Cangkringan

Sebelumnya Es Bang Joe Monjali

“Sebelum ke lokasi, kamu bisa mampir kos saya dulu kan?”

“Ngapain?”

“Bangunin saya,” Pria nyengir kuda.

“Ditelfon aja gimana?”

“Yaelah! Alarm aja gak kedengeran apa lagi bunyi telfon.”

“Iya deh iya..”

“Kalo udah sampek kos..”

“Langsung masuk kamar aku aja. Gausa ketuk pintu dulu. Per-cu-ma!” sahutku.
Pria terkekeh.

***
Pukul tujuh kosong kosong aku sudah bertengger di depan kamar Pria. “Pri, udah bangun belum?” pelan pelan ku ketuk pintu kamarnya. Tidak ada tanda-tanda kehidupan, batinku. Perlahan kubuka pintu dengan ornament stiker band band metal itu. Udara dingin segera menyergapku. Aroma pengharum ruangan menyapa hidungku lembut. Pria masih tidur berbalut selimut bergambar club sepak bola MU.

“Siapa lu? Masuk kamar orang seenaknya!” seorang laki laki meneriakiku dari arah belakang. Spontan aku membalikkan badan. “Siapa lu? Maling?” hardiknya.


“Aku..”

“Lu maling kan? Iya? Ngaku deh lu!”

Bruuuk! Sebuah bantal mendarat tepat di muka laki laki bertubuh jangkung dihadapanku. “Dia temen saya,” kata Pria dari balik selimutnya. “Maafin dia ya, Ra, dia emang arogan gitu”

“Aku yang salah kok,” ucapku lirih.

“Emang lu yang salah! Masuk kamar orang main nyelonong aja. Gak punya sopan san-”

“Bang, udah deh..” Pria bangkit dari tempat tidur lalu menuntunku keluar kamar. “Maaf ya, saya lupa gak bilang kalau abang saya seminggu ini di Jogja.”

Aku mengangguk.

“Tunggu kami di ruang tamu aja ya. Nanti biar saya yang jelasin ke dia.”

“Iya,” jawabku.

Pria memandangiku sebentar. “Imut banget sih kalau lagi ngerasa bersalah gini,” Pria mengacak acak rambutku.

***

“Uqi”

“Rara”

“Kalian yang akur ya,” ucap Pria dengan nada menggoda.

“Ohya, Ra. Hari ini kita kumpul di basecamp dulu atau langsung ketemu di rumah bu Endah?”

“Kata Kak Banyu langsung ketemu di rumah bu Endah aja”

“Lu kalo ngomong sama Rara emang sok lembut gitu?” bisik Uqi sesaat kemudian.

Pria mengangguk pelan. “Pencitraan..” jawabnya.

“Anjir! Orientasi kamu sudah berubah?” celetuk Uqi.

***

Bau angin Jakal atas memang berbeda dengan Jakal bawah. Aku menghirup nafas dalam dalam. Rasanya seluruh rongga dadaku dipenuhi dengan kesejukan yang entah kapan bisa aku rasakan lagi. Dan semua kesejukan itu hilang ketika suara Uqi terdengar melengking di telinga.

“Lu niat ngecrew apa mau camping? Bantuin Pria nurunin alat sana”

Aku tak menjawab. Cukup! Hari ini tidak akan seasick yang aku bayangkan. Pelan pelan kuangkat satu box berisi lighting portable. “Udah, Ra. Biar saya aja yang keluarin alatnya. Itu berat..” Pria meraih box lighting dari tanganku.

“Aku bisa kok. Selow aja..”

“Serius?”

Aku mengangguk.

“Orang kerjanya lelet begitu ngapain lu ajakin sih?” sidir Uqi ketika bersimpangan denganku.

Disisi lain ada Banyu yang menyaksikan segelintir drama antara aku dan Uqi.

“Temen lu yang jadi campers matanya sinis banget sih?”

Kali ini Uqi merubah fokusnya ke Banyu yang ketenangannya terusik karena tas kameranya ditemukan dalam kondisi terbalik di bagasi mobil.

“Liat deh, males gue liatnya.”

“Bang..” ucap Pria geram.

“Apa?” balas Uqi.

“Saya kesini mau kerja, bang. Kalau film saya bagus bisa lolos kurasi saya bisa dapat penghasilan. Plis jangan bikin semuanya jadi gak nyaman” tandas Pria.

“Sok, pulangin gue ke kos!”

Untuk pertama kalinya aku melihat muka Pria merah padam. “Abang mau balik? JALAN KAKI SANA!!”

Uqi terbelalak. Dan sejak kejadiaan itu aku memilih untuk  diam sembari menebar senyum kesana kemari. Deadline yang semakin dekat membuatku berharap semoga mood Pria tetap terjaga jadi cukup sekali saja kami take di sini.

***

Selesai take di jakal atas rencananya kami akan melanjutkan perjalan ke gunung kidul untuk menemui narasumber kedua. Tapi mendadak Pria merombak total agenda hari ini. Pria bilang kondisi tubuhnya sedang tidak fit. Pria ingin segera pulang dan tidur yang lama entah sampai kapan.

“Ra, maaf..” ucap Pria pelan.

“Maaf buat?”

“Saya gak bisa antar kamu pulang. Kamu mau kan pulang bareng Banyu?”

“Mas Banyu mau gak pulang sama aku?”

“Sini sini.. sama Om,” jawab Banyu.

“Eh Pri, titip kamera aku di jok tengah. Awas aja sampe berubah posisi kaya tadi”

Pria tak menjawab. Tubuhnya kini masuk kedalam kapsul berroda lalu lenyap ditelan jalan.

Es Bang Joe Monjali

Sebelumnya Mad by NeYo

Siang ini matahari membakar Jogja dengan ganasnya, membakar setiap orang yang melintasi jalan Monjali dengan girangnya, termasuk aku. Sesampainya di kedai jus, kudapati Pria sedang duduk manis bertemankan sebuah kamera dan laptop. Pelan-pelan aku mengamati menu yang ada.

Suwe tenan e..” kalimat pembuka dari Pria yang dari tadi mengamatiku dari jarak lima meter.

“Bingung” jawabku singkat.

Lah, ngopo?

“Enggak..”

Lah, kowe ki ditekoni opo jawab e opo

“Ha?” Aku memfokuskan pandangan pada Pria.

Nah to.. Aku ngomong ra to’ rungokke”

“Hahaha.. ngapuralah

“Itu bahasa mana lagi?”

“Ngapak,” aku terkekeh dan disambung tawa renyah dari Pria.

Pria mengamati laptop dihadapannya. “Sudah 70%, dek, gimana menurutmu?”

“Ha? Piye, mas?

Pria melipat tangannya di atas meja, memandangku lurus. “Kamu kenapa?”

“Aku?” tangan ini mengarah kehidungku sendiri.

Iyo, moso mas tukang jus

Aku tertawa pelan.

Healah, piye?” tanya Pria dengan wajah serius.

Aku menggeleng mantap.

“Boleh saya baca pikiran kamu lagi?” tatapnya penuh selidik.

“Jangan!” cegahku segera.

“HAHAHA!” keras keras Pria tertawa. “Kalau gitu, mending kamu aja yang cerita,” Pria menyandarkan tubuhnya di kursi.

Aku mangatupkan mulut.

“Oke, kalau memang gak mau cerita kamu yang traktir saya.”

Aku mengangguk.

“Ah, gak asik! Kamu kenapa sih?” tatap matanya menyelidik.

“Aku baik baik aja. Bahkan lebih baik dari yang kamu lihat sekarang,” ujarku apa adanya.


Pria mengangguk. 


***

Suara ketukan pintu sore ini mengacaukan jam tidur siang paling berharga. Kubuka pintu kamar tergesa-gesa. Kulihat Reo berdiri di depan pintu sambil menenteng sekotak donat berlebel J.CO lengkap dengan seringai termanisnya. Lama kupandangi tampang tak berdosa manusia dihadapanku ini. Ada yang berubah. Cara berpakaiannya yang acak adul sekarang lebih tertata, rambutnya kini tersisir rapi mendekati kata klimis, dan oh my god dia pakai behel. Dasar laki laki metropolitan, batinku.

"Ini buat kamu," dia menyodorkan sekotak donat itu padaku. "Tadi aku baru nonton di Mall sebelah, terus keinget kamu, jadi aku sempatkan buat mampir".

"Aku boleh masuk?" tanyanya.

"Duduk di situ aja," aku menunjuk lantai teras depan kamar sambil meraih sapu dari dalam kamar.

Reo tampak kaget. "Katanya kamar kosmu bebas, masa aku gak boleh masuk?"

"Kalau buat kamu gak ada kata bebas bebasan lagi," aku duduk selonjoran di teras. "Kalau kamu mau berdiri sampai satu jam kedepan juga gak papa kok."

Akhirnya Reo jongkok di sampingku. "Ra, kamu yakin gak mau ngajakin aku masuk?"

"Kenapa sih? Sejak kapan kamu jadi manja gini?"

"Sejak ditinggalin sama lo!" ucapnya sambil ndeprok.

"Kenapa?"

Reo hanya diam. 

Aku menghidupkan mp3 dari handphoneku. Kali ini lagu Never Forget You by Zara Larsson jadi lagu pengiring telapati antara aku dan Reo. Diam diam aku melirik Reo yang asik dengan tatapan kosongnya. Aku tau, kalau dia sudah kehilangan titik fokus dari pandangannya itu berarti ada sesuatu yang ingin dia tanyakan tapi tidak tau bagaimana caranya.

"Kalau mau tanya, tanya aja, gausa kebanyakan drama," ucapku ketus.

"Hmmm.. aku gak tau harus mulai dari mana," ucap Reo cemas. "Aku tau hubungan kita akhir akhir ini sedang tidak baik baik saja. Kamu mengabaikan semua panggilanku, kamu membaca semua chatku tanpa balasan, kamu menghindari aku, kamu melewatkan hari wisudaku, dan kamu tidak mengucapkan selamat ulang tahun untukku. Aku gak nyangka kalau kamu bisa ngelakuin semua itu ke aku. Selama ini yang aku tau, kamu adalah perempuan paling sabar, paling pemaaf, dan paling pengertian yang pernah aku temui. Ternyata kesalahanku di Bujang beberapa bulan lalu sudah merubah semua yang ada di dalam dirimu. Aku sudah tidak tahan lagi. Aku gak tau harus ngehadapi kamu dengan cara seperti apa lagi."

Aku memandanginya tanpa berkedip. Dalam situasi seperti ini rasanya aku ingin menendang kepalanya sampai lepas, meremas jemarinya sampai remuk, dan berteriak kencang di telinganya. "Terus?" tanyaku.

Reo mendongak pelan. "Aku minta maaf," ucapnya lirih.

"Ha? Apa?" aku mendekatkan telingaku.

"Aku minta maaf," ucapnya sekali lagi.

"Aku maafin," aku berdiri kemudian masuk kamar dan menguncinya dari dalam.

"Ra, dengerin aku sebentar," ucap Reo dari balik pintu. "Apa pun yang terjadi diantara kita aku mau kamu tetap bahagia. Aku selalu mendoakan yang terbaik dengan kamu. Aku mau kamu medapatkan orang yang lebih baik ketimbang aku. Sekarang kamu bebas memilih jalan hidupmu sendiri, gak perlu ada campur tanganku di dalam pilihanmu. Kamu bebas kencan sama siapa pun, Ra. Tapi plis, tolong, jangan sama Pria."

"Sekali lagi, aku minta maaf, aku sudah melakukan kesalahan yang lebih mengerikan daripada memepertemukan kamu dengan Mela. Maafkan aku karena sudah memperkenalkan kamu dengan Pria. Aku kira Pria yang kita temui di Malioboro itu masih sama seperti Pria yang aku kenal dua tahun lalu. Ternyata itu semua salah! Aku mohon, sekali ini saja, tolong dengarkan perkataanku ini. Sebelum kamu melangkah terlalu jauh, aku mohon, berhentilah sekarang," pintanya.

***

"Hayolooo, ngelamun."

"Enggak kok," aku pura pura fokus pada naskah ditangan.

"Yang ini kayanya perlu di revisi deh," aku menunjuk sebuah coretan gambar di ujung kertas.

"Oke, aku bisa revisi malam ini. Mau direvisi jadi apa?" Pria terkekeh.

"Jadi, kita bisa mulai take kapan?"

"Dua minggu lagi," jawab Pria mantap.



Mad by NeYo

Sebelumnya Jogja City Mall

“Assalamualaikum,” sapanya dari ujung telfon.

“Waalaikumsalam,” jawabku.

“Kok saya jadi kikuk gini ya? Hahaha” ucapnya nyaris tak terdengar.

“Yaudah kalau gitu dimatiin aja telfonnya”

“Jangan!” teriakan itu terdengar melengking.

“Hmm..”

“Duh, saya mau ngomong apa ya..”

“Ya terserah.”

“Saya boleh cerita tidak?”

“Cerita aja,” sejenak tidak ada suara dari ujung sana. “Hallo, kamu tidur?”

“Tunggu sebentar,”

Samar-samar terdengar alunan lagu yang kebetulan aku hafal sebagian liriknya. “She’s staring at me. I’m sitting, wondering what she’s thinking. Nobody’s talking cause talking just turns into screaming. Ohhh..” aku ikut bernyanyi pelan.

“Kok kamu tau lagu ini?”

“Kenapa? Gak boleh?”

“Boleh kok,” sahutnya sambil terkekeh.

“Gimana? Mau cerita apa mas Pria?” aku bertanya dengan nada lemah lembut.

Terdengar Pria sedang menarik nafas dalam-dalam. “Saya baru bertemu teman lama. Namanya Naya. Setelah sekian lama ternyata dia tumbuh menjadi wanita yang cantik. Padahal dalam ingatanku, Naya masih sebulat dulu. Sekarang dia sudah mirip artis ibu kota. Pakai dress merah jambu dan higheels, turun dari sedan bersama laki-laki yang gak kalah mentereng.”

“Jangan bilang dulu dia pernah suka sama kamu terus kamu tolak karena dia bulat kaya tahu?”

Pria tertawa renyah. “Kebalik, Ra”

“Daebaaak! Terus.. Terus..” aku berdecak kagum.

“Kalau kamu kira saya cerita seperti ini karena menyesal, kamu salah, Ra” tuturnya datar. “Naya itu wanita super duper baik. Diantara sekian banyak teman wanita saya, cuma dia yang paling bisa ngertiin kondisi saya.”

“Ohya? Sampai segitunya?”

“Serius. Bahkan ketika saya memutuskan untuk keluar dari Farmasi terus pindah ke Ilmu Hukum, Naya adalah orang pertama yang mendukung saya. Dia yang bantu saya jelasin semuanya ke orang tua. Jauh jauh dari Bekasi ke Sukoharjo cuma mau jadi tameng saya. Sementara saya? Saya sudah pergi jauh ke Batam waktu itu,” suara parau itu mengghilang sejenak.

“Hampir tiga bulan saya jadi waitress di Singapura,” lanjutnya.

“Waaaah! Keren! Terus gimana?”

“Ceritanya sampai situ aja dulu. Kapan kapan saya ceritain lagi. Biar ada bahan obrolan dan gak kikuk kaya tadi,” Pria terkekeh sendiri.

“Oke. Bisa bisa..”

“Hmmm..” gumam Pria.

“Apa?”

“Sudah malam. Waktunya ikan bobo..” ucapnya ragu-ragu.

“Oke, titip salam buat ikanmu ya.”

“Aku gak punya ikan, Ra”

“Besok aku belikan di Sunmor biar kamu punya ikan ya..”

“Asik!” seru Pria kegirangan. “Yaudah cepat tidur sana. Assalamualaikum.”

“Walaikumsalam,” jawabku.

Jogja City Mall

Sebelumnya McD Jombor

Sekali lagi handphoneku berdering mendendangkan lagu Darling U sound track Oh My Venus sambil mengkedipkan layarnya. Nomor asing lagi, batinku. Berat hati aku menggeser tanda hijau di layar lalu mendekatkan handphone ke telingaku.
“Assalamuaalikum..” suara seorang laki-laki muda mengucapkan salam.
Aku hanya diam.
“Hallo.. Ra..” ucapnya dari ujung sana.
Aku masih tak menjawab.
“Ra, aku Reo..” aku tersentak mendengar pengakuan sang empunya nomor asing. “Aku bukan orang asing kan? Ngomong dong..”
“Walaikumsalam,” jawabku.
“Kamu apa kabar?”
“Baik.”
“Kenapa tidak datang ke wisudaku? Katanya kamu mau bawakan aku seikat mawar putih. Katanya..” Klik. Aku menutup telfon dari Reo.
Tak lama handphone itu berdering lagi. Aku hanya meliriknya sebentar, mengawasi layar yang berkedip kedip kepadaku. Ingat janjimu, Ra. Kuraih handphone itu  kemudian mematikan handphoneku.

***

Tumpukan baju di hadapanku tertawa bengis menyaksikan betapa kikuknya aku bersama Pria. Setelah semalam suntuk diteror Reo lalu siang ini  tidak sengaja bertemu Pria di Jogja City Mall. Kata Pria, ini namanya takdir. Takdir dari hongkong!  Kalau memang ini takdir, seharusnya tidak merusak agendaku memilih baju beli dua gratis satu. Kalau memang ini takdir, kenapa harus dipertemukan kamu sih?
“Hmm.. Saya tidak pandai mencairkan suasana. Kalau sudah ketemu begini, enaknya kita ngapain?” tanya Pria.
“Hmm.. Saya juga tidak pandai mencairkan suasana. Bagaimana kalau kita pulang saja?” ucapku sambil membayar baju baru Alhamdulillah yang tidak sempat kucoba terlebih dahulu.
Pria terkekeh. “Enak aja.. Saya sudah nunggu momen ini sejak lama. Setelah ketemu, kamu mau pulang gitu aja? Tidak bisa.”
Kali ini aku yang menemani Pria memilih baju. Berkali-kali dia tanya, “Kalau ini gimana?” “Kalau yang ini?” “Yang ini bagus tapi mahal” “Yang ini keren tapi bahannya tipis” “Yang ini bahannya tebal tapi coraknya norak banget”. Aku hanya menjawab ‘iya..’.
“Hari ini ada film Finding Dory..” ucap Pria sambil menyibak baju yang tergantung rapi di hadapannya.
Aku memandangnya penuh tanya.
“Mau?”
“Ha?”
“Mau nonton Finding Dory?”
Aku masih berpikir saat Pria tiba tiba menyeretku ke loket pembelian tiket.
“Kenapa gak nonton Now You See Me 2 aja sih?” protesku.
“Kamu masih di bawah umur..”
Aku menjinjitkan kaki untuk berteriak “Daebaaaaak!” di samping telinganya.
Pria hanya tertawa geli sambil mengusap telinga.

***

Selesai nonton Pria mengajakku ke McD. Katanya, saya butuh kesejukan. Huft.. scenario apa lagi ini?
“Saya tunggu sini..” Pria langsung duduk di kursi paling pojok. “Saya mau pesan.. sama kaya kamu aja.”
Aku mengangguk.
“Kok?” tanya Pria heran melihat dua cup ice cream Mc Flurry di tanganku.
“Apa lagi?”
“Kok cuma pesan itu aja?”
“Bawel.”
Pria memandangiku sambil mengulum senyum.
“Apa?” tanyaku sinis.
“Kamu jutek ya..”
Hening.
Setelah bosan saling mencuri pandang Pria membuka pembicaraan lagi.
“Ra, kamu baik-baik saja kan?” tanya Pria hati-hati.
Aku mengangguk mantap. “Kenapa?”
“Syukurlah..”
“Kenapa?”
“Sudah dua bulan saya tidak ketemu kamu. Saya kira, saya tidak akan bisa bertemu kamu karena kejadian di Bujang waktu itu.” Pria menghela nafas, “sebenarnya satu minggu lalu saya melihat kamu di Mirota Kampus. Saya mau manggil kamu tapi ragu. Waktu itu saya masih merasa malu, masih merasa bersalah, masih gak tau harus berbuat apa di depan kamu. Setelah sehari ini saya jalan bareng kamu, saya jadi percaya kalau kamu baik baik saja.”
“Yaelah, aku sudah lupain kejadian di Bujang. Udah.. santai aja.”
“Saya lega rasanya,” Pria tersenyum lagi.
“Hmm.. aku ada janji ketemu sama teman.”
“Kebetulan saya juga ada janji sama Reo.”
“Oh..” seperti ada benda tumpul yang Pria lempar kewajahku ketika mengucap nama Reo. “Kalau gitu aku pergi dulu ya.”
“Oke. Ati ati ya,” Pria mengulurkan tangannya. Kami berjabat tangan sebentar sambil melempar senyum.

Langkahku baru lima jangkah saat Pria memanggilku lagi. Dari tempatnya Pria berkata, nanti aku telfon. Kuacungkan ibu jariku sebagai tanda setuju.

AKU BERHENTI NULIS

Tiba tiba aku ingat obrolan di grup EEK beberapa waktu lalu. Grup itu cuma beranggota 4 orang, tiga diantaranya adalah kakak kelasku di SMA, dan yang satu adalah aku. Kebetulan setting waktunya siang bolong. Aku membalas obrolan itu sambil guling guling di depan kipas angin sambil ketawa ketawa gak jelas. Sampai adikku ikut ngetawain aku. "Mbak, waras ra?" tanya si ganong padaku. "Aku mulai edan, nong!" ditambah ketawa keras. Si ganong begidik ngeri lalu pergi.

Kembali ke isi obrolan grup EEK. Awalnya aku, Anggi, dan Eis lagi kuat-kuatan opini buat nentuin tempat meet up. Dari yang awalnya kuat kuatan opini sampai akhirnya aku dan Eis nyangkut di mata pancing yang sudah di kasih umpan sama Anggi. Menurut kalian umpannya apa? Hmm.. jadi umpannya send picture yang isinya percakapan Anggi sama seorang cowok yang menurut Eis cakep. 

"Ganteng kalau putus sama pacarnya," respon Eis setelah Anggi kasih tau nama temannya. Waktu itu cuma nyimak aja, malas ikutan karena aku gak kenal sama temannya Anggi itu. Yakali, gak kenal aja ikutan ngata-ngatain orang.

"Liat aja chatku. Jelas banget kalau aku gak suka dia sama Bunga," tulis Anggi. Jadi, aku berniat menyamarkan nama wanita yang sedang jadi bahan gunjingan karena kedepannya akan terdapat banyak kata-kata manis versi wanita penggosip.

Beberapa menit kemudian Anggi kirim gambar lagi, foto beramai-ramai, ada Anggi juga disitu. Aku ngamati fotonya lama banget, aku coba nyari sosok Bunga disana, dan ternyata dia posisinya paling depan. Tangannya menggandeng lengan lelaki maco, ah ganteng memang, sedang pegang monopod.

"Cewenyaa gatell"
"Sumpaahh liaten fotonyaaa"
"Juijiik"
"Ben fotooo mesti ngunu"
"Lebaaayy"
"Aku berdoaaa biar diaaa ga sm Bunga" deskripsi Anggi tentang foto itu memang luar biasa. Gak kebayang deh kalau Anggi upload foto itu di instagram pakai caption kaya gitu. Langsung dicaplok kali sama Bunga.

Aku masih jadi penyimak. Ada satu chat masuk lagi. Disitu Eis menulis, "Meski aku nduwe pacar arek iku yo tak gadeng, lek perlu tak rante wkwkwk" 

"Tapi yo gak ngunu sisan, is" Anggi sedang menguatkan opininya kali ini. "Mosok tau pangku-pangkuan. Lak isin." tambahnya.

Aku send stiker ngupil disusul tulisan, "lek saling mencintai ndi onok isine"

Eis menimpalinya dengan, "Lanange buduh, wes ngerti wedoke kudungan sek diiyoni ae".

"Asline sing lanang iku gak seneng nag seng wedok" kata Anggi.

Eis ngebales lagi, "Lek gak seneng yo mosok meneng ae, gi. Cek endaknya maraaaa".

"Mosok yo kan putus trus seng wedok ngancem nek gak gelem balikan ate bunuh diri. Ngomonge ngene, 'kalo besok ada kabar orang tenggelam di laut berarti itu aku'" aku ketawa baca tulisan Anggi kali ini. Bunuh diri katanya.. yassalam, nasi pecel dekat masjid diujung komplek lho masih enak. Ngapain bunuh diri?

"Drama" sambung Anggi.

"Yowes jarno, berarti imane cethek. Saking (sing lanang) buduh ngets. Lek pinter ngono tak rebut wkwkwk" respon Eis memang selalu diluar dugaan. Aku kira setelah ngomongin iman, Eis akan menjurus ke hal hal yang religius tapi ternyata..

Dari obrolan itu tadi aku dapat pencerahan, dapat hidayah dadakan, dapat bisikin "mana ada orang mau bunuh diri pasang pengumuman dulu? situ mau bunuh diri atau mau cari sensasi sih?" Kemudian aku jadi berubah pikiran dan berniat buat ngehapus posting AKU BERHENTI NULIS. Sebenarnya gak ada hubungannya, tapi kalau sudah terlanjur baca ya sudah. Aku bisa apa? Haha!

[Hallo]

Hallo,
Kamu apa kabar?

Masih sehat dan bahagia kan? Aku juga. 
Kamu tau, aku masih punya banyak stock pembicaraan sama kamu tapi kamu buru buru pergi. Kamu sibuk ya? Ya sudah, yang penting kamu sehat dan bahagia itu sudah lebih dari cukup. Aku masih sama seperti dulu, selama kamu sehat dan bahagia aku gak bakalan bilang jangan sama kamu. 

Baik-baik ya.. 

[Hallo]

Hallo,
Kamu apa kabar?

Aku baru bisa gambar roket lho. Kebetulan aku gambar roket itu pakai spidol warna biru, soalnya yang keliatan cuma itu. Sisanya gak tau kemana.. Gambar roketnya sudah aku tempel di tembok kamar. Disebelah roket itu ada tulisannya Ayo pergi ke luar angkasa. Kalau aku ngajak kamu, kamu mau ikut gak?

Sarankanku, kamu jangan mau, biar aku aja yang pergi ke luar angkasa. Kalau aku ke luar angkasanya bareng kamu nanti jadi gak pengen pulang ke bumi lagi. Aku takut manusia bumi lebih kangen sama kamu ketimbang aku. Aku juga gak mau kalau manusia bumi lebih menunggu kepulanganmu ketimbang kehadiranku. Aku gak mau!

Jadi, gimana?
Kamu mau ikut gak?
Kamu mau kemana?

Aku lho disini.. kamu mau kemana? 

Aku lho disini sudah sejak empat semester lalu.. kamu mau kemana?

Aku lho selalu tanya kamu mau kemana? dan kamu gak pernah bisa jawab. 

Dan ketika kamu bilang kamu mau pergi aku harus tanya kamu mau kemana? gitu?

Kalau aku beneran tanya, emang kamu sudah punya jawabannya?

Kalau aku beneran tanya, emang kamu mau jawab apa?


[Hallo]

Hallo, 
Kamu apa kabar?

Aku rindu. Saking rindunya sampek bingung mau nulis apa. Soalnya kita sudah lama gak ngobrol dan setiap kali ketemu cuma bisa liat liatan sambil bingung mau ngomong apa. Ya gimana ya.. aku gak bisa baca pikiran kamu sih. Coba bisa, pasti aku lebih gampang menempatkan diri sambil nyari topik pembicaraan. 

Kamu lagi sibuk apa?
Besok aku ada praktik mandiri nih. Praktiknya biasa aja sih, gak ada yang istimewa, tapi aku butuh kamu buat dengerin aku. Hahaha! Dengerin? Mau ketemu be susah. 

Kamu lagi apa?
Main gitar sambil nafas atau lagi nendang bola sambil salto? Aku sih gak peduli kamu lagi ngapain. Kamu kan orangnya gak mau dipeduliin. 

Kamu udah makan belum?
Pasti jawabanya udah makan biar aku gak ngomong 'ayok makan bareng'. Kamu ya.. aku tanya kaya gitu bukan sekedar ngajakin kamu makan. Aku cuma ingetin kali aja kamu bener bener lupa makan. Kalau pun aku ngajakin makan ya itu karena aku cuma pengen nemenin kamu makan.

Hari ini kamu tidur berapa jam?
Jangan tidur subuh. Mbok ngaca! Kamu kalo kurang tidur mukanya jadi kaya zombie. Matanya beruam item dan mukanya pucat kaya orang kurang darah. Tidur.. Tidur.. Tidur.. Kamu harus sehat. Aku gak mau liat kamu lemes, diem aja, sambil ngusap ingus pake tisu toilet. 

Intinya,
Kamu jangan telat makan, istirahat yang cukup, jangan lupa minum air putih. 

Aku sayang kamu

MENANG

Langkah gontainya terhenti di ujung anak tangga. Sejenak ia menikmati guratan jingga di langit senja sambil melonggarkan lilitan dasi di lehernya. Tak lama ia beranjak menyurusi koridor lantai dua menuju pintu diujung sana, kepalanya menunduk lesu, mengamati ujung sepatu hitam pemberian ibunda. Lagi lagi langkahnya tercekat, kepalanya mendongak pelan, melihat pemandangan yang tak biasa. Mendapati seorang wanita muda berdiri di depan pintu kamarnya memegang seikat bunga mawar putih. 

Wanita itu menyadari kehadirannya. Ia melanjutkan langkah pelan pelan, menunggu degup jantungnya kembali tenang, menerka-nerka pertanyaan macam apa yang ingin wanita itu lontarkan. Kini mereka berdiri di tempat yang sama. Tatapan wanita itu tidak sekeruh kemarin, tidak ada yang dilakukan wanita itu selain memandangi si jangkung dengan teduhnya. 

Ia mulai membuka pembicaraan. "Aku gagal," ucapnya nyaris tak terdengar.

"Aku gagal.." ia mengulang ucapannya sekali lagi.

Wanita di hadapannya hanya tersenyum tipis. Meraih tangan kanannya lalu meletakkan seikat bunga mawar putih diatas tangan itu. Wanita itu memaju satu langkah, merengkuh bahu si Jangkung tanpa ragu. Ia mendekap wanita itu erat-erat. Dari situ ia tau bahwa menang tidak selamanya mengalahkan.

SELAMAT

Aku lega mendengar kabar kamu sudah tinggal wisuda meski sampai detik ini revisian mu pun belum dijamah. Aku juga ikut lega mendengar kabar kalau kamu sudah siap terbang ke Kalimantan untuk bekerja di tambang batu bara milik nenek moyangmu. Aku sangat lega bisa melepaskanmu dengan cara seperti ini. Setidaknya kita tidak perlu bertengkar seperti dulu. Kedepannya kita masih bisa berbalas LINE walau cuma sekali dua kali.


Meletup!

Aku harus bagaimana?

Kamu membuatku terbiasa dengan segala sesuatu tentang kamu. Lalu dengan mudahkan kamu pergi tanpa permisi, meninggalkan aku dan semua kebiasaan yang tak bisa aku lakukan sendiri. Kamu tau, aku butuh kamu! Aku butuh kamu untuk menguatkan aku. Aku butuh kamu sebagai tempat pulang, melepas segala penat setelah seharian berjibaku dengan dosen, tugas, dan rapat.

Kamu tidak tau rasanya jadi aku yang hari-harinya habis hanya untuk memikirkan bagaimana keadaanmu. Mungkin di depanmu aku hanya bisa diam sambil sesekali mencuri pandang, tapi di dalam sini ada berbagai macam kekhawatiran yang menggelayut manja. Bisa saja aku menunjukkan semua kekhawatiranku. Tapi tidak.. jangan sekarang. Aku tidak ingin kedekatan ini berhenti disini.

Aku pun baru menyadarinya akhir-akhir ini, saat aku kelawat bahagia, aku mencoba untuk menulis sesuatu tentang kamu dan hasilnya nihil. Entah kenapa bertemu denganmu adalah suatu kebahagiaan yang belum bisa kuungkap lewat tulisan.  Jariku hanya bisa menulis sepanjang satu paragraf. 

Kamu tau, malam ini aku terdampar di ruang editing bersama tumpukan kertas lengkap dengan teks bahasa inggrisnya. Malam ini juga aku sadar, semua tentang kamu harus tetap berada di ruang tertutup. Tidak boleh ada seorang pun tau, aku tidak boleh menulis satu kalimat pun tentang kamu, dan aku tidak boleh berharap banyak kepadamu.

Sudah, aku lelah menjadi baik di depanmu. Aku bosan mencoba jadi dia yang kamu mau. Aku muak dengan larangan makan banyak hanya karena ingin jadi ideal di matamu. Aku ingin jadi aku!

Dan.. bimsalabim.. aku buang jauh jauh kata istimewa yang sengaja kusematkan di bahumu. Bahu yang begitu kuat untuk disandari. Lengan yang begitu kokoh untuk merengkuh tubuh besar nan rapuh ini. Tangan yang senantiasa mengusap lembut kepalaku saat kebingungan menguasai tubuh ini.

Aku harus bagaimana?
Aku sudah putus asa mengejarmu. Bolehkah aku berhenti disini? Aku sudah iklas melihat punggung lebarmu menjauh.

McD Jombor


Jalanan tampak lengang. Hanya sekali dua kali kami berpapasan dengan kendaraan lain. Motorku masih melaju seperti biasa dengan kecepatan tinggi. Sepanjang perjalanan aku mengamati gambar di bagian belakang jaket Pria. Maaf, aku ulang, bukan gambarnya tapi aku mengamati punggung lebar yang menepis angin dari depan. Masih terasa dingin tapi setidaknya berkat punggung ini aku bisa berlindung dari amukan emosi yang merajai senjak di Bujang tadi.

Akhirnya ketemu juga, batinku berkali-kali. Sering aku bertanya pada Tuhan dan diri sendiri, apa yang terjadi jika aku dan Mela dipertemukan? dan ajaibnya malam ini Tuhan memberi jawaban. Sebuah surprise maha dasyat Tuhan berikan untuk hambanya yang setahun terakhir menanti pertemuan ini. Sayangnya surprise tersebut begitu mengejutkan sampai aku tidak tau harus berbuat apa.

"Ra.." panggil Pria.

"Ha? Iya. Kenapa?

"Saya sudah panggil kamu lebih dari 5 kali lho. Ngelamunin apa sih? Mbok aku diajak kalau ngelamun," respon Pria.

"Hahaha.." ketawaku terpaksa.

"Mampir McD yuk?

"Boleh.."

***

Aku memilih duduk di dekat jendela. Pandanganku menerawang ke luar sana. Reo.. Mela.. Reo.. Mela.. Entah sudah berapa kali aku menyebut nama mereka berdua. Kejadian tanya benar-benar membuat alam sadarku buyar, yang tersisa hanya alam bawah sadar, emosi, dan sedikit keresahan. 

Pria meletakkan dua cup ice cream di hadapanku. "Masih mikirin Reo sama Mela?" ucapnya hati-hati.

"Ha? Enggak kok"

"Jujur aja. Saya bisa baca pikiran orang dari gelagatnya," Pria terkekeh sendiri.

"Masih mikirin Reo sama Mela?" dia bertanya sekali lagi.

"Kepoh!" aku mencibir.

"Dih.. Juteknya.."

Hening. Aku kembali bergulat dengan monster besar di dalam kepala yang aku sebut dengan hayalan. Selama ini aku terlalu berharap banyak pada Reo. Meski dia selalu mengutamakan kebutuhan Mela tapi di satu sisi dengan ketidakpekaannya dia selalu ada saat aku butuh. Monster besar itu terus mengamuk di dalam pikiranku, bersekongkol dengan penyesalan atas pengabaian terhadap kata-kata sahabatku. Mereka selalu menahanku, mencegahku untuk terus melangkah, memberiku pencerahan semampu mereka, namun dengan bebalnya aku tetap kukuh pada pendirianku. Aku terlalu percaya diri untuk melalui ini sendiri..

"Ra.." Pria menyebut namaku pelan.

"Ha?"

"Hari Rabu besok Reo pendadaran.." Pria mengarahkan pandangannya padaku, "saran saya, kamu jangan datang."

Aku menunduk lemas.

"Saya hanya tidak ingin menyaksikan drama seperti tadi. Saya benci melihat ekspresi kekalahan kamu dan Reo. Saya benci pada diri saya sendiri karena tidak bisa menghindarkan kalian dari kekalahan yang sama," tuturnya sembari mengusap kepalaku lembut.


Akhirnya Ketemu Juga

Mataku tak bisa lepas dari sosok wanita di ujung sana. Jarak kami terlalu jauh untuk saling santap, tapi tatap matanya seakan ingin memangsaku. Berkali-kali aku mengela nafas panjang. Skenario apa lagi ini?

“Langsung dimulai aja ya,” Pria mengedarkan pandangan kesegala penjuru. “Tujuan saya kumpulkan kalian disini agar kalian bisa saling kenal. Kita perlu membangun sebuah keharmonisan supaya project kita tidak berhenti di tengah jalan hanya karena ada salah satu crew merasa tidak nyaman dengan kondisi tim kita. Untuk membangun sebuah kerharmonisan itu kita perlu mengenal satu sama lain. Kalian bisa menyebutkan nama, kota asal, tanggal lahir, mafa, dan mifa,” senyum Pria menyembang. “Ohya, satu lagi, status hubungan,” tambahnya.

Sontak beberapa orang yang duduk semeja pun heboh.

“Cukup! Untuk menghemat waktu mari kita mulai sesi kenal mengenalnya. Dimulai dari..” Pria memandangi kami satu persatu. “Nah, Rara aja deh.”

Aku melongo.

“Yang disebutin apa aja?” aku berbisik pada Geraldy.

“Makane lek rapat ki jo turu!” celetuk Banyu.

“Mas Ban,” aku menunduk layu.

“Nama, kota asal, tanggal lahir, mafa, mifa, plus status hubungan” jelas Pria

“Oh..” aku berdiri sambil mengatur nafas sejenak. “Namaku Rara. Asal Jawa Timur. Tanggal lahir sama kaya Pak Soekarno. Mafa es krim. Mifa es krim.”

“Status hubungan?” sahut Geraldy.

“Sudah terlalu lama sendiri,” jawabku datar.

“Terimakasih, Rara, atas perkenalan dirinya. Selanjutnya saya sendiri yang akan memperkenalkan diri.” Pria berdiri, “Nama saya Pria asal Sukoharjo. Lahir tanggal 15 Maret 1993. Mafa gudeg. Mifa Jus buah”.

“Buah apa e, pri?” celetuk Banyu.

Pria melirik manusia berpolo hitam di sampingnya. “Skip.. Skip..” ucapku sambil mencegah Geraldy melempar kata-kata aneh lain.

“Yak, sekarang giliran kamu..” seru Pria pada wanita berambut pirang sebahu, mengenakan kaos ketat, dan kerap mengibaskan rambut akibat kegerahan.

“Terimakasih,” dia merapikan poninya. “Perkenalkan namaku Melania, biasa di panggil Mela. Sudah berpengalaman di bidang make up artistic. Senang berkenalan dengan kalian dan kamu..” dia menatapku tajam. “Rara” lanjutnya. 

Hening. Hanya suara derap kaki pengunjung lain terdengar memekakkan telinga. Mata-mata di hadapanku bergantian mengamati wajah muramku dan senyum menang dari wajah Mela. Aku melirik ke arah Reo, dia hanya menunduk pasrah. Tamatlah aku

Lambat terdengar tepuk tangan dari Pria, berusaha mencairkan suasana. "Terimakasih Mela, kamu bisa bisa duduk lagi."

***

"Saya antar pulang ya," suara Pria mengejutkanku.

"Masih disini? Aku kira sudah pulang."

"Belum," Pria naik diatas motorku. "Ayo, saya antar."

"Terus kamu pulangnya gimana?"

"Saya bisa minta jemput sama Reo," Pria melambaikan tangan pada Reo.

Ragu-ragu Reo melangkah kearah kami. "Ngapa?"

"Sesudah antar Mela pulang tolong jemput saya di kos Rara bisa?"

Reo memandangku lama. "Bisa tukeran aja gak?" ucap Reo sambil melangkah pergi.

"Gimana, Re? Bisa gak?" Pria sedikit teriak.

Reo mengangkat ibu jarinya sambil berlalu. 

Kesan Ketiga, Pria, dan Pra Rapat Perdana

Satu minggu terakhir aku, Pria, Reo, Banyu, dan Geraldy disibukkan dengan berbagai deadline terkait film pendek gagasan Pria. Entah dapat wangsit dari mana, tiba-tiba malam itu Pria mengumpulkan kami berempat untuk membahas konsep pembuatan film pendek. Katanya kalau film ini bisa selesai dan layak tayang, Pria akan mengikut sertakan karya kami berlima dalam sebuah ajang penghargaan film pendek.

Aku tidak pernah ragu pada kreativitas yang ada di dalam kepala Pria. Semua hal yang di ucapkan memang tidak akan pernah terpikir oleh manusia pada umumnya. Salah satunya film pendek ini. Lagi-lagi dia ingin mengangkat tema seorang pahlawan, tapi tidak melulu tentang seorang yang rela mati di medan perang. Otakku berkerja keras untuk mencari ujung pemikiran dari seorang Pria. Entahlah! Aku menyerah!

Sampai detik dimana kumpul kedua harus dilakukan, pikiranku masih belum bisa mengerti apa yang Pria inginkan. Kumpul kedua dilaksanakan tak jauh dari tempat mereka berempat tinggal; tempat kos Pria, Reo, Banyu, dan Geraldy. Sialnya setelah mereka berempat kehabisan akal untuk mengerucutkan tema yang mereka sepakati sendiri, tiba tiba Reo mengetuk pintu kosku tepat pukul 10 malam. Gila memang. Lebih mengejutkannya lagi Reo memintaku untuk membawa selimut dan celana kolor untuk persiapan kalau ternyata adegan kumpul kedua ini tidak selesai dalam waktu dua jam.

Ya, sesuai dengan perkiraan Reo. Sampai pagi pun kumpul kedua itu tidak juga membuahkan hasil. Sampai jam 10 siang, sesaat sebelum Reo pergi ke kampus untuk konsultasi dengan dosen pembimbingnya, sebuah ide brilian muncul dari mulut Pria. “Bagaimana kalau kita menyoroti single parent?” ucapnya dengan penuh rasa lega.

“Bisa..” jawab Banyu datar.


***

Malam ini akan dilakukan rapat perdana all crew pembuatan film pendek yang digagas Pria. Pukul delapan di Bujang, tulis Pria pada pesan singkatnya. Dia memintaku untuk mampir ke tempat kosnya sebelum menuju ke Bujang. Katanya ada beberapa hal yang perlu diperjelas. Aku pun mengiyakan perintahnya.

“Assalamualaikum,” tanganku hampir saja lecet akibat terlalu lama mengetuk pintu kamar Pria. Sampai rasa putus asa menguasai alam bawah sadarku pun tak ada jawaban dari si empunya kamar.

“Assalamualaikum,” aku berjanji, ini ucapan salam terakhirku. Jika tidak ada satu orang pun yang menjawab, aku akan angkat kaki dari tempat ini.

Aku baru mundur satu langkah dari depan pintu, bertekat buat meninggalkan pintu keparat di depanku ini, ketika ada suara gagang pintu yang bergerak.

“Sudah lama berdiri disitu?” senyum kecut itu muncul dari wajah Pria.

“Sini masuk,” dia berjalan terseok-seok menuju meja computer di sudut ruangan. “Maaf, tadi saya masih ngumpulin nyawa, jadi lama bukain pintunya.”

“Santai wae..” aku tersenyum maksa.

“Jadi gini, Ra, ada beberapa orang yang sudah saya pilih untuk terlibat langsung dalam pembuatan film kita. Tapi sebelum aku ngelamar mereka untuk jadi crew saya mau kamu lihat dulu list namanya.”

Aku mengamati satu persatu nama yang ada di dalam list tersebut.

“Gimana?” tanya Pria.

“Yak.. anda sudah memilih orang-orang yang tepat pak produser,” aku menjabat tangannya.

Pria terkekeh. “Kamu tunggu disini sebentar ya, saya mau mandi dulu, lalu kita berangkat ke Bujang bareng.”

“Shaaap bosku!”

***

“Kamu tau..” ucap Pria setelah keluar dari kamar mandi. Aku hanya menggeleng. “Saya gugup,” lanjutnya.

Seng semangat boss!” kataku sambil mengepalkan kedua tangan.

Pria membalasnya dengan dua kepalan tangan.

“Yuk..” ajak Pria setelah berdandan rapi menurut versinya sendiri.

“Reo?”

“Ah.. Reo belum pulang dari tadi sore. Katanya mau langsung nyusul ke TKP”

Keluar dari kamar Pria aku mendongak ke atas, mengamati kamar gelap di ujung koridor lantai dua yang sedang ditinggal pergi penghuninya. “Reo pasti nyusul kok, Ra” ucapnya genit.

Aku tersipu malu mengetahui Pria memergokiku mengamati kamar Reo.

Mas, sekarang aku sudah dewasa..

Malam ini aku hanyut dalam tiga tahun lalu, dimana kamu dan aku sering berbalas BBM sampai larut malam, dimana kamu dan aku rajin melempar rayuan gombal dalam setiap aksara. Aku bisa tertawa guling-guling ketika membaca screenshot chat BBM kita, waktu itu aku masih pakai BB dengan aplikasi screenmunched, itu lho aplikasi yang bisa bunyi krauuuuk sambil getar kalau dipakai screenshot. Udah jadul banget dan terasa basi kalau harus dibahas sekarang.

Celakanya hal basi itu mengingatkan satu hal yang tak berbekas lagi. Sebuah kenyataan kalau ternyata kita pernah lebih dari sekedar dekat. Kalau aku putar otak sekali lagi, aku tidak akan menemukan sebuah jawaban dari pertanyaan, “sebenarnya kita ini apa?”Jelas tidak ada jawabannya karena waktu itu aku terlalu kecil untuk menagih kejelasan dari caramu ngegombal, titik dua bintang diakhir kalimat dalam chatmu, dan caramu memberikan dukungan penuh dalam hal tulis menulis.

Ohya, karena kamu, sampai hari ini aku masih aktif menulis meski kamu tak lagi mengikuti tulisanku. (aku kangen). Jangankan mengikuti tulisanku, waktu aku ulang tahun saja kamu mengucapkan selamat lewat message facebook karena merasa kontak bbmku hilang. Padahal sampai detik ini kita masih menyimpan kontak bbm satu sama lain meski tak pernah sempat untuk berbagi kabar. Bukan tidak sempat, tapi tidak pernah berusaha untuk saling menyempatkan.

Karena jauh disana, entah dimana kamu berada, jauh disana kamu sedang sibuk mencari sesuatu yang belum kamu temukan. Dan ternyata sama, di sini, di Jogja, aku juga sedang sibuk mencari sesuatu yang belum aku temukan. Kita terlalu sibuk memikirkan hidup masing-masing sampai melupakan tiga kata yang mengejutkan; kita pernah dekat. Jangan terkejut dulu. Ada satu hal lagi yang harusnya membuat kita terkejut bersama; kita tidak pernah kehabisan topic bahasan.

Aku sudah lupa kapan terakhir kita berbalas pesan, mungkin awal bulan Januari kemarin, saat kamu ulang tahun. Tapi kelihatannya chat kita hanya bertahan beberapa baris saja. Berakhir karena kamu mengirim kata hahaha padaku dan aku paling malas dengan kata hahaha itu. Lagian kalau dilihat-lihat, dulu aku paling suka dengan gombalan dari kamu, tapi sekarang aku lebih tertarik pada kejelasan. Jadi, kalau disuruh ngelucu dan ngikuti alur ngelucumu aku sudah tidak sanggup.

Kamu tau, aku kangen, kangen banget malah. Kangen pada kedekatan kita dulu, kangen pada ucapan selamat pagi dari kamu, kangen pada cara kamu meyakinkan aku untuk terus nulis sambil bilang ‘tetap nulis ya suatu saat pembacamu akan banyak’ padahal sampai hari ini setiap postingku pembacanya tidak pernah menyentuh angkat 50. Ohya, aku juga kangen sama banyolanmu dan aku sudah gatel banget pengen tanya ‘kapan nikah?’ padahal kalau kamu mendadak nikah aku bakalan syok.

Dari sekian banyak hal yang aku kangenin ada satu hal yang benar-benar aku kangenin. Aku kangen kamu yang ganteng. Sekarang kamu keliatan tua banget hahaha Kurus kaya orang cacingan dan udah gak keren kaya dulu. Kamu harus jaga kesehatan, jangan banyak begadang, rokoknya dikurangin, kalau pulang kerja jangan lupa makan, jangan kebanyakan ngegame, jangan terlalu mikirin aku juga. Disini aku sudah bertemu seseorang yang suka nulis blog kaya kamu waktu masih muda. Beberapa waktu lalu ketika aku mutung dan memutuskan untuk berhenti nulis, dia juga nyemangati aku buat nulis lagi.

Kamu ya! Kalau keinget sama kamu, aku suka sebel sendiri. Bukan sebel sama kamu, tapi aku sebel sama takdir yang bikin selisih usia kita jauh banget dan dengan nyebelinnya lagi takdir mempertemukan kita disaat aku masih labil. Yakali cowok lulusan pendidikan ekonomi, mantan anak band indie Jember, kerjanya jadi pegawai bank yang seusia kamu tertarik sama aku yang masih SMA. Apalagi waktu kita dekat kamu baru aja pacaran sama mbak mbak cantik. Siapa ya namanya? Kotang? Yang model itu lho.

Ngomongin tentang pacarmu, pernah suatu hari aku mendadak kesel sendiri, padahal harusnya kita kesel berdua biar aku bisa salahin kamu. Waktu itu tiba-tiba aku pengen stalking twittermu dan oh my god, who is she? I get drunk on jealousy banget. Lama gak stalking twitter kamu tiba tiba kamu punya pacar baru yang kondisinya lagi garap skripsi. Lebih ngeselinya lagi isi mention kalian gak jauh dari kata kowe kudu cepet mari skripsine cek ndang tak lamar. Itu artinya sesaat setelah mbak itu lulus kuliah kalian bakalan nikah. Oh no! Aku gak rela.

Banyak hal yang pengen aku ceritain tapi kamu terlalu asik dengan duniamu dan aku terlalu egois dengan segala macam kesibukanku. Kalau duniamu sudah gak asik lagi, jangan lupa pulang ya, pintu hatiku masih terbuka untukmu *eaaaa!

Semoga kamu bisa jatuh cinta pada aksaraku,
karena bagimu
“jatuh cinta pada aksaranya lebih ganas
daripada jatuh cinta pada tubuhnya”
(tweet Dec 20, 2013 6:17am)


Kesan Kedua, Revisi Tujuh, dan Film Pendek



"Ra, bangun. Tidurnya di kamar aku aja" ia menepuk bahuku pelan-pelan. "Disini dingin, Ra, nanti kamu masuk angin loh"

"Aduuh, aku gak kuat jalan. Ngantuk banget, Re" 

"He! Bangun nggak? Aku seret nih!" 

Mataku terbelalak setelah mendengar teriakannya. "Apasih?" bentakku.

"Apanya yang apasih? Kalo kelamaan disini lo bisa masuk angin bego!" 

"Iya deh iya.." aku menyeret kaki menuju kamar tidur Reo. 

Kamar kos Reo adalah sebuah ruangan tiga kali tiga yang bisa menghadirkan cerita tersendiri Selain memiliki aroma khas antara parfum dan rokok, ruangan ini juga bisa membuatku betah berlama-lama disana. Padahal setiap kali aku main ke tempat kosnya, Reo selalu duduk di depan laptop dan sibuk dengan tumpukan buku, catatan, dan lembaran foto hasil lab lambung, paru-paru, jantung, ginjal, dan hati tikus kesayangannya. Walau pun kadang aku suka jengkel dengan perlakukannya, tapi setidaknya mengamati cara kerja dia yang tak kenal waktu dan berusaha memenuhi targetnya sendiri membuatku merasa 'aku pengen punya semangat kaya Reo'.

***

Sudah jam tujuh pagi, itu artinya aku melewatkan waktu sholat subuh, dan aku baru kepikiran sama keadaan Reo yang tadi sudah mimisan tapi kamarnya malah aku bajak. Dia tidur dimana semalam? batinku. 

Buru buru aku merapikan tempat tidur agar bisa segera keluar kamar dan mencari tau dimana Reo tidur semalam. Setelah beres aku bergegas keluar kamar. Kudapati seseorang sedang tidur di depan teras kamar berbalut selimut hijau pupus tebal bersama tiga orang lain. 

Aku melangkah perlahan melewati tubuhnya. Saat kakiku berada tepat di depan tubuhnya, handphone milik Reo berdering. Seketika Reo langsung bangun dan duduk, mencari letak handphonenya. 

"Selamat pagi, Pak.." ucap Reo setengah sadar. "Iya, pak, jam 10 drafnya sudah ada di meja bapak." Reo berkedip padaku. Bibirnya memberi isyarat padaku untuk menyalakan PC. "Baik pak, terima kasih."

Reo menarik nafas dalam-dalam. Sesekali dia menggelengkan kepala sambil berusaha mengumpulkan nyawa. "Ra.." panggilnya.

"Ha?" 

Kini Reo duduk di belakangku menghadap monitor yang sama. "Coba buka folder skripsi, cari yang ada tulisannya revisi tujuh" ia mengamati setiap tulisan yang ada di situ. Namun tiba-tiba kepalanya disandarkan pada bahuku. "Sebentar aja.." ucapannya nyaris tak terdengar.

Tak berselang lama ia mengangkat kepalanya. "Langsung print aja, Ra" perintahnya.

"Emang udah kamu revisi?" 

"Udah, sebagian." jawabnya datar-datar saja.

Reo menyambungkan handphone dengan kabel speaker di dekat pintu kamar. "Bangun woy!" Reo meneriaki tiga manusia tak berdosa yang tergeletak dilantai teras depan kamar.

"Ra.." 

"Kenapa lagi, Re?" aku menoleh ke belakang. 

Pria cuma tersenyum, "Suara kami memang terdengar sama"

"Eh, enggak kok, maaf"

"Santai aja.." Pria menyalakan rokoknya sambil duduk di depan pintu. "Untung ada kamu, Ra" ucapnya tiba-tiba.

"Maksudnya?" 

"Cewek mana sih yang rela tidur di tempat kos cowok cuma demi nyumbingin konsep buat film pendek konyol  bikinan anak eksak kaya kami," pandangan kami beradu. Aku mencari penjelasan lebih dari ucapan 'untung ada kamu'. 

"Ah, lupakan.. lupakan.. masih pagi," lanjutnya.

Harapan Baru



Pantai Payangan, 17 Februari 2016


Sudah tiga tahun..

Aku tidak mengenang masa jombloku yang udah tiga tahun, tapi aku mengenang betapa hebatnya enam bulan bersama kamu, dan mengenang betapa menyakitkannya menerima kenyataan. Tahun ini kamu merayakan aniv ke dua dengan wanita bernama Desi dan ditahun yang sama aku ikut merayakan kebahagiaanmu sendirian. Walau pun sendirian setidaknya aku ikut merayakan kebahagiaanmu. Meski seorang diri setidaknya aku masih menjaga namamu.

Menerima kenyataan bahwa kamu tidak lagi sendiri adalah kenyataan pahit yang kukecap disetiap lima waktuku. Meski akhir akhir ini aku menyisipkan nama baru di dalam doaku tapi nama itu belum bisa buatku berhenti menyebut namamu. Memang bodoh.. tapi inilah aku wanita bodoh yang biarkan hatinya sesak tergenang kenangan. 

Hari ini aku ingin meletakkan kamu pada posisinya. Aku ingin menghela nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya. Kamu, kenangan, boneka sapi imut itu, baju batik sarimbit yang mahal itu, gantungan kunci belahan hati, kartu ucapan selamat ulang tahun dari kamu bertahun tahun lalu, dan kurang beberapa rupiah lagi aku bisa membeli helm baru agar semua tentangmu tidak lagi menggelayutiku. 

Setibanya di Jogja aku tidak akan memeluk boneka sapi imut darimu lagi. Pasti sulit untuk membiasakan diri memeluk boneka lain kemudian mengubah posisi tidur ternyamanku, tapi aku yakin bisa. Mungkin dalam beberapa hari aku akan semakin sulit tidur tapi aku rela korbankan malamku demi mengubur kenangan bersamamu.

Baju batik sarimbit itu baru saja aku keluarkan dari lemari baju. Lama aku mengamati baju itu, mengamati modelnya, merasakan lembut kainnya, dan menalikan pita yang sudah lama lepas. Apa kabar dengan bajumu? Masih berdiam di dalam lemari atau sudah terbakar amarah orang tuamu saat tau bagaimana keadaanku? Tekatku sudah bulat, aku melipatnya dengan hati-hati dan memasukkannya kedalam kardus dan menaruhnya di lemari tempat baju tak terpakai.

Gantungan kunci belahan hati darimu sudah hilang sejak SMA kelas 2. Saat itu kamu masih rajin menghubungiku dan kudapati kemarahanmu ketika tau bahwa gantungan kunci yang katanya limitit edisen itu terlepas dari kunci motorku. Maaf..

Ah, kartu ucapan selamat ulang tahun itu dulunya kujadikan penghangat dompet. Namun baru saja aku keluarkan dari dalam dompet yang mulai penuh dengan kwitansi pembayaran dan beberapa nota garansi alat elektronik di kosan. Harusnya sejak dulu aku lakukan ini semua.

Doakan semoga rejekiku lancar agar dapat menanggalkan helm ungu abu abu penuh dengan stiker itu. Kemudian membeli helm baru yang lebih bagus dan bisa menghilangkan kenangan kenangan gila tentang aku dan kamu.

Terima kasih untuk enam bulan terhebatnya. Aku telah menyingkirkan segala sesuatu yang berbau kamu dan aku siap membuka hati untuk yang baru..

Malioboro dan Kesan Pertama

Sebelumnya Medan Jogja Jember


Reo meletakkan satu cup ice cream lalu duduk disampingku. "Tumben duduknya gak berhadapan?" tanyaku heran. Dia cuma nyengir kuda tanpa menjawab pertanyaanku.

Malam ini hujan membasahi jalan Malioboro dan di malam ini juga manusia berjaket merah ini mengajakku menikmati makan ice cream ditemani setiap rintik yang jatuh. Katanya agar semua kenanganku tentang mantan segera luruh bersama hujan. Aku tertawa keras saat mendengar alasannya. Setauku rintik hujan bisa menghidupkan kenangan masa lalu. Ah serem..

Aku sedang asik menikmati ice cream ketika manusia penikmat hujan ini berdiri menyambut kedatangan seseorang. Mataku mengamati seorang lelaki dengan jaket warna hijau army mendekat kearah kami. "Bajingan! Apa kabar?" Reo merangkul lelaki itu. 

Setelah basa-basi busuk sambil berdiri akhirnya Reo mengajak lelaki itu duduk semeja dengan kami. "Nih kenalin sahabat aku.." ucapnya penuh semangat.

"Pria" 

"Rara.." 

"Ra, Pria ini suka nulis puisi. Kadang nulis lagu buat bandnya juga," jelas Reo padaku.

"Waah, kak Pria punya band?" kali ini aku mulai tertarik dengan topik bahasan ini.

Pria cuma mengangguk saja.

Hening..

Topik pembicaraan kami habis dan aku kembali fokus pada ice cream di hadapanku. Aku melihat kedua bocah tengik dihadapanku, Reo sedang asik berbalas pesan dengan Mela, dan baru saja Pria mengeluarkan pensil dari tasnya lalu menggambar makhluk astral di kertas bekas nota pembayaran.

Mataku tak bisa lepas dari jari lentik Pria, jarinya terus menari indah diatas kertas. "Woy! Mata lu bisa lepas ngeliatin Pria dari tadi!" kali ini Reo mengagetkanku.

"Hussst! Diem deh. Liat tuh gambar makhluk astral bikinan Pria udah hampir jadi," jawabku dengan geram.

Pria memandang kami berdua dengan muka bingung. Reo nyengir sambil berkata, "Rara orangnya memang udik, gampang heran."

Sekarang giliran Pria yang nyengir. "Kalian kalau lagi jalan bareng suka asik sendiri kaya gini?"

Aku dan Reo saling berpandangan kemudian mengangguk kompak.

"Oh.. Aku kira karena kalian sahabat jadi banyak hal yang bisa diobrolin. Curhat kek. Ngomongin orang kek. Atau apa kek.." tutur Pria.

"Biasanya sih Reo hobi ngomongin Mela, berhubung mereka lagi baikan jadi gak ada topik bahasan.." aku menjulurkan lidah di depan Reo.

Pria terkekeh geli. "Ohya, sudah jam 9 nih. Aku balik duluan ya.. ada janji sama orang," dia pun melambaikan tangan dan berlari menuju pintu keluar. Namun beberapa saat kemudian Pria kembali menghampiri kami. "Ra ini buat kamu. Disimpan ya, kalau kita ada waktu bertemu lagi, aku buatkan yang lebih bagus dan rapi".

Aku melihat kertas nota pembayaran bergambar makhluk aneh di tanganku.


***

"Pria.." ucap Reo. "Kesan pertama kamu tentang Pria.." lanjutnya.

"Oh.. Kesan pertama ya.." aku berfikir sejenak. "Pria itu tinggi, kulit sawo matang, mata panda, rambut panjang bergelombang, dan berkumis tipis".

"Keren?"

"Lumayan," jawabku.

"Dasar jomblo belagu! Cowok kaya Pria di bilang lumayan. Terus cowok keren versi lu kaya gimana, Ra?" Reo melangkah mendahuluiku sambil menggerutu.