Keajaiban Ruang 111

Setelah aku menjadi mahasiswa waktu berlalu begitu cepat. Belum sempat aku menghembuskan nafas lega, hari senin sudah merayu untuk dijalani. Kembali ke kampus dan bertemu lagi dengan mata kuliah yang namanya masih asing di telinga. Hari ini adalah hari selasa, hari senin yang merayuku kemarin berhasil membawaku ke hari selasa. Aku selamat dalam perjalanan, hari senin berjalan lancar tanpa macet. Walau di hari senin aku nyaris pingsan di ruang kelas yang suhu ruangannya extrem, menggigil sejadi-jadinya karena hari senin pada minggu ini aku awali dengan demam gejala flu. Tak ada yang perlu dikhawatirkan karena hari senin menjagaku sepanjang perjalanan menuju tempat kos. Terimakasih Senin.
Hari ini, aku menemukan keberanian baru. Keberanian yang selama ini aku biarkan menguap akibat rasa minder. Hal yang selama ini tak pernah aku lakukan, yaitu mengangkat tangan lalu mengajukan argumen-argumen konyol di depan dosen. Tapi hari ini semuanya berjalan begitu saja, sederhana dan aku tak sempat memikirkan kejadian di dalam ruang 111 itu. Aku sempat mengumpat dalam hati ketika telapak tanganku sudah lebih tinggi dari kepalaku. Jantungku berdetak dengan cepat ketika sepasang mata menatapku sambil mempersilahkan aku menguarkan pendapat, tapi detik itu juga argumen yang sudah aku siapkan mendadak hilang entah kemana. Lidahku kelu, cara berbicaraku mulai terbata-bata dan semakin tak jelas ketika intensitas detak jantungku semakin meningkat. Hatiku berbisik, “semua akan baik-baik saja”. Pikiranku mengiyakan kata hatiku hingga aku temukan lembaran-lembaran dalam otakku yang berisi jutaan argumen, semua keluar dengan sendirinya.
Keajaiban itu terjadi pada mata kuliah Dasar Dasar Produksi Siaran Radio Televisi. Jarum jam berjalan sangat cepat, aku mulai tenggelam dalam materi yang disampaikan seorang dosen dengan karakter menarik ini. Seorang yang terlihat tenang ini membawa seisi kelas berada pada suasana santai tapi serius. Sebenarnya banyak hal yang tak aku mengerti. Iya, kalau dibandingkan dengan mahasiswa lain yang notabene lulusan sekolah broadcast aku tak ada apa-apanya, aku kalah satu langkah, dan aku sedang mati-matian mengejar ketertinggalanku.
Waktu itu sang dosen sedang asik menjelaskan tentang Jenis Stasiun Radio Siaran. Stasiun Radio Siaran dibagi menjadi 3, yaitu Stasiun Radio Siaran Komunitas, Stasiun Radio Siaran Publik, dan Stasiun Radio Siaran Komersial. Aku yang buta dengan dunia broadcast sekali lagi memberanikan diri mengeluarkan argumentasi ketika seorang didepan kelas menanyakan definisi dari Stasiun Radio Siaran Komunitas. Aku berpendapat bahwa Radio Komunitas adalah sebuah Stasiun Radio yang jangkauan siarnya dibatasi, hanya memiliki jangkauan siar 2,5 km dan frekuensinya antara 107 dan 108 saja. Setelah mendengar pendapatku, beliau mengedarkan pandangan keseluruh sudut kelas. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun beliau membiarkan aku membeku akibat rasa “takut salah”.
Sekali lagi seorang didepan kelas itu menunjuk seorang mahasiswa yang duduk di bangku pojok belakang. Hanya beberapa meter dari tempatku duduk, tapi aku tak bisa mendengar perkataan mahasiswa bertubuh besar itu. Tiba-tiba dosen itu berkata, “ternyata orang yang wajahnya tidak meyakinkan malah bisa memberi jawaban yang mendekati bener”. Jadi, Stasiun Radio Siaran Komunitas adalah sebuah Stasiun Radio yang didirikan oleh komunitas tertentu untuk kepentingan komunitasnya, area siarannya hanya 2,5 km, biaya oprasional siaran ditanggung oleh komunitas itu sendiri, dan jam siarannya dibatasi atau tergantung persetujuan dari para anggota komunitas itu sendiri. Aku menarik nafas lega karena argumenku tak seluruhnya salah.
Beranjak ke Stasiun Radio Siaran Publik. Mendengar kata publik pikiranku langsung terarah pada kata “milik negara”. Benar, Stasiun Radio Siaran Publik adalah Stasiun Radio milik negara yang didirikan untuk kepentingan publik dan masyarakat. Salah satu contohnya adalah RRI, dalam Stasiun Radio yang satu ini tidak diperbolehkan memuat iklan komersial, hanya iklan layanan masyarakat saja yang boleh disiarkan. Iklan masyarakat yang hendak disiarkan juga harus disaring terlebih dahulu, karena iklan masyarakat tersebut harus sesuai dengan etika yang sudah dipertegas oleh undang-undang.
“Ada yang perlu di-sharing-kan?”
Aku mengangkat tangan lagi. Sepasang mata itu menatapku lagi, mempersilahkan aku untuk bertanya lagi. “Apakah RRI di seluruh Indonesia memiliki frekuensi yang sama?” tanyaku singkat.
“Tidak”, jawab beliau.

Kepalaku pening hingga penjelasan dari sang dosen tak masuk dalam pikiranku. Percuma aku memberanikan diri untuk bertanya bila akhirnya jawaban itu tak bisa aku dengar sendiri. Hingga jam kuliah selesai kepalaku masih terasa berat dan perutku terasa seperti diaduk-aduk. Sampai semalam ini aku masih menyimpan satu pertanyaan yaitu, “Jika tak ada iklan komersial, maka darimana Stasiun Radio Publik mendapat penghidupan?”. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar