McD Jombor


Jalanan tampak lengang. Hanya sekali dua kali kami berpapasan dengan kendaraan lain. Motorku masih melaju seperti biasa dengan kecepatan tinggi. Sepanjang perjalanan aku mengamati gambar di bagian belakang jaket Pria. Maaf, aku ulang, bukan gambarnya tapi aku mengamati punggung lebar yang menepis angin dari depan. Masih terasa dingin tapi setidaknya berkat punggung ini aku bisa berlindung dari amukan emosi yang merajai senjak di Bujang tadi.

Akhirnya ketemu juga, batinku berkali-kali. Sering aku bertanya pada Tuhan dan diri sendiri, apa yang terjadi jika aku dan Mela dipertemukan? dan ajaibnya malam ini Tuhan memberi jawaban. Sebuah surprise maha dasyat Tuhan berikan untuk hambanya yang setahun terakhir menanti pertemuan ini. Sayangnya surprise tersebut begitu mengejutkan sampai aku tidak tau harus berbuat apa.

"Ra.." panggil Pria.

"Ha? Iya. Kenapa?

"Saya sudah panggil kamu lebih dari 5 kali lho. Ngelamunin apa sih? Mbok aku diajak kalau ngelamun," respon Pria.

"Hahaha.." ketawaku terpaksa.

"Mampir McD yuk?

"Boleh.."

***

Aku memilih duduk di dekat jendela. Pandanganku menerawang ke luar sana. Reo.. Mela.. Reo.. Mela.. Entah sudah berapa kali aku menyebut nama mereka berdua. Kejadian tanya benar-benar membuat alam sadarku buyar, yang tersisa hanya alam bawah sadar, emosi, dan sedikit keresahan. 

Pria meletakkan dua cup ice cream di hadapanku. "Masih mikirin Reo sama Mela?" ucapnya hati-hati.

"Ha? Enggak kok"

"Jujur aja. Saya bisa baca pikiran orang dari gelagatnya," Pria terkekeh sendiri.

"Masih mikirin Reo sama Mela?" dia bertanya sekali lagi.

"Kepoh!" aku mencibir.

"Dih.. Juteknya.."

Hening. Aku kembali bergulat dengan monster besar di dalam kepala yang aku sebut dengan hayalan. Selama ini aku terlalu berharap banyak pada Reo. Meski dia selalu mengutamakan kebutuhan Mela tapi di satu sisi dengan ketidakpekaannya dia selalu ada saat aku butuh. Monster besar itu terus mengamuk di dalam pikiranku, bersekongkol dengan penyesalan atas pengabaian terhadap kata-kata sahabatku. Mereka selalu menahanku, mencegahku untuk terus melangkah, memberiku pencerahan semampu mereka, namun dengan bebalnya aku tetap kukuh pada pendirianku. Aku terlalu percaya diri untuk melalui ini sendiri..

"Ra.." Pria menyebut namaku pelan.

"Ha?"

"Hari Rabu besok Reo pendadaran.." Pria mengarahkan pandangannya padaku, "saran saya, kamu jangan datang."

Aku menunduk lemas.

"Saya hanya tidak ingin menyaksikan drama seperti tadi. Saya benci melihat ekspresi kekalahan kamu dan Reo. Saya benci pada diri saya sendiri karena tidak bisa menghindarkan kalian dari kekalahan yang sama," tuturnya sembari mengusap kepalaku lembut.


Akhirnya Ketemu Juga

Mataku tak bisa lepas dari sosok wanita di ujung sana. Jarak kami terlalu jauh untuk saling santap, tapi tatap matanya seakan ingin memangsaku. Berkali-kali aku mengela nafas panjang. Skenario apa lagi ini?

“Langsung dimulai aja ya,” Pria mengedarkan pandangan kesegala penjuru. “Tujuan saya kumpulkan kalian disini agar kalian bisa saling kenal. Kita perlu membangun sebuah keharmonisan supaya project kita tidak berhenti di tengah jalan hanya karena ada salah satu crew merasa tidak nyaman dengan kondisi tim kita. Untuk membangun sebuah kerharmonisan itu kita perlu mengenal satu sama lain. Kalian bisa menyebutkan nama, kota asal, tanggal lahir, mafa, dan mifa,” senyum Pria menyembang. “Ohya, satu lagi, status hubungan,” tambahnya.

Sontak beberapa orang yang duduk semeja pun heboh.

“Cukup! Untuk menghemat waktu mari kita mulai sesi kenal mengenalnya. Dimulai dari..” Pria memandangi kami satu persatu. “Nah, Rara aja deh.”

Aku melongo.

“Yang disebutin apa aja?” aku berbisik pada Geraldy.

“Makane lek rapat ki jo turu!” celetuk Banyu.

“Mas Ban,” aku menunduk layu.

“Nama, kota asal, tanggal lahir, mafa, mifa, plus status hubungan” jelas Pria

“Oh..” aku berdiri sambil mengatur nafas sejenak. “Namaku Rara. Asal Jawa Timur. Tanggal lahir sama kaya Pak Soekarno. Mafa es krim. Mifa es krim.”

“Status hubungan?” sahut Geraldy.

“Sudah terlalu lama sendiri,” jawabku datar.

“Terimakasih, Rara, atas perkenalan dirinya. Selanjutnya saya sendiri yang akan memperkenalkan diri.” Pria berdiri, “Nama saya Pria asal Sukoharjo. Lahir tanggal 15 Maret 1993. Mafa gudeg. Mifa Jus buah”.

“Buah apa e, pri?” celetuk Banyu.

Pria melirik manusia berpolo hitam di sampingnya. “Skip.. Skip..” ucapku sambil mencegah Geraldy melempar kata-kata aneh lain.

“Yak, sekarang giliran kamu..” seru Pria pada wanita berambut pirang sebahu, mengenakan kaos ketat, dan kerap mengibaskan rambut akibat kegerahan.

“Terimakasih,” dia merapikan poninya. “Perkenalkan namaku Melania, biasa di panggil Mela. Sudah berpengalaman di bidang make up artistic. Senang berkenalan dengan kalian dan kamu..” dia menatapku tajam. “Rara” lanjutnya. 

Hening. Hanya suara derap kaki pengunjung lain terdengar memekakkan telinga. Mata-mata di hadapanku bergantian mengamati wajah muramku dan senyum menang dari wajah Mela. Aku melirik ke arah Reo, dia hanya menunduk pasrah. Tamatlah aku

Lambat terdengar tepuk tangan dari Pria, berusaha mencairkan suasana. "Terimakasih Mela, kamu bisa bisa duduk lagi."

***

"Saya antar pulang ya," suara Pria mengejutkanku.

"Masih disini? Aku kira sudah pulang."

"Belum," Pria naik diatas motorku. "Ayo, saya antar."

"Terus kamu pulangnya gimana?"

"Saya bisa minta jemput sama Reo," Pria melambaikan tangan pada Reo.

Ragu-ragu Reo melangkah kearah kami. "Ngapa?"

"Sesudah antar Mela pulang tolong jemput saya di kos Rara bisa?"

Reo memandangku lama. "Bisa tukeran aja gak?" ucap Reo sambil melangkah pergi.

"Gimana, Re? Bisa gak?" Pria sedikit teriak.

Reo mengangkat ibu jarinya sambil berlalu.