI DPRD


Oleh:
Hanifah Rahmi Zatalina
Manajemen Teknik Studio Produksi Siaran C

SEKOLAH TINGGI MULTI MEDIA “MMTC” YOGYAKARTA
2014



BAB I
PENDAHULUAN
1.1.        Latar Belakang
Indonesia adalah negara yang menggunakan demokrasi pancasila sebagai dasar sistem pemerintahannya. Perwujudan sistem demokrasi di Indonesia salah satunya adalah pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) melalui pemilihan umum. Baik ditingkat provinsi atau tingkat kabupaten rakyat bisa memilih pemimpinnya sendiri. Dengan system one man one vote rakyat Indonesia bisa memilih seseorang yang dapat mengemban amanah sabagai wakil rakyat. Pemilihan langsung kepala daerah ini adalah ajang partisipasi masyarakat Indonesia dalam politik.
Belakangan ini media masa ramai memberitakan tentang “Pemilihan Kepala Daerah melalu DPRD”. Demokrasi merupakan bentuk pemerintahan politik yang kekuasaan pemerintahannya berasal dari rakyat, baik secara langsung (demokrasi langsung) atau melalui perwakilan (demokrasi perwakilan). DPRD adalah wakil rakyat yang dipilih rakyat untuk mewakili aspirasi mereka di pemerintahan. Jika dilihat dari pengertian demokrasi itu sendiri dimana terdapat demokrasi secara tidak langsung (representatif demokrasi). Memang dimungkinkan terjadinya pemilihan kepala daerah oleh DPRD. (Omer,2011)
Sejatinya pemilihan umum memiliki tujuan agar masyarakat dapat mengenal sosok pemimpin daerahnya masing-masing. Jika kebijakan pemerintah tentang pemilihan kepala daerah melalu DPRD dihubungkan dengan Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945 yang berisikan “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”, hasilnya akan bertolak belakang. Karena dalam pasal tersebut terdapat kata “langsung” yang memiliki makna bahwa pemilihan kepala daerah dilakukan oleh rakyat secara langsung.
Oleh karena itu penulis perlu mengkaji kebijakan “Pemilihan Kepala Daerah melalui DPRD ” lebih mendalam. Selain itu kasus perlu diangkat guna membandingkan kelebihan dan kelemahan sistem pemilihan kepala daerah secara langsung dengan sistem pemilihan kepala daerah melalui DPRD.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan maka dapat ditentukan rumasan masalah yaitu:
1.  Apa kelebihan dan kelemahan sistem pemilihan kepala daerah secara langsung?
2.  Apa kelebihan dan kelemahan sistem pemilihan kepala daerah melalui DPRD?

1.3 Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini untuk mengetahui kelebihan dan kelemahan pemilihan kepala daerah secara lanngsung. Juga mengetahui kelebihan dan kekurangan pemilihan kepala daerah secara tidak langsung atau melalui DPRD.



BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Etimologi Demokrasi
Demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan yang memberikan kedaulatan tertinggi ditangan rakyat. Kata demokrasi itu sendiri berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari “demos “ dan “kratos”. Demos yang berartikan rakyat dan kratos memiliki arti kekuasaan. Maka dari itu negara yang mengadut azas demokrasi meletakkan kekuasaannya di tangan rakyat.

2.2 Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung
Dalam UUD 1945 Bab VI Pemerintahan Daerah pasal 18 (4) menyatakan bahwa “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah propinsi, kabupatn, dan kota dipilih secara demokratis”. Tidak ada kata-kata pemilihan langsung sebagaimana dalam pasal yang mengatur tentang pemilihan presiden dan tidak ada kata-kata pemilihan kepala daerah secara tidak langsung atau melalui DPRD. Dalam negara demokrasi perwakilan atau demokrasi tidak langsung, maka memenuhi kaidah demokratis jika pemilihan kepala daerah dipilih oleh DPRD. Begitupun dalam  Negara demokrasi langsung pemilihan kepala daerah secara langsung memenuhi kaidah demokratis sebagi bentuk pelaksanaan kedaulatan rakyat. (Dianto,2013)
Ilmuwan politik Juan J Linz dan Alfred Stepan mengatakan, suatu negara dikatakan demokratis bila memenuhi prasyarat antara lain masyarakat memiliki kebebasan untuk merumuskan preferensi-preferensi politik mereka melalui jalur jalur perserikatan, informasi dan komunikasi; memberikan ruang berkompetisi yang sehat dan melalui cara-cara damai; serta tidak melarang siapapun berkompetisi untuk jabatan politik. (Rizal,2013)
Pada awalnya pemilihan kepala daerah dan wakilnya dilakukan oleh DPRD. Namun sejak disahkannya UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pemilihan kepala daerah dilakukan dengan cara pemilihan umum. Pemilihan umum kepala daerah dilakukan oleh KPU Provinsi dan KPU kabupaten serta diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Umum. Panwaslu itu sendiri terdiri dari kejaksaan, perguruan tinggi, kepolisian, pers serta tokoh masyarakat seperti yang telah ditetapkan dalam Pasal 57 ayat (3) UU No. 32 tahun 2004.
Pada UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pemilihan kepala daerah secara langsung akan dilaksanakan setelah masa jabatan kepala daerah lama telah berakhir. Di indonesia sendiri pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung. Sebelum melakukan pemilihan umum, seluruh kandidat calon kepala daerah dan wakil kepala daerah harus memenuhi syarat yang telah ditentukan pada Pasal 58 UU No.32 tahun 2004.
Peserta pilkada adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Hal ini sesuai dengan Pasal 56 ayat (2) UU No.32 tahun 2004. Namun ketentuan ini diubah dengan UU No.12 tahun 2008 yang menyatakan bahwa “peserta Pilkada juga dapat berasal dari pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang”. Undang-undang ini menindaklanjuti keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan beberapa pasal menyangkut peserta Pilkada dalam Undang-Undang No.32 tahun 2004. (Omer,2011)
Dengan dilakukan pemilihan kepala daerah secara langsung bisa memutus politik olgarki dikalangan elit politik dalam menempatan kepala daerah. Karena kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat maka tidak ada kehawatiran tentang penempatan kepala daerah yang didasarkan pada kepentingan individu.
Pada dasarnya pemilihan kepala daerah secara langsung bisa membuat kepala daerah terpilih semakin bertanggung jawab karena rakyat sendirilah yang memberikan mandat kepada kepala daerah tersebut. Sedangkan pemilihan secara umum sangat rawan terhadap penggelembungan suara dan politik uang. Politik uang itu sendiri kini telah menjadi rahasia umum yang mengakibatkan moral pemimpin yang terpilih dengan politiuk uang menjadi tidak terpuji. Modal pencalonan kepala daerah dengan gaji dan tunjungan ketika menjadi kepala daerah yang tidak sebanding akan mengakibatkan kepala daerah mudah tersandung kasus korupsi.
Disisi lain legislatif dan eksekutif mempunyai tugasnya masing-masing sehingga bisa saling mengimbangi dalam menjalankan tugasnya. Dalam sebuah pandangan dijelaskan bahwa legislatif memiliki tugas untuk menyalurkan kehendak rakyat. Sedangkan eksekutif memiliki tugas untuk mengimpentasi hukum dan kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan oleh legislatif.

2.3 Pemilihan Kepala Daerah Melalui DPRD
Dalam penyelenggaraan Pilkada terdapat daerah yang memiliki hak istimewa seperti Nanggroe Aceh Darussalam dan Yogyakarta. Di Nanggroe Aceh Darussalam pilkada diselanggarakan oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP) dan diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Aceh (Panwaslih Aceh). Sedangkan di Yogyakarta tidak ada pemilihan kepala daerah khususnya gubernur, karena masyarakat Yogyakarta menghendaki Sri Sultan Hamengkubuono menjadi kepala daerah Yogyakarta seumur hidup.
Pelaksanaan kedaulatan rakyat dapat dilakukan melalui sistem perwakilan. Alasan ini bisa diterima jika saja sejarah menunjukkan bahwa pemilihan kepala daerah di DPRD, baik di era orde baru maupun di era penerapan UU No.2 tahun 1999 meninggalkan catatan sejarah pelaksanaan demokrasi secara baik. Di era orde baru, kepala daerah dipilih olej DPRD dengan persetujuan pemerintah pusat. Catatan sejarah munjukkan bahwa kepentingan DPRD acapkali tidak memiliki hubungan apapun dengan kepentingan rakyat. (Dianto,2013)
Keterlibatan DPRD dalam pemilihan kepala daerah bisa digunakan sebagai tolak ukur dalam mengetahui tingkat kepekaan anggota DPRD terhadap masalah yang sedang dihadapi oleh rakyat. Sehingga dalam pemilihan anggota DPRD itu sendiri harus dilakukan dengan seobjektif mungkin. Jika kualitas DPRD terjamin maka pemilihan kepala daerah juga akan dilakukan secara objektif tanpa menonjolkan kepentingan pribadi.
Pemilihan kepala daerah yang dilakukan oleh anggota DPRD mengakibatkan partisipasi rakyat dalam berpolitik seakan akan dibatasi. Bila pemilihan dilakukan berkali-kali dihawatirkan akan banyak rakyat yang memilih tidak memberikan suaranya dan tidak efektif karena bosan datang ke tempat pemungutan suara.
Pemilihan secara tidak langsung juga menghemat anggaran belanja negara. Juga tidak merepotkan rakyat yang hendak memilih kepala daerahnya. Namun Pemerintah Daerah bisa saja terhambat dalam menjalankan program serta kebijakan karena adanya mosi tidak percaya dari DPRD terhadap kepala Daerah. Seperti yang dikatan Dianto (2013) bahwa dalam menyampaikan laporan pertanggungjawabannya, Kepala Daerah dihadapkan dengan berbagai persoalan atas kinerja kepala daerah selama tahun berjalan bahkan sering terjadi penolakan laporan pertanggungjawaban oleh DPRD. Sehingga kepala daerah tidak melaksanakan tugas dan fungsi sebagaimana mestinya karena DPRD yang mempunyai kewenangan besar tersebut tidak lagi menjadi pengawas akan tetapi sudah menjelma menjadi penghambat kebijakan dan program yang dilakukan oleh pemerintah daerah.



BAB III
KESIMPULAN
1.       Kelebihan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung
a.   Menghasilkan Kepala Daerah yang bertanggungjawab
b.  Menghapuskan sistem politik oligarki
c.   Menimbulkan keseimbangan antara anggota eksekutif dan anggota legislatif
2.       Kelebihan Pemilihan Kepala Daerah Melalui DPRD
a.   Rakyat akan lebih objektif dalam memilih wakil rakyatnya
b.  Menghemat anggaran negara karena tidak perlu mendistribusikan logstik
c.   Tidak adanya politik uang
3.       Kelemahan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung
a.   Biaya yang dikeluarkan negara untuk melangsungkan pemilihan umum cukup tinggi
b.  Rawan terjadi penggelembungan suara dan politik uang
c.   Rakyat enggan menggunakan hak pilihnya
4.       Kelemahan Pemilihan Kepala Daerah Melalui DPRD
a.   Pembatasan partisipasi rakyat dalam berpolitik
b.  Adanya mosi tidak percaya DPRD kepada kepala daerah



DAFTAR PUSTAKA
Dianto.2013.Jurnal Ilmiah Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung Oleh Rakyat Dan Melalui DPRD.
Omer,2011. http://bolmerhutasoit.wordpress.com/tag/undang-undang-nomor-32-tahun-2004-tentang-pemerintahan-daerah/
Rizal.2013.Jurnal Konflik Pilkada Dalam Era Demokrasi.



Manusia Pesisir

Suara adzan magrib memaksa kita untuk mengakhiri percakapan yang baru berjalan 10 menit. Walau sama-sama enggan untuk bertemu dan kamu tak mungkin semerindu aku, percakapan singkat seperti ini benar-benar menyejukkan. Bulan puasa kemarin, kamu menghabiskan banyak waktu di rumah. Berkali-kali aku memancingmu keluar dari sarang tapi nyatanya tak pernah berhasil. Kamu mengajakku menghadiri acara buka puasa bersama tapi aku enggan untuk datang. Iya, aku takut bertemu kamu.
Waktu itu jam pendalaman bahasa Indonesia, di taman depan ruang Tata Usaha. Awalnya aku tak menyadari keharian sesosok manusia dengan rambut ikal sedikit panjang karena aku sedang sibuk menahan rasa kantuk. Temanku mencoba memberiku isyarat akan kehadiranmu yang waktu itu menggunakan semacam kaos lengan panjang berwarna hitam biru. Saat aku tau kalau orang yang temanku maksud adalah kamu, aku segera memalingkan pandangan ke sebuah buku dipangkuanku. Bukan ingin sok rajin dihadapanmu, tapi aku sedang mengatur ritme jantungku yang tak karuan. Setelah kupastikan kamu sudah melewati kerumunan teman sekelasku, aku baru berani mengangkat kepala dan melihat punggungmu yang terus menjauh.
Ah, kalau aku tau hari itu akan menjadi pertemuan terakhir kita, aku akan memandang wajahmu lebih lama. Berusaha mencarimu selepas jam pendalaman dan berusaha bicara banyak denganmu. Kalau kamu baca tulisanku ini, jangan sekali-kali kamu mentertawakannya. Dalam tulisan ini terlalu banyak kata-kata yang tak layak publikasi karena semuanya berasal dari hati.
Suara handphone membuyarkan inspirasiku. Telfon dari kamu. Mengingat percakapan kita beberapa menit lalu terasa hambar, aku jadi enggan untuk mengangkat telfon darimu, tapi.. berhubung aku adalah seorang yang baik hati, akhirnya kuangkat telfon dari manusia pesisir macam kamu. Sesuai dengan perkiraan, kamu menanyakan kabar, ngomong ngelantur, kemudan berhola halo, dan telfon mati. Sial. Apa akhir percakapannya harus setragis ini?
Dalam ingatanku kamu adalah seorang dengan rambut ikal yang panjang, walau dalam beberapa pesan singkat kamu coba memberitahuku kalau sekarang rambut panjangmu hanya tinggal kenangan. Kamu bilang seorang guru harus berpenampilan rapi, jelas aku cekikikan ketika mendengar alasanmu menyerah untuk memanjangkan rambut. Walau dulunya aku adalah seorang yang mendukungmu untuk memanjangkan rambut, tapi ketika melihatmu sadar tentang “kerapian” aku jadi ikut bersyukur.
Sudah ah..  Aku tak ingin isi hatiku banyak yang mengetahuinya, apalagi isi hatiku tentang kamu.


Keajaiban Ruang 111

Setelah aku menjadi mahasiswa waktu berlalu begitu cepat. Belum sempat aku menghembuskan nafas lega, hari senin sudah merayu untuk dijalani. Kembali ke kampus dan bertemu lagi dengan mata kuliah yang namanya masih asing di telinga. Hari ini adalah hari selasa, hari senin yang merayuku kemarin berhasil membawaku ke hari selasa. Aku selamat dalam perjalanan, hari senin berjalan lancar tanpa macet. Walau di hari senin aku nyaris pingsan di ruang kelas yang suhu ruangannya extrem, menggigil sejadi-jadinya karena hari senin pada minggu ini aku awali dengan demam gejala flu. Tak ada yang perlu dikhawatirkan karena hari senin menjagaku sepanjang perjalanan menuju tempat kos. Terimakasih Senin.
Hari ini, aku menemukan keberanian baru. Keberanian yang selama ini aku biarkan menguap akibat rasa minder. Hal yang selama ini tak pernah aku lakukan, yaitu mengangkat tangan lalu mengajukan argumen-argumen konyol di depan dosen. Tapi hari ini semuanya berjalan begitu saja, sederhana dan aku tak sempat memikirkan kejadian di dalam ruang 111 itu. Aku sempat mengumpat dalam hati ketika telapak tanganku sudah lebih tinggi dari kepalaku. Jantungku berdetak dengan cepat ketika sepasang mata menatapku sambil mempersilahkan aku menguarkan pendapat, tapi detik itu juga argumen yang sudah aku siapkan mendadak hilang entah kemana. Lidahku kelu, cara berbicaraku mulai terbata-bata dan semakin tak jelas ketika intensitas detak jantungku semakin meningkat. Hatiku berbisik, “semua akan baik-baik saja”. Pikiranku mengiyakan kata hatiku hingga aku temukan lembaran-lembaran dalam otakku yang berisi jutaan argumen, semua keluar dengan sendirinya.
Keajaiban itu terjadi pada mata kuliah Dasar Dasar Produksi Siaran Radio Televisi. Jarum jam berjalan sangat cepat, aku mulai tenggelam dalam materi yang disampaikan seorang dosen dengan karakter menarik ini. Seorang yang terlihat tenang ini membawa seisi kelas berada pada suasana santai tapi serius. Sebenarnya banyak hal yang tak aku mengerti. Iya, kalau dibandingkan dengan mahasiswa lain yang notabene lulusan sekolah broadcast aku tak ada apa-apanya, aku kalah satu langkah, dan aku sedang mati-matian mengejar ketertinggalanku.
Waktu itu sang dosen sedang asik menjelaskan tentang Jenis Stasiun Radio Siaran. Stasiun Radio Siaran dibagi menjadi 3, yaitu Stasiun Radio Siaran Komunitas, Stasiun Radio Siaran Publik, dan Stasiun Radio Siaran Komersial. Aku yang buta dengan dunia broadcast sekali lagi memberanikan diri mengeluarkan argumentasi ketika seorang didepan kelas menanyakan definisi dari Stasiun Radio Siaran Komunitas. Aku berpendapat bahwa Radio Komunitas adalah sebuah Stasiun Radio yang jangkauan siarnya dibatasi, hanya memiliki jangkauan siar 2,5 km dan frekuensinya antara 107 dan 108 saja. Setelah mendengar pendapatku, beliau mengedarkan pandangan keseluruh sudut kelas. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun beliau membiarkan aku membeku akibat rasa “takut salah”.
Sekali lagi seorang didepan kelas itu menunjuk seorang mahasiswa yang duduk di bangku pojok belakang. Hanya beberapa meter dari tempatku duduk, tapi aku tak bisa mendengar perkataan mahasiswa bertubuh besar itu. Tiba-tiba dosen itu berkata, “ternyata orang yang wajahnya tidak meyakinkan malah bisa memberi jawaban yang mendekati bener”. Jadi, Stasiun Radio Siaran Komunitas adalah sebuah Stasiun Radio yang didirikan oleh komunitas tertentu untuk kepentingan komunitasnya, area siarannya hanya 2,5 km, biaya oprasional siaran ditanggung oleh komunitas itu sendiri, dan jam siarannya dibatasi atau tergantung persetujuan dari para anggota komunitas itu sendiri. Aku menarik nafas lega karena argumenku tak seluruhnya salah.
Beranjak ke Stasiun Radio Siaran Publik. Mendengar kata publik pikiranku langsung terarah pada kata “milik negara”. Benar, Stasiun Radio Siaran Publik adalah Stasiun Radio milik negara yang didirikan untuk kepentingan publik dan masyarakat. Salah satu contohnya adalah RRI, dalam Stasiun Radio yang satu ini tidak diperbolehkan memuat iklan komersial, hanya iklan layanan masyarakat saja yang boleh disiarkan. Iklan masyarakat yang hendak disiarkan juga harus disaring terlebih dahulu, karena iklan masyarakat tersebut harus sesuai dengan etika yang sudah dipertegas oleh undang-undang.
“Ada yang perlu di-sharing-kan?”
Aku mengangkat tangan lagi. Sepasang mata itu menatapku lagi, mempersilahkan aku untuk bertanya lagi. “Apakah RRI di seluruh Indonesia memiliki frekuensi yang sama?” tanyaku singkat.
“Tidak”, jawab beliau.

Kepalaku pening hingga penjelasan dari sang dosen tak masuk dalam pikiranku. Percuma aku memberanikan diri untuk bertanya bila akhirnya jawaban itu tak bisa aku dengar sendiri. Hingga jam kuliah selesai kepalaku masih terasa berat dan perutku terasa seperti diaduk-aduk. Sampai semalam ini aku masih menyimpan satu pertanyaan yaitu, “Jika tak ada iklan komersial, maka darimana Stasiun Radio Publik mendapat penghidupan?”. 

Ada Cerita

Ini hari ke tiga setelah aku resmi menjadi mahasiswa di Sekolah Tinggi Multi Media “MMTC” Yogyakarta. Hingga tulisan ini aku posting semuanya masih berjalan dengan lancar, mata kuliah dasar yang menjadi pembuka masih terasa sama dengan pelajar di SMA. Dosen pengajar pun tak sesadis yang aku bayangkan.Maklum mereka masih satu suku bangsa denganku, jawa. 
Pagi ini aku berjalan menuju kelas yang sudah ditentukan, ruang tunggu dosen masih ramai, terlihat beberapa mahasiswa berkerumun di depan mading untuk melihat jadwal kuliah. Dengan wajah polos aku melangkah melewati kerumunan itu, aku yang acuh tak pernah merasa risih dengan beberapa pasang mata yang mengamati langkahku. Beberapa anak tangga sudah siap mengantarku ke ruang kelas. Lima belas menit sebelum mata kuliah Psikologi Sosial dimulai aku sudah duduk manis di deret bangku kedua dari depan, posisi duduk favoritku sejak SD.
Semuanya berawal dari kekecawaan yang meracuni semangat belajarku hingga akhirnya aku terdampar di sebuah kampus broadcasting dengan peralatan terlengkap di Indonesia, batinku. Aku bukan seorang siswa rajin dengan sertifikat menggunung, aku hanya siswa biasa. Siswa dengan hobi tidur dikelas, ngobrol dengan teman sebangku, dan berkirim pesan selama jam pelajaran. Iya, itu semua hal konyol yang kini sudah menjadi rahasia umum di kalangan remaja SMA. Sampai akhirnya hadiah dari semua kekonyolanku tiba; aku tidak lolos SNMPTN.
“Bagaimana hasilnya?” tanya ibuku lewat telfon.
“Tidak lolos” jawabku ringan.
Masih seperti biasanya, aku bicara ngalor ngidul dengan ibuku. Seperti semuanya baik-baik saja, aku masih bisa cengengesan menanggapi nasehat ibuku di telfon. Tapi ketika telfon ditutup dan jam makan siang datang baru terasa sakitnya. Masa lalu terus menertawakan aku, mencemooh semua sikap kekanak-kanakanku semasa sekolah, menghujat aku yang tak bisa mengelola waktu dengan baik. Terpuruk.
Masakan nenekku tak pernah ada saingannya, apalagi lodehnya. Tapi setelah pengumuman SNMPTN keluar… aroma santan yang menusuk hidung pun tak bisa menghidupkan nafsu makanku. Aku pergi menuju rumah salah seorang teman yang senasib denganku. Awalkan kami hanya duduk berdua sambil mengutuk diri, tapi lama kelamaan kekecewaan itu sedikit terobati dengan obrolan ringan ala remaja perempuan.
Aku sempat bermimpi untuk pergi ke Jogja, menikmati kotanya yang tak pernah tidur sembari merasakan dekap hangat ibuku, bagiku obat paling mujarab untuk penyakit hati adalah ibu. Aku berangkat ke Jogja dengan tujuan liburan tanpa ada niat untuk mendaftarkan diri di sekolah tinggi yang satu ini. Memang ibuku pernah bercerita tentang sekolah tinggi yang satu ini, tapi saat itu aku tak tertarik. Aku lebih tertarik dengan Universitas Brawijaya yang berjarak tempuh 3 jam dari rumah nenek.
Dengan berat hati aku mendaftarkan diri ke Sekolah Tinggi Multi Media Yogyakarta. Setelah semua registrasi selesai aku masih memiliki waktu beberapa hari untuk belajar sebelum tes masuk di laksanakan. Demi apapun, waktu itu aku masih berharap bisa mengikuti tes di Universitas lain yang lebih bergengsi, dan aku yakin bahwa tanpa belajar aku pasti tidak lolos di tes masuk Sekolah Tinggi Multi Media ini. Tapi Tuhan berkata lain, rejekiku memang dituliskan disini. Aku lolos ujian masuk walau maju bersaing tanpa persiapan apapun.
Hari ini aku bisa lebih bersyukur, walau sempat jatuh hingga kehilangan nafsu makan selama berhari-hari tapi akhirnya aku bisa melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi bebasis broadcasting dengan alat berstandart internasional. Dibalik semua mahasiswa yang duduk disekitarku, mereka pasti punya ceritanya masing-masing. Entah itu cerita bahagia atau menyakitkan, tapi yang jelas semua cerita membawa aku dan teman satu angkatan berada dalam satu lembaga pendidikan yang sama, Sekolah Tinggi Multi Media MMTC Yogyakarta.


8 Oktober 2013

Happy Birthday Kidal..
Baiklah, tahun ini aku tidak akan menyanyikan lagu “Happy Birthday to you” lagi. Suaraku memang dibawah rata-rata, tapi kali ini kamu tak perlu mengomentarinya. Iya, suaraku hanya suara tanpa nada kalau dibandingkan dengan suaramu yang sudah terasa merdu walau terdengar dari ujung telfon dari  ujung telfon. Bahkan sampai saat ini, 3 bulan setelah kamu angkat kaki dari kabupaten Jember pun, suaramu masih sering kudengar dalam sepinya malam.
Ah, aku rindu dengan cara tertawamu yang khas. Setiap kali kita bertemu kau selalu menanyakan sampai mana perkembanganku dalam belajar membaca huruf arab. Setelah mendengar jawabanku yang tak pernah berubah, kamu tertawa dengan keras. Kamu selalu menyebutku dengan sebutan “penghianat” karena kamu yang bukan muslim saja bisa membaca tulisan arab dengan lancar, bahkan mendapat nilai tertinggi di mata pelajaran bahasa Arab. Di sekolahku yang baru aku dituntut untuk bisa membaca Al-Quran. Jadi mau tidak mau aku harus belajar membaca huruf arab. Bagaimana kalau kita adu kemampuan membaca huruf arab sekarang?
Kembali ke acara perayaan ulang tahunmu. Apa kamu masih merayakan ulang tahunmu di tempat yang sama, Pizza Hut? Aku sedang membayangkan kamu merayakan ulang tahun ke-20 dengan sangat meriah, bersama teman-teman barumu di Jogja. Entah kenapa setiap kali mendengar kata Jogja aku menjadi bergidik ngeri. Terasa diseret pada masa dimana kamu berpamitan untuk pergi. Melepaskan kamu pergi ke kota dengan waktu tempuh 12 jam dari Jember itu tidak mudah.
Aku tidak suka makan Pizza, tapi dihari ini satu tahun yang lalu kamu menyeretku ke Pizza Hut untuk merayakan ulang tahunmu. Ah, waktu itu keluargamu sedang berlibur ke Bali, kamu yang sadar akan pentingnya sekolah lebih memilih tinggal di rumah dan merayakan ulang tahunmu hanya bersamaku. Malam ini aku tak bisa mengucapkan selamat karena aku sudah kehabisan cara untuk mencari celah di sosial media untuk menghubungimu, tapi hasilnya nihil.
Sudahlah, hari ini kita sudah memiliki kehidupan yang berbeda. Kamu di Jogja dengan gaya hidup remaja Jogja dan aku di Blitar dengan gaya hidup remaja desa. Aku akan berusaha lebih giat dari sekarang untuk bisa menjemputmu di kota Gudeg. Tahun depan aku sudah menanggalkan seragam abu-abuku dan namaku akan tedaftar di salah satu jurusan di Universitas Gajah Mada.
Harapanku untuk kamu di tahun ini..
Tetaplah menjadi koko terbaik untuk peri cantik berusia 5 tahun itu, menjadi titi terhebat untuk kakak perempuanmu yang lebih mirip dengan chelsi olivia, jadilah putra mahkota paling tangguh untuk ayahmu dan jadilah anak laki-laki yang penuh tanggung jawab demi ibumu.
Dariku, Rahmi


Metamorfosa Cinta 3

Muzaki mengajakku duduk di deret bangku agak belakang. Aula sudah penuh sesak dengan para alumni. Suasanya terasa sangat tenang, semua orang berkonsentrasi pada tauziah yang disampaikan ustad dari salah satu pesantren terkenal di jawa timur. Sesekali aku menoleh ke kanan, melihat wajah Muzaki yang tampak serius.
Aku mulai bosan.
Berkali-kali kucoba mengajak Muzaki untuk meninggalkan aula, berjalan ke tempat yang lebih luas daripada ruang ini, tapi manusia yang satu ini masih sibuk dengan handphone di tangannya. Kumencoba melihat isi pesan yang sedang dia tulis, tapi mata rabun membuat ukuran hurufnya tampak kecil. Rasa mual membuatku berhenti mencari tahu dengan siapa dia berbalas pesan. Setelah banyak cara aku lakukan, akhirnya Muzaki mau beranjak dari tempat duduknya.
“Kita mau kemana?”
“Entahlah…” aku mendahuluinya.
Diujung lorong sana terdapat kelas 3 IPA 1, kelas Muzaki. Pintunya terbuka, itu tandanya kelas akan digunakan untuk ruang makan saat adzan magrib sudah berkumandang. Aku berlari menyusuri lorong. Akhirnya aku behenti didepan pintu kelas 3 IPA 1. 
“Hari Rabu, mata pelajaran seni budaya dan olah raga” Muzaki tertawa.
Aku mengernyitkan dahi, “kenapa tertawa?”
Muzaki memandangku dengan tatapan menyelidik. “Kamu masih ingat dengan ‘Tomat’?”
Aku melotot kearah Muzaki yang tertawa semakin keras.
***
“Rahmi..” aku menoleh kearah suara itu berasal. “Coba kamu kesini.”
“Ada apa pak?”
Beliau membuka buku daftar nilai dan mengeluarkan selembar kertas. “Tolong berikan kertas ini kepada guru yang mengajar di kelas 3 IPA 1”
“Baik pak”
Aku berlari kecil untuk mempersingkat waktu perjalanan. Jarak lapangan basket dengan kelas 3 IPA 1 yang jauh membuat nafasku nyaris putus ketika sampai di depan ruang kelas 3 IPA 1. Sengaja kuhentikan langkah jauh dari pintu masuk kelas supaya aku bisa menata nafas sambil membaca tulisan yang ada di kertas ini. Tapi diluar dugaan ada suara lantang menyambar indra pendengaranku.
“Sedang apa kamu disana! Cepat kemari!”
Aku berusaha menyeret kakiku yang gemetar menuju seorang wanita paruh baya di ambang pintu. “Emm.. anu bu..” kucoba merapikan kondisi kerudung untuk menyamarkan rasa gugup.
“Ona anu!” bentaknya lagi. “Kertas apa itu?” beliau langsung merampas kertas yang ada pada genggamanku. Sejenak pandangannya mengedar diantara siswa yang duduknya saling berkelompok.
“Kamu!” beliau menunjuk salah seorang yang duduk menghadap ke belakang. Lagi-lagi suara guru wanita ini berhasil memecah kegaduhan dalam kelas. “Ada panggilan dari Pak Joko”.
“Emm.. terima kasih bu. Kalau begitu saya permisi dulu” suaraku sedikit bergetar.
“Kamu ini bagaimana? Tidak menjalankan amanah dengan baik,” seluruh mata kini menatapku. “Jadi wanita itu harus tegas, tidak boleh lembek. Dari suaramu saja saya sudah bisa menilai bahwa kamu adalah wanita dengan mental lemah,” aku hanya bisa tertunduk sambil mendengarkan beliau bicara ngelantur.
“Dari mukamu yang memerah seperti tomat, saya rasa kamu adalah seseorang yang pemalu dan bernyali kecil…” tambahnya.
“Permisi bu,” suara yang tak asing ditelingaku. “Apa saya boleh meninggalkan kelas sekarang juga?” kali ini aku memberanikan diri mengangkat kepala, mencari tahu pemilik suara yang tak asing itu.
Ketua? Untuk kesekian kalinya dia membuat jantungku rontok. Aku masih mematung dihadapannya, sedang guru dengan volume suara sterio itu sudah kembali ke tempat duduknya setelah mempersilahkan Ketua meninggalkan kelas. Ketua hanya melempar sedikit senyum padaku, melewatiku, dan berlalu begitu saja.
Buru-buru aku mengekor dibelakangnya. Dari sini aku hanya bisa melihat punggung Ketua dibalut dengan baju seragam yang mulai menguning. Aku mengumpat dalam hati atas kejadian didepan kelas tadi. Sejak saat ini aku kibarkan berdera perang kepada guru seni budaya itu, karena guru wanita itu telah menghancurkan reputasiku dihadapan Ketua.

“Terima kasih,” dilanjut dengan tawa yang meledak. “Kamu adalah siswa dengan mental diamond, maka dari itu Pak Joko menyuruhmu mengantar surat ke kelasku saat jam pelajaran Bu Nasti belangsung”

Metamorfosa Cinta 2


Hari terakhir masa orientasi siswa. Seluruh siswa baru berkumpul untuk melaksanakan upacara penutupan. Tak peduli dengan terik matahari yang membuat muka bagian kanan terbakar hebat, para anggota OSIS masih terus berteriak lantang saat menata barisan sesuai dengan gugusnya masing-masing.
Sementara di sudut lain terlihat beberapa anggota OSIS membentuk sebuah kerumunan. Salah seorang dari mereka terlihat membentak anggota  lainnya dengan wajah penuh emosi. Sesekali dua orang anggota OSIS laki-laki berbadan sama tinggi saling beradu mulut, sedang anggota OSIS yang lain hanya melongo melihat kelakuan dua orang itu. Tak lama setalah adu mulut, salah seorang dari anggota OSIS berbadan tinggi itu memisahkan diri dari kerumunan.
Anggota OSIS itu berjalan menuju tempat teduh di tepi lapangan upacara. Jaraknya sekitar 12 meter dari tempatku berdiri. Matanya menerawang diantara ratusan siswa baru yang kini telah berbaris rapi. Tanpa sengaja matanya bertemu dengan mataku yang sedari tadi mengamati gerak geriknya. Sorot matanya tampak seperti predator yang sedang mengintai mangsa. Sedetik kemudian aku tak lagi melihatnya duduk di tempat semula. Dengan sorot mata yang tak berubah dia berlari melintasi lapangan.
Jarakku dengan salah seorang anggota OSIS itu semakin dekat, matanya terus memelototiku. Aku mulai salah tingkah. Ini hari terakhir, hanya menunggu penutupan pekan orientasi siswa saja, kesalahan apa yang aku buat? Detak jantungku semakin tak karuan. Sontak aku menundukkan kepala untuk menghindari sorot matanya yang begitu menakutkan.
Sekarang aku bisa melihat ujung sepatu anggota OSIS itu. Dari jarak sedekat ini tentu saja aku bisa mendengar suara nafasnya yang terengah-engah. Apa yang akan dia lakukan, batinku.
“Angkat kepalamu..” suaranya putus-putus.
Engsel kepalaku rasanya kaku karena takut melihat sorot mata predator yang sejak tadi dia tujukan padaku.
“Angkat kepalamu!!” teriakannya membuat siswa lain memandang kearahku.
Perlahan kuangkat kepalaku. “Bagus. Pandangan tetap lurus”
Dia masih betah berdiri dihadapanku. Sementara banyak mata menyaksikan wajahku yang memerah karena menahan tangis, bahkan ekor mataku bisa menangkap bayangan beberapa orang anggota OSIS perempuan yang sedang berbisik dengan rekannya di sudut sana. Sebenarnya apa yang sedang dia amati dari aku yang hampir mati gugup ini?
“Ikut aku..” dia menarik lenganku dengan kasar. Menyeretku kearah kerumunan anggota OSIS diujung lapangan.
“Aku dapat penggantinya,” semua senior melihat kearahku. Aku masih tertunduk. “Cepat panggil para petugas upacara lainnya. Kita berikan arahan sekali lagi.”
“Siap ketua” sahut seorang perempuan berkerudung.
Setelah sepuluh menit pengarahan aku sudah berdiri di deretan petugas upacara, sebagai pengibar bendera. Tanpa persiapan apa pun aku dipaksa menuruti perintah anggota OSIS. Semoga tak ada insiden bendera terbalik, mengingat aku bukan anggota paskibra saat di SMP dan aku tak punya kesempatan sama sekali untuk latihan.
Protokol mulai membacakan satu persatu susunan acara. Rasa gugup mulai merasuki akal sehatku. Bulir-bulir keringan telah membasahi sekujur tubuhku. Aku masih kebingungan dengan pengarahan yang telah di berikan anggota OSIS tadi, tapi sekarang? Sekarang aku sudah berdiri disini dengan baju seragam putih-putih.

“Semangat!” seseorang berkata lirih dari belakang. Spontan aku menoleh, kudapati wajah anggota OSIS yang menyeretku dalam masalah ini sedang tersenyum riang. Aku membalasnya dengan senyum kecut.

Metamorfosa Cinta 1


Sekali lagi aku menghela nafas. Entah setan macam apa yang membuatku nekat menghadiri acara buka bersama seperti ini. Sejak setengah jam lalu aku mengamati satu persatu manusia yang lalu lalang di depan mobilku dan tak seorang manusia pun yang ku kenal. Kucoba menghubungi beberapa teman SMA untuk menemaniku masuk ke dalam acara membosankan ini, tapi tak satu pun dari mereka membalas pesan singkatku.
Aku sedang asik mengutuk diri saat seseorang mengetuk kaca mobilku. Ternyata seorang laki-laki dengan hem dan celana jins. Dari gaya berpakaiannya yang terkesan rapi sepertinya dia bukan orang desa biasa. Wajahnya tidak asing, mungkin dia beberapa tahun diatasku. Lagi-lagi kaca mobilku diketuknya. Kali ini dia melambaikan tangan, memberi isyarat agar aku cepat keluar. Sebelum keluar dari mobil, kurapikan kerudung pasmina biru di kepalaku.
“Rahmi?”
“Iya” jawabku singkat.
“Mau masuk kedalam bersamaku?”
“Iya” tanpa memandang wajahnya aku langsung melenggang pergi meninggalkan dia yang masih mematung.
Dia berlari kecil agar bisa mengimbangi langkah kakiku.“Bagaimana kabarmu, dik?”
“Baik”
Aku dan dia jalan beriringan tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Tangannya menekan tombol di handphonenya, mungkin dia sedang menulis pesan singkat untuk pacar atau bahkan istrinya. Sedang aku  membuka dokumen lama dalam otakku untuk mencari tahu siapa dia, tapi hasilnya nihil. Mendadak suasana menjadi ramai saat memasuki lobi, kepalaku mulai pusing ketika melihat lautan manusia seperti ini.
Kurasakan ada seseorang menarik tanganku. Beberapa kali aku menabrak segerombolan orang saat laki-laki yang sejak tadi bersamaku menerobos lautan manusia dengan kasar. Laki-laki itu terus menarik tanganku hingga ujung lobi, hanya beberapa orang yang berdiri disana. Cukup lama aku dan dia berdiri di ujung lobi, tampaknya laki-laki satu ini sedang mencari seseorang.
Tiba-tiba dia menarik tanganku, berlari menuju seseorang yang duduk di bawah pohon.
“Hai, apa kabar muz?” sapa orang itu dari kejauhan.
“Alhamdulillah, kabar baik. Kamu sendiri apa kabar?”
“Alhamdulillah, kabarku jauh lebih baik dari kamu.” mereka tertawa bersama.
Aku menjauh dari mereka berdua yang sedang larut dalam nostalgia. Mereka berbincang-bincang cukup lama. Sebenarnya aku tak begitu peduli dengan apa yang mereka bicarakan, tapi dari pembicaraan itu aku bisa menarik kesimpulan bahwa laki-laki yang sedari tadi bersamaku bernama Muz. Setelah mengeluarkan selembar 50 ribu dari dalam dompetnya, Muz menghampiriku dan memberi dua lembar tiket masuk.
Dalam tiket itu ada nama panjangku dan nama panjangnya. Ahmad Muzaki. Aku melongo melihat nama yang ada di dalam tiket itu.
“Kenapa?”
Muzaki hanya tersenyum melihat ekspresi wajahku. Senyuman yang bisa merontakkan isi dadaku. Aku masih menikmati detak jantung dengan irama tidak karuan ini. Kaget? Jelas.
“Hello..” Muzaki melambaikan tangannya di depan wajahku.
“Ini benar mas Muzaki?”
“Iya, apa kamu lupa?”
“Aku tidak lupa. Hanya saja…” aku mencoba mengontrol rasa bahagia yang meledak ledak dalam hati. “Penampilanmu sangat berubah, mas.”
Muzaki tertawa mendengar jawaban atas pertanyaannya. “Mungkin itu hanya perasaanmu saja. Tak ada yang berubah dik, saya masih sama seperti dulu,” senyum Muzaki mengembang. “Hmm… bagaimana kalau kita masuk kedalam aula? Mendengarkan sedikit tauziah sambil menunggu adzan magrib”

Aku mengangguk dan berjalan dibelakangnya. 

Untuk Orang Nomor Satu (Tugas Ospek)

Dengan hormat,
Pertama-tama saya ingin mengucapkan selamat kepada bapak presiden yang sudah memenangkan hati 70.997.833 rakyat Indonesia pada tanggal 9 Juli lalu. Pada hari pemilihan orang nomor satu di Indonesia saya ikut berpartisipasi menyumbangkan suara saya, saat itu saya hanya bisa berdoa semoga Indonesia diberi pemimpin yang penuh tanggung jawab, saya juga berharap semoga kelak Indonesia bisa lebih baik lagi dibawah naungan bapak presiden. Sejujurnya sudah banyak sekali rakyat yang haus dengan bukti, sedangkan rakyat kecil yang perutnya keroncongan sudah kenyang dengan janji. Saya selalu berdoa semoga bapak presiden yang akan menjadi bapak dari seluruh rakyat Indonesia bisa dengan lapang dada menerima masukan dari rakyat jelata.
Bapak presiden yang saya banggakan, banyak hal yang ingin saya sampaikan. Saya ingin bapak mendengar suara rakyat lebih jelas lagi. Saya tahu, saya hanya mahasiswa tingkat satu yang masih ingusan, minim pengetahuan tentang politik dan intrik, saya juga tak begitu mengerti tentang dampak dari kebijakan yang sering para presiden terdahulu ambil, tapi kali ini saya memutuskan untuk buka mulut. Saya tidak sedang mengomentari kinerja pemimpin negara yang terdahulu, tapi saya hanya ingin menyampaikan aspirasi saya lewat sepucuk surat.
Sedikit bercerita tentang kehidupan pribadi saya, saya hanya seorang mahasiswi yang memiliki hobi menari. Dari menari saya bisa mendapatkan banyak pelajaran, karena selain menggerakkan tubuh mengikuti irama tarian tradisional Indonesia juga memiliki makna mendalam. Masih ingatkah bapak presidenku tentang kontroversi tari pendet ditahun 2009? Waktu itu usia saya masih sangat belia, tapi sungguh hati ini merasa ikut kehilangan ketika mendengar kabar bahwa tarian asli pulau dewata itu diklaim sebagai budaya negara tetangga. Tak dapat dipungkiri bahwa tari pendet yang biasa ditampilkan sebagai bagian dari upacara penyambutan para tamu agung di pulau wisata Bali dapat menarik minat turis asing untuk mempelajarinya, karena tanpa mengurangi kesakralan dan religiusnya para penari wanita membawakan dengan hati.
Dari situ saya tahu bahwa semua yang tak ingin bangsa Indonesia banggakan justru menjadi daya tarik yang luar biasa bagi turis asing. Dari situ juga saya mengerti bahwa peran pemerintah dalam meyakinkan warganya untuk melestarikan budaya daerah masih sangat kecil. Saya harap bapak bisa memotivasi rakyat Indonesia untuk lebih peduli terhadap kebudayaannya. Serta membuat rakyat indonesia percaya diri dengan apa yang mereka miliki.
Orang nomor satu yang saya banggakan, saya tidak ingin merepotkan atau bahkan menambah jumlah beban yang sudah bapak bawa dipundak. Tapi saya hanya ingin mengingatkan bahwa nasip Indonesia lima tahun ke depan ada pada anda, entah itu rakyatnya atau pun budayanya berada dalam genggaman seorang pemimpin yang tegas seperti anda. Mayoritas rakyat Indonesia memilih anda, jangan buat mereka kecewa hanya karena hal sepele seperti kehilangan tradisi nenek moyangnya. Presidenku, anda adalah orang yang sangat berpengaruh di negeri ini. Apapun yang anda lakukan akan sangat membekas dihati rakyat, maka ukirlah kenangan indah dalam relung hati rakyat Indonesia.
Sekian surat yang saya buat untuk orang nomor satu di negaraku tercinta.


Hormat Saya,