Dibawah Sinar Bulan

“Apa cahaya bulan bisa mempertemukan kita lagi?”
“Iya..” jawabnya mantap, “jika aku menyelesaikannya dengan baik, aku akan segera kembali”
Redup cahaya bulan malam ini akan mengakhiri semuanya. Aku akan menjadi wanita desa dan kamu akan menjadi orang hebat di negeri orang. Bangga? Jelas. Namun hati ini masih tak rela melihatnya melambaikan tangan sembari menghilang ditelan gelapnya malam. Ini bukan kali pertama dia pergi meninggalkan aku di bawah temaram cahaya bulan. Desa ini bukanlah rumah baginya, hanya sebatas tempat melepas lelah dan membasuh dehaga dari aktivitas kota.
Semuanya masih tampak sama, bahkan setelah dia menjadi seorang sarjana didikan Jepang. Dia masih menggenggam tanganku erat, sorot matanya membuat isi dadaku bergetar. Mungkin saat ini air mata sudah membasahi pipi. Sampai kapan? Batinku. Akankah semua penantian ini berakhir bahagia seperti di dalam dongeng yang biasa nenekku bacakan? Atau malah sebaliknya. Malam ini aku tak ingin melepas hangat telapak tangannya. Aku masih ingin berlama-lama menatap parasnya.
Dibawah sinar bulan dia memelukku erat. Aku berharap semoga waktu berhenti, biarkan dia tenggelam dalam peluk hangat ini, buat dia lupa dengan semua pekerjaan kantornya, dan tak akan pernah meninggalkan aku lagi.
“Ini sangat membuatku tenang”, ucapnya lirih.
“Tak bisakah kamu tinggal lebih lama lagi?”

Dia hanya diam. Pertanyaan yang sama dengan respon yang sama juga. Ah, aku benar-benar ingin mengakhiri penantian klasik ini, tapi penantian ini tak ada yang memulai dan semuanya terjadi begitu cepat hingga aku tak sempat memikirkannya. Bahkan ketika aku tau bahwa penantian ini akan berakhir sia-sia, aku masih tak bisa mengakhirinya.

Yang Tak Pernah Menganggapmu Ada

Bagaimana kabarmu? Apa kamu masih mengingat aku? Apa kamu masih menyebut namaku dalam doamu? Maafkan aku karena telah mecampakkan kamu untuk kesekiankalinya. Hari ini aku datang dengan tampang pengecut, aku tak berani datang menemuimu secara langsung tapi aku harap seberkas tulisan ini dapat membuatmu mengerti betapa menderitanya aku tanpa kamu.
Sekali lagi maafkan aku karena telah masuk dalam kehidupanmu secara tiba-tiba lalu pergi begitu saja. Aku menulis ini dengan sejuta rasa rindu yang sudah lama menumpuk, dengan rasa bersalah yang terus menggunung, dan dengan rasa lelah karena terus berusaha melarikan diri dari kamu. Sejujurnya aku ingin segera menyerah, bertekuk lutut dihadapanmu, memohon maaf darimu, dan memulai cerita cinta yang baru.. tentunya masih bersamamu. Andai kamu tau tentang semua keinginanku yang tak pernah terpenuhi sejak aku putuskan untuk meninggalkan kamu. Aku hanya ingin bisa menyapamu dengan sebutan “sayang” seperti dulu. Aku hanya ingin leluasa mengucap rasa rindu kapan pun yang aku mau. Sebelum aku tidur aku ingin mendengar gelak tawamu dari ujung telfon seperti malam-malam terdahulu dan satu hal lagi yang ingin aku beri tahukan kepadamu bahwa aku sungguh-sungguh menderita karena semua rasa bersalahku.
Seseorang yang dulu bersedia menjadi pendengar setiaku ketika amarah membuat semua yang aku bicarakan tak ada artinya, seseorang yang berhasil membuat aku bangkit dari keterpurukan, dan seseorang yang telah menyelamatkan aku dari kutukan cinta terlarang kini telah pergi menjauh dariku. Semuanya salahku, aku salah karena waktu itu aku hanya memandangmu dengan sebelah mata. Bahkan aku tak pernah menganggap kamu ada. Maaf.. Aku benar-benar menyesal atas semua keacuhanku terhadap kamu. Sekarang aku tau betapa berartinya kamu setelah kamu benar-benar pergi dari kehidupanku. Semua air mata yang terlambat membasahi pipi pun tak akan bisa memutar kembali waktu atau bahkan menyembuhkan semua lukamu.
Mungkin kamu tak bisa menerima jutaan kata maaf dariku. Aku tau aku memang pantas dihantui rasa bersalah atas ketidak setiaanku kepadamu waktu itu. Semua orang menganggap aku sebagai orang gila karena telah mecampakkan laki-laki sebaik dan setulus kamu, tapi aku tak bisa terus hidup seperti ini. Kepalaku terasa pening ketika seorang terdekatmu datang dan menjudge aku sebagai wanita yang suka mengumbar harapan, wanita yang rajin mengucap kata sayang kepada banyak laki-laki, dan wanita yang kerap datang dan pergi sesuka hati. Jika kamu juga berpikiran sama seperti yang orang terdekatmu katakan padaku, aku masih bisa memakluminya. Iya, aku yang dulu memang seperti itu. Namun aku yang sekarang sudah sedikit berubah dan kalau aku bisa memutar kembali waktu aku tak ingin mengecewakan kamu hingga berkali-kali seperti dulu.

Aku rindu kamu. Apa sahabatmu sudah menyampaikan kata rinduku padamu? Apa kamu juga merindukan aku? Beberapa hari yang lalu aku memang menitipkan salam untukmu. Tak hanya itu, akhir-akhir ini aku juga semakin sering berbalas pesan dengan sahabatmu itu. Dari pertengkaran-pertengkaran kecil hingga hal yang serius sering aku bicarakan dengannya. Ah, aku menemukan kamu di dalam dirinya. Semua kesamaan yang kalian berdua miliki membuat rasa bersalahku semakin menyesakkan dada. Sungguh, aku ingin mengulang kembali waktu hingga aku bisa menghindari semua kesalahanku terhadapmu. Jika waktu itu kembali aku tak akan mengabaikan semua pesan singkatmu. Jika waktu memberiku kesempatan untuk memperbaiki semua, aku janji aku tak akan mengumbar kata-kata sayang kepada banyak orang kecuali kamu. Tapi nyatanya masa lalu itu tak bisa berubah dan aku hanya bisa mengutuk diri atas semua kebodohan yang pernah aku lakukan.

Cahaya Jingga Candi Boko

Sampai hari ini aku masih bisa merasakan getar bahagia itu, walau sudah seminggu yang lalu tapi semua masih terasa nyata, jelas, dan tak ada sedikit pun memori yang terhapus tentang hari itu. Iya, beberapa hari yang lalu aku berlindung dibalik punggungmu saat derasnya hujan mengacaukan agenda hunting kita. Setelah berkunjung ke Candi Ijo harusnya kita melanjutkan perjalanan ke Candi Boko yang katanya memiliki senja nan eksotis. Namun sayang, cuaca hari itu tak memungkinkan kita untuk menanti cahaya jingga dari ketinggian. Hingga akhirnya kamu mengurungkan niat mengunjungi Candi Boko.
Setelah deras hujan sempat membuat sebagian baju dan tasmu basah, akhirnya kita menemukan tempat berteduh. Sebuah bengkel kumuh ditepi jalan menjadi tempat singgah kita untuk menikmati gemericik air hujan dan aroma tanah basah. Tak seindah drama korea yang bisa berteduh berdua saja, kita berteduh bersama banyak orang; ada yang berbaju kumel dengan gerobak dibelakang motornya, ada sepasang muda-mudi dengan baju basah kuyub, dan yang lebih mengharukan lagi ada seorang balita yang terlelap dalam dekap erat ibunya. Sedangkan kamu sibuk memasang cover bag sembari menghisap rokok. Ah, hujan benar-benar melunturkan semua atribut sosial dari setiap orang.
Sesekali aku mencuri pandang pada kamu yang sedang asik menghisap rokok. Dari jarak sedekat ini tentu aku bisa melihat betapa banyak asap yang kamu hembuskan keluar, itu semua membuatku begidik ngeri. Memang sejauh ini aku melihat kamu bukan sebagai perokok berat seperti kakakku, tapi sama saja.. merokok itu bukan hal yang sehat dan merokok itu bukan suatu kebiasaan yang bisa dengan mudah diubah atau bahkan ditinggalkan begitu saja. Sungguh aku sangat membenci seorang perokok macam kamu, tapi aku bisa apa? Disaat seperti ini memang hanya sebatang rokok yang bisa membuat tubuhmu tetap terasa hangat.
Beberapa saat kemudian hujan mulai reda, satu persatu orang yang memenuhi bengkel kumuh itu mulai pergi melanjutkan perjalanannya, termasuk kita. Kali ini aku dan kamu sudah benar-benar membulatkan tekat untuk tidak kembali ke rumah sebelum mendapatkan matahari terbenam. Masih dengan semangat yang menggebu kita memutar arah untuk kembali menelusuri tanjakan supaya bisa memijakkan kaki di sebuah candi yang terletak diatas bukit. Candi itu bernama Candi Boko, sebuah destinasi pariwisata DIY yang menyuguhkan matahari senja dengan warna jingga yang menawan. Sebagai landscaper kita tak bisa melawatkan kesempatan untuk mendapat citraan Tuhan yang sangat menawan itu.
Udara segar bercampur aroma basah akibat hujan lebat beberapa saat lalu membawamu pada nostalgia. “Di kampung halamanku suasananya selalu seperti ini. Tak pernah ada musim kemarau, yang ada hanya musim hujan”, katamu. Sesampainya di lokasi candi, kita sempat kecewa dengan gumpalan awan hitam yang tak kunjung menepi. Namun kekecewaan itu tak berlangsung  lama karena guratan “mejikuhibiniu” nampak jelas di langit, itu menandakan bahwa cahaya matahari telah berhasil menembus gumpalan awan tebal. Akhirnya kita memutuskan untuk terus mengejar senja walau kemungkinan untuk mendapatkan senja sesaat setelah hujan lebat sangatlah kecil.
Sebelum sampai kekomplek candi utama, kita disuguhkan dengan lukisan indah kota Yogyakarta dari ketinggian. Dari jauh juga tampak Candi Prambanan yang kelihatan lebih tinggi dari bangunan-bangunan disekitarnya. Kita terus melangkahkan kaki menuju candi utama yang merupakan tempat para landscaper menjemput sunset. Sampai ditempat, kamu langsung mempersiapkan tripod dan camera untuk mengabadikan sunset ala Candi Boko.


Sunset Candi Boko
Kata seorang penjaja makanan disekitar Candi Boko, sunset akan tampak pada pukul  5 sore atau sekitar 30 menit dari saat kita tiba disana. Namun belum genap 30 menit kita menunggu ditempat itu matahari senja sudah tampak meradang dan kamu segera mengambil posisi untuk ngambil bagian demi bagian terindah dari matahari senja di Candi Boko. Ah, sekali lagi aku terbius dengan kepiawaianmu membidik cahaya senja dan kamu tampak serasi dengan camera ditanganmu. Sungguh aku sangat berterima kasih kepada Tuhan yang telah pertemukan aku dengan ciptaannya yang tak sempurna tapi sarat akan kelebihan; kamu.

Cahaya jingga dari Candi Boko