Setelah aku
menjadi mahasiswa waktu berlalu begitu cepat. Belum sempat aku menghembuskan
nafas lega, hari senin sudah merayu untuk dijalani. Kembali ke kampus dan bertemu
lagi dengan mata kuliah yang namanya masih asing di telinga. Hari ini adalah
hari selasa, hari senin yang merayuku kemarin berhasil membawaku ke hari
selasa. Aku selamat dalam perjalanan, hari senin berjalan lancar tanpa macet.
Walau di hari senin aku nyaris pingsan di ruang kelas yang suhu ruangannya extrem,
menggigil sejadi-jadinya karena hari senin pada minggu ini aku awali dengan
demam gejala flu. Tak ada yang perlu dikhawatirkan karena hari senin menjagaku
sepanjang perjalanan menuju tempat kos. Terimakasih Senin.
Hari ini, aku menemukan
keberanian baru. Keberanian yang selama ini aku biarkan menguap akibat rasa
minder. Hal yang selama ini tak pernah aku lakukan, yaitu mengangkat tangan
lalu mengajukan argumen-argumen konyol di depan dosen. Tapi hari ini semuanya
berjalan begitu saja, sederhana dan aku tak sempat memikirkan kejadian di dalam
ruang 111 itu. Aku sempat mengumpat dalam hati ketika telapak tanganku sudah
lebih tinggi dari kepalaku. Jantungku berdetak dengan cepat ketika sepasang
mata menatapku sambil mempersilahkan aku menguarkan pendapat, tapi detik itu
juga argumen yang sudah aku siapkan mendadak hilang entah kemana. Lidahku kelu,
cara berbicaraku mulai terbata-bata dan semakin tak jelas ketika intensitas
detak jantungku semakin meningkat. Hatiku berbisik, “semua akan baik-baik saja”.
Pikiranku mengiyakan kata hatiku hingga aku temukan lembaran-lembaran dalam
otakku yang berisi jutaan argumen, semua keluar dengan sendirinya.
Keajaiban itu
terjadi pada mata kuliah Dasar Dasar Produksi Siaran Radio Televisi. Jarum jam
berjalan sangat cepat, aku mulai tenggelam dalam materi yang disampaikan seorang
dosen dengan karakter menarik ini. Seorang yang terlihat tenang ini membawa
seisi kelas berada pada suasana santai tapi serius. Sebenarnya banyak hal yang
tak aku mengerti. Iya, kalau dibandingkan dengan mahasiswa lain yang notabene
lulusan sekolah broadcast aku tak ada apa-apanya, aku kalah satu langkah, dan aku
sedang mati-matian mengejar ketertinggalanku.
Waktu itu sang
dosen sedang asik menjelaskan tentang Jenis Stasiun Radio Siaran. Stasiun Radio
Siaran dibagi menjadi 3, yaitu Stasiun Radio Siaran Komunitas, Stasiun Radio
Siaran Publik, dan Stasiun Radio Siaran Komersial. Aku yang buta dengan dunia
broadcast sekali lagi memberanikan diri mengeluarkan argumentasi ketika seorang
didepan kelas menanyakan definisi dari Stasiun Radio Siaran Komunitas. Aku
berpendapat bahwa Radio Komunitas adalah sebuah Stasiun Radio yang jangkauan
siarnya dibatasi, hanya memiliki jangkauan siar 2,5 km dan frekuensinya antara
107 dan 108 saja. Setelah mendengar pendapatku, beliau mengedarkan pandangan
keseluruh sudut kelas. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun beliau membiarkan
aku membeku akibat rasa “takut salah”.
Sekali lagi
seorang didepan kelas itu menunjuk seorang mahasiswa yang duduk di bangku pojok
belakang. Hanya beberapa meter dari tempatku duduk, tapi aku tak bisa mendengar
perkataan mahasiswa bertubuh besar itu. Tiba-tiba dosen itu berkata, “ternyata
orang yang wajahnya tidak meyakinkan malah bisa memberi jawaban yang mendekati
bener”. Jadi, Stasiun Radio Siaran Komunitas adalah sebuah Stasiun Radio yang
didirikan oleh komunitas tertentu untuk kepentingan komunitasnya, area
siarannya hanya 2,5 km, biaya oprasional siaran ditanggung oleh komunitas itu
sendiri, dan jam siarannya dibatasi atau tergantung persetujuan dari para
anggota komunitas itu sendiri. Aku menarik nafas lega karena argumenku tak
seluruhnya salah.
Beranjak ke
Stasiun Radio Siaran Publik. Mendengar kata publik pikiranku langsung terarah
pada kata “milik negara”. Benar, Stasiun Radio Siaran Publik adalah Stasiun
Radio milik negara yang didirikan untuk kepentingan publik dan masyarakat. Salah
satu contohnya adalah RRI, dalam Stasiun Radio yang satu ini tidak
diperbolehkan memuat iklan komersial, hanya iklan layanan masyarakat saja yang
boleh disiarkan. Iklan masyarakat yang hendak disiarkan juga harus disaring
terlebih dahulu, karena iklan masyarakat tersebut harus sesuai dengan etika
yang sudah dipertegas oleh undang-undang.
“Ada yang perlu
di-sharing-kan?”
Aku mengangkat
tangan lagi. Sepasang mata itu menatapku lagi, mempersilahkan aku untuk
bertanya lagi. “Apakah RRI di seluruh Indonesia memiliki frekuensi yang sama?”
tanyaku singkat.
“Tidak”, jawab
beliau.
Kepalaku pening
hingga penjelasan dari sang dosen tak masuk dalam pikiranku. Percuma aku
memberanikan diri untuk bertanya bila akhirnya jawaban itu tak bisa aku dengar
sendiri. Hingga jam kuliah selesai kepalaku masih terasa berat dan perutku
terasa seperti diaduk-aduk. Sampai semalam ini aku masih menyimpan satu
pertanyaan yaitu, “Jika tak ada iklan komersial, maka darimana Stasiun Radio
Publik mendapat penghidupan?”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar