Kehancuran yang sama (?)

Kutarik sebatang lagi..
Sudah satu jam kami duduk di dekat jendela sebuah cafe. Aku masih setia mendengarkan sumpah serapahnya meski rasa malu yang kupungut sudah terkumpul banyak. Semua mata tertuju pada kami, bukan kami, tapi dia yang berkali-kali menggebrak meja.
Ditemani secangkir kopi aku mencoba berfikir. Di depanku duduk seorang lelaki dengan baju flanel kotak-kotak biru. Wajahnya merah padam, mulutnya terus mengeja nama-nama hewan dan nafasnya terengah-engah menahan amarah.
Aku menikmati asap yang masuk dan kuhembuskan perlahan. Tak ada yang bisa aku lakukan, aku hanya diam melihatnya semakin naik darah. Sudah terlambat. Ketakutanku kini menjelma jadi nyata.
Dia terus menyalahkanku atas kebodohan yang dia ciptakan sendiri. Aku sudah lama menanti momen seperti ini, momen dimana dia duduk dihadapanku, menatapku dengan mata berkaca-kaca, dan mengumpat sejadi-jadinya. Sejujurnya aku lebih menanti momen dimana dia sadar bahwa selama ini nasihatku ada benarnya.
Seorang pramusaji mengantar secangkir kopi dan menyingkirkan gelas kosong dihadapannya. Dia mengamati kepulan asap dari kopi tersebut. Air matanya leleh, menyisakan isak yang bersembunyi dalam tangkupan tangan. Aku tak peduli. Bukankah lelaki juga boleh menangis?
Yang bisa kulakukan saat ini hanya mengusap lembut rambut hitamnya. Tanpa banyak kata aku berusaha menenangkan dia. Bagiku disaat genting seperti ini dia hanya butuh seorang pendengar, bukan sebuah komentar.
Perlahan dia mengangkat kepala, menyeka air matanya sendiri, dan menggapai jemariku. Dia ucapkan terimakasih atas semua perhatianku dan ucapkan maaf untuk keegoisannya selama ini, dan dia mulai bercerita seperti orang normal.
Dengan kehancuran yang sama kusulut rokok terakhir. Dia selalu menggunakan ‘KITA’ sebagai kata ganti aku dan kamu. Namun bicaranya mengarah pada cinta yang lain. Aku menelan pahit cerita yang keluar dari mulutnya. Berusaha kembalikan diri ke posisi ‘sahabat’nya bukan sebagai seorang wanita. Mataku tak lepas dari matanya, dia tak berhenti manatapku, dia masih menggenggam tanganku erat.

"Hentikan! Berhentilah! Jangan pura-pura simpati bila nyatanya hati ini terjemahkannya sebagai bahagia. Iya aku bahagia dia merasakan kehancuran yang sama denganku beberapa waktu lalu. Aku bahagia atas deritanya!" batinku.