Setia (?)

Kita melangkah bersama
Menikmati sedih ini berdua
Sedihmu jadi bagian hidupku
Tapi bahagiamu bukan lagi tentang aku

Percuma,
Kau bilang cinta tanpa banyak kata
Percuma,
Kau bilang setia tapi ternyata..

Angkringan Jalan Monjali

Sebelumnya Warung Anglo dan Segelas Root Bear


"karena di dalam hati setiap nama memiliki posisinya masing-masing.."

Malam ini dia mengenakan baju flannel kesayangannya berdiri di hadapanku. Di dalam genggamannya terdapat seikat bunga mawar merah kesukaanku. Dia menggapai jemariku sambil berkata, "malam ini kita kemana?" 

Jawabanku masih sama, "terserah".

Dia hanya tersenyum tipis dan melajukan motornya memecah hiruk pikuk jakal malam ini. "Aku punya banyak cerita malam ini," ucapnya penuh semangat.

"Aku siap jadi pendengarmu, ksatria"

***

Jari lentiknya mengitari bibir gelas berisi kopi susu pesanannya. Matanya mengamati kepulan asap tipis dari dalam gelas. Mulutnya sedari tadi mengulang kata-kata yang sama, "aku mau cerita.." "aku mau cerita.." "aku mau cerita.." tapi belum ada satu kisah pun keluar dari mulutnya.

"Serius.." dia menghela nafas berat. "Aku mau cerita beneran"

Aku mengambil posisi senyaman mungkin untuk mendengarkan ceritanya. Jarang-jarang lelaki satu ini berbagi cerita, batinku.

"Kamu tau, aku baru dari rumah Mela buat ngasihin ini.." dia menyentuh seikat bunga disampingnya. "Ini buat kamu. Aku sengaja beli dua, satu buat Mela, dan satu buat kamu." 

"Terima kasih, ksatria!" ucapku kegirangan.

"Jangan senang dulu, ceritaku panjang nih.." dia menghirup kepulan asap dari dalam gelam.

"Cuma dihirup aja? Gak diminum?" tanyaku.

"Kamu lupa ya? Aku punya sakit mag, mana bisa minum kopi." 

"Astaga cintaaa! Aku hampir lupa. Kayanya salah deh aku ngajakin kamu kesini." 

"Santai aja.. harga makanan di sini murah kan? Kalau murah berarti kamu gak salah" dia tertawa sendiri.

"Terserah deh.." aku meminum bagianku. "Jadi, mau cerita apa, cinta?"

"Ceritanya gini.."


***

"Aku gak tau harus mulai dari mana.." lagi lagi dia menghela nafas. "Tadi sore aku beli dua ikat bunga dengan warna dan harga yang sama karena aku sayang kalian berdua. Karena dua bunga mawar ini aku bisa lihat respon yang sama sebanyak dua kali tapi jauh sebelum aku putusin buat beli dua ikat bunga ini aku sudah tau kalau aku bakalan ngelihat akhir pertemuan yang beda," dia terdiam sejenak. Matanya menerawang jauh, seperti menghitung motor lalu lalang, padahal tatap matanya kosong. 

"Maksudnya gimana?" kataku.

"Waktu ketemu Mela aku bawa dua ikat bunga dihadapannya. Biar pun ikat bunga itu sama, tapi aku kasih dia kebebasan untuk memilih karena Mela pacaraku. Sebelum memilih Mela sempat tanya, 'kenapa harus milih? bukannya bunga itu sama aja?' aku jawab 'iya, sama aja kok. kamu pilih yang mana?'. Sampai akhirnya Mela milih ikat bunga dari tangan kananku." 

"Njuk?" 

"Njuk dia tanya lagi, yang satu buat siapa?'' dia natapku lama.

Aku balik menatapnya. 

"Aku jawab bunga itu buat kamu. You know what lah.. dia langsung ngebuang bunga di tangannya. Dia bilang, 'kenapa harus Rara? bisa gak sih sekali aja gausa bawa bawa Rara?' aku cuma diam aja. Aku tunggu sampai emosi Mela reda. Sayangnya, sampai aku pulang pun Mela masih marah-marah" dia mengangkat gelas berisi kopi, hendak meminumnya.

"Stop!" teriakku. "Jangan diminum! Jangan coba-coba minum itu! Jangan mati konyol"

"Bodo amat!" umpatnya.

Segera aku raih gelas itu dari tangannya.

"Yaelaaah, kamu itu lucu. Kalau sudah tau Mela bakalan marah ngapain beliin aku bunga yang sama. Kalau sudah tau Mela marah sekarang kamu mau minum kopi biar mag nya kambuh terus mati?" ucapku dengan nada tinggi.

"Kamu tau? Kenapa aku sekarang duduk disini? Kenapa aku pesan kopi susu? Karena aku pengen lihat marahmu. Karena marahmu beda sama marahnya Mela." dia menghempaskan tubuhnya dikursi.

Aku terdiam. Tak percaya dengan kata-katanya.

"Mela selalu marah tanpa alasan yang jelas. Bahkan masalah kecil dan sepele pun bisa buat dia marah. Sementara kamu? Kamu marah untuk kebaikanku, bukan sekedar melampiaskan emosi aja," ucapnya lirih.

"Lalu?"

"Kenapa harus Mela? Kenapa tidak kamu saja?"

Aku tertunduk lemas.


Kembali (?)

Sudah lama sejak terakhir kita berjumpa dan akhirnya tadi malam kamu pulang. Kamu terlihat kurus, rambut hitammu tampak kecoklatan, rambut cepakmu sudah panjang, tapi raut wajahmu terlihat sumringah. Kita bertatap mata sangat lama. Aku menemukan banyak kerinduan disana.

Kamu melangkah lebih dekat..
Memberiku sebuah kotak hitam berhiaskan pita biru. "Ini apa?" tanyaku. Kamu hanya diam, tersenyum tipis, sambil berusaha mendekapku. Saat tubuhmu lekat dengan tubuhku aku ingin waktu berhenti sejenak. Aku ingin kamu buatku lupa akan setiap detik penantian, setiap bulir air mata, dan sembuhkan setiap luka sayat yang kenangan kita buat. "Sekarang aku lebih tenang," kataku.

Kamu melepas dekapan hangat itu sambil berkata, "Aku bahagia melihat kamu yang sekarang. tetaplah bahagia dengan dunia yang kamu punya. Jangan biarkan aku masuk lagi dalam kehidupanmu. Jangan beri aku kesempatan untuk mengobrak-abrik hidupmu lagi. Setauku, belakangan ini hidupmu sudah mulai tertata."

Aku hanya diam..
Perkataannya membuat mataku terasa panas. Jangan menangis dihadapanmu, aku harus terlihat kuat dihadapanmu, batinku.

"Tapi, kali ini aku mengharapkan kebaikan hatimu. Aku pulang. Walau lama tapi aku pulang. Walau terlambat tapi aku kembali. Aku ingin mengulang bahagia yang sama. Ternyata benar katamu.. diluar lebih dingin dari bayanganku. Maafkan aku," ucapmu lagi.

Aku menunduk pelan. "Kenapa baru sekarang kamu pulang?"

"Maafkan aku yang terlalu sibuk dengan duniaku. Aku terlalu angkuh untuk mengakui bahwa peluk tubuhmu adalah tempat terhangat yang pernah aku punya," suaranya terdengar berat.

Ada isak yang tertahan disana. Namun untuk kesekian kalinya aku tak ingin membukakan pintu untuknya. Aku tidak ingin dia kembali hanya karena di luar sana lebih dingin dari perkiraannya

Sendirian (?)

Kita sedang duduk berdua..
Merasakan sendu bersama
Matamu menerawang jauh
Mungkin sedang menunggu bintang jatuh

Kita sedang memegang buku yang sama
Dalam sunyi ruang baca aku coba mengeja kata demi kata
Puisi lama
Namun diksinya mewakili kita

Kita sedang menikmati komedi putar
Ketika komedi putar berada di atas kita dapat melihat segalanya
Sayang.. komedi putar tak mau berhenti lebih lama
Saat komedi putar menyentuh tanah kamu langsung berjingkat keluar

Dan tinggalkan aku sendirian..

Warung Anglo dan Segelas Root Beer

Sebelumnya Tugu Jogja


Jalanan masih tampak basah akibat hujan tadi sore tapi aku masih kukuh ingin ikut rapat dengan pimpinan redaksinya. Meski udara berhembus dingin dan rapat kali ini tak mungkin selesai dibawah jam 12 malam tapi sekali lagi; aku ikut. Sepanjang perjalanan kamu terus berkicau menyalahkan gaya berpakaianku yang malam ini mengenakan tangtop berbalut kaos tipis dengan belahan dada rendah.

"Anglo lagi.." grutunya.

"Kenapa? Gak suka? Tempatnya enak kok" kataku.

"Iya, tempatnya enak tapi setiap kali ke Anglo kesannya mau rapat. Bukan mau nongkrong happy sama teman."

"Makanya aku ikut, biar kita berasa nongkrong cantik" ucapku sembari memilih duduk di sebuah banggu yang terbuat dari drum bekas.

Seorang wanita menghampiri kami untuk menyodorkan daftar menu. Aku masih asik memilih menu saat tiba-tiba dia menarik daftar menu dari tanganku. "Sudah gausa kebanyakan milih, disini menu andalannya Root Beer. Kita pesan itu aja," ucapnya berbisik. Bodohnya aku hanya mengangguk pasrah mengiyakan tawarannya padahal aku belum tau bagaimana rasanya Root Beer.

"Tenang, minumannya halal kok. Gak beralkohol dan yang jelas gak bikin kamu mabuk," tambahnya.

Kali ini seorang pria dengan nampan berisi dua gelas Root Beer mendatangi meja kami. "Terima kasih," katanya.

Tangannya dengan sigap membuang kedua sedotan yang ada di dalam gelas. "He! Kenapa?" ucapku kesal.

"Kowe ki.. ngombe beer mosok gawe sedotan." matanya memelototiku.

"Eheeem.. ketika orang batak sudah bisa bahasa Jogja," kataku.

"Rasis wooy" katanya sambil terkekeh.

"Kamu tau gak kenapa aku ngeyel minta ikut kamu rapat?" ucapku lirih.

Dia hanya menggeleng dan menatapku lurus.

"Aku kangen kamu," seketika kepalaku tertunduk malu.

"Terus?"

"Yaudah, aku kangen kamu."

"Terus aku harus gimana?"

"Gak tau. Jangankan kamu, aku aja yang kangen bingung harus gimana."

Hening.

Aku mengamati gelas besar yang luarnya berembun, menyisakan sedikit genangan air di meja. "Mungkin dulu aku belum bisa terima kalau kamu sibuk dengan skripsi. Mungkin dulu aku juga belum bisa terima sama situasi dimana kamu bicara panjang lebar tentang perasaanmu ke aku tapi akhirnya kamu malah jadian sama yang lain hanya karena kita beda iman," aku bicara sambil melirik kearahnya. "Tapi sekarang aku sudah bisa terima dan aku kangen kamu."

Dia hanya diam. Menatapku dalam.

"Kamu harus cari pacar, Ra" tangannya meraih tanganku dan menggenggamnya lama. "Cinta dari orang tua dan adik-adikmu memang sudah lebih dari cukup, tapi kamu juga butuh cinta yang lain," lanjutnya.

"Kenapa? Sekarang aku sudah punya kamu. Aku nyaman sama kamu. Saking nyamannya sampai-sampai aku ngerasa kalau aku gak butuh pacar lagi."

"Ra.. aku gak mau denger apa pun alasan dari kamu. Mulai sekarang coba kamu buka hati dan mulai cari pacar."

"Cariin," ucapku ketus.

Dia hanya diam lalu menyalakan sepuntung rokok dalam genggamannya.

"Saranku, kamu jangan pacaran sama orang dari lingkungan kita."

"Kenapa?"

"Kamu taulah, ketika kita berada di lingkungan yang sama, kita sering ketemu, kemudian kamu jadian sama salah seorang dari 'kita', terus pait paitnya kalian putus, apa yang terjadi? Musuhan" jelasnya.

Aku masih menatap matanya menanti kalimat selanjutnya.

"Kita berdua sudah pernah mengalami itu semua. Dari kita yang gak kenal, terus kita kenal. Dari kita yang hambar biasa aja sampai akhirnya kita punya rasa satu sama lain. Dari kita yang baik-baik saja, sampai dengan tololnya aku membuat keputusan untuk berhenti perjuangin kita dan lebih memilih untuk jelan bareng orang lain. Apa yang kita lakukan setelah itu? Setiap kali ketemu kita cuma berani saling tatap tapi gak berani saling sapa," lanjutnya.

Aku mengangguk pelan.

Dia menarik nafas panjang lalu berkata, "Aku minta maaf karena kejadian tempo hari. Kamu gak salah, pacarku juga gak salah, yang salah aku. Harusnya aku kasih penjelasan ke kalian berdua. Aku kenalin kamu ke dia secara baik-baik biar gak terkesan aku sembunyiin kamu dari dia. Maaf.."

"Mellow banget sih.." ucapku terkekeh. "Santai aja yoo, sekarang semuanya sudah baik-baik saja."

"Aku serius!" bentaknya.

"Hei, sama cewek kok ngomongnya pakai nada tinggi," ucap seorang lelaki sembari menyentuh pundaknya.

"Hehehe.. abis ceweknya ngeselin kaya dia," jari telunjuknya mengarah padaku.

Aku hanya bisa nyengir kuda mendengar ucapannya.

Tetiba Kangen Mantan

Aku menulis bersama secangkir susu coklat panas. Rasanya memang gak seenak yang kemarin, sayangnya susu coklat yang kemarin belum sempat saya habiskan karena lupa.

Kali ini aku lagi gak ingin nulis yang macam-macam. Aku lagi pengen menjadi aku.

Aku cuma mau cerita sedikit tentang ketidakpahamanku sama diriku sendiri. Aku memang jomblo udah lama banget, februari tahun depan aku ngerayain aniv 3 tahun kejombloanku. Tapi hidupku gak sepi-sepi amat kok.

Banyak hal yang sudah aku lakukan selama tiga tahun terakhir. Banyak sekali pencapaian diluar nalar yang bisa aku lakukan selama tiga tahun terakhir. Tapi untuk bisa hilangkan ingatan dan kenangan tentang satu orang ini nggak segampang dapatkan rangking 1 hanya untuk pindah sekolah ke Blitar supaya bisa satu kota dengan manusia yang satu ini. 

Dulu banget, waktu masih SMA kelas 1, waktu masih labil-labilnya, waktu banyak remaja seusia itu sedang bangga bangganya dengan pacar mereka yang bermotor satria, aku cuma bisa banggain status "in relationship" di facebook karena lagi LDR. Hahahaha.. yaelah, anak bau kencur sok LDR. 

Walau pun  di HAHAHA in sama banyak orang, tapi itu adalah satu-satunya cerita cinta yang paling berkesan. Saking berkesannya sampai-sampai sudah tiga tahun putus pun masih gak bisa lupa. 

Dulu banget, waktu aku putus sama dia aku biasa aja kok. Aku strong banget. Sampek suatu ketika dia punya pacar baru. Tau gak hal macam apa yang aku lakuin ketika tau dia punya pacar? Aku nangis. Tau gak aku nangisnya dimana? Di depan bank mandiri alun-alun jember, sampek bikin orang satu rumah heboh. Karena kejadian penuh air mata itu berlangsung antara jam 12 malem sampek jam 2 pagi. Ya bayangin aja, anak orang, cewek, nangis sendirian, pegang kain kecil buat usap umbel, duduk di depan mandir alun-alun, tengah malem, kalo tetiba disaut sama orang kan bisa wasalam. Ilang.

Aku galau berat selama berhari-hari. Untuk kali pertamanya aku yang doyan banget makan tetiba gak pengen makan apapun sampek ibuku heboh sendiri nawarin makanan enak tapi aku selalu nolak. Aku sekolah sudah gak fokus. Kelas satu semester 2 nilai rapotku hancur total. Aku kalut gak karuan. Sampai akhirnya aku kepikiran buat pindah sekolah. Waktu pembagian rapot kenaikan kelas, aku ngerengek sejadi-jadinya minta pindah sekolah di blitar. 

Ibuku bilang, ibu mau pindahin kamu kalau kamu bisa dapet rangking satu. Hello? Dari rangking 13 ke rangking 1 itu jauh banget yo. Harus berapa banyak malam yang aku habiskan untuk belajar? Harus ada berapa banyak jam main yang aku korbankan cuma buat baca buku? tapi ternyata menumbangkan 12 orang tidak sesulit yang aku bayangkan. 

Pada masa-masa itu aku percaya kalau ternyata aku itu bisa, aku gak bodoh-bodoh amat, toh hanya dengan bawa telinga setiap kali pelajaran dimulai aku sudah bisa dapetin nomor satu dalam hitungan beberapa bulan. Pada masa-masa itu aku akui aku lagi sombong-sombongnya.

Sesuai perjanjian awal, aku pun pindah sekolah. Deal! 

Setelah pindah sekolah aku mulai sadar kalau hidup gak semudah yang dibayangin. Tau kan alasan pertama aku pindah sekolah biar bisa satu kota sama dia. tapi nyatanya setelah satu kota dia malah ngilang gitu aja gak ada kabar. Sumpah aku nyesel banget!

Waktu udah akhir-akhir kelas 3 aku sempat kontak sama dia lagi. Dia keterima di UB kalo gak salah di Pertanian. Dari awal kenal sampek sekarang pun yang bikin aku kagum sama dia itu ya cuma satu; dia pinter dalam segi akademik. Plus dia berduit dan bermobil *ehkeceplosan

Curhat kangen sama mantannya udahan sampek disini aja. nanti kalo aku baper terus nangis di alun-alun kidul kan bahaya :)

Tugu Jogja

Sebelumnya Stasiun Lempuyangan


“Sudah dapat?”
Aku menggeleng.
Dia meraih camera di tanganku lalu menekan tombol playback untuk melihat hasil fotoku. “Mau aku ajarin bikin foto bulb?” tanyanya sekali lagi.
“Caranya?”
“Ayo nyebrang ke situ dulu. Kita ambil foto low angle biar Tugu-nya kelihatan gagah,” ucapnya sembari menggandeng tanganku melintasi jalanan searah.
Sesampainya di sebrang jalan, tepatnya di depan sebuah optik, dia mulai mempersiapkan tripod. “Katanya low angle, ngapain pakai tripod?” kataku heran.
“Kamu rela kalau kameramu aku taruh di atas jalan aspal kaya gini?” jawabnya ketus. “Nih, pasang di kameramu,” dia melempar monting tripod padaku.
Aku menyodorkan kameraku padanya. Dengan cekatan dia mengotak atik settingan pada camera. Awalnya dia menekan sambil memutar tombol mode pada kamera lalu mengotak atik tombol yang lain. “Sini aku ajari,” katanya.
“Kalau kamu putar ke tombol modenya pada posisi B kameramu secara otomatis bakalan jadi mode Bulb. Bedanya mode Bulb sama mode manual itu kaya gini,” dia menekan tombol shutter. “Ketika kamu pakai mode manual, kamu cuma bisa atur shutternya sampai 30sec aja. Kalau kamu pakai mode Bulb, kamu bisa tekan shutternya sampai lebih dari 30sec. Jadi mode Bulb waktunya bisa lebih lama,” tututnya panjang lebar.
Setelah mengoceh panjang lebar dia menekan tombol playback untuk melihat hasil foto bulb miliknya. “Nih, jadi..” katanya.
“Baguuus!” seruku.
“Sini coba sendiri,” dia beranjak dari tempat duduknya lalu berdiri di belakangku. “Kamu suka warna biru kan? Kalau di kameramu ini bisa di atur color temperaturnya. Semakin kecil pada lambang  kelvin maka warnanya akan blue-ish atau kebiru-biruan.”
“Biar aku coba,” kataku.
Dia mengangguk lalu berjalan menjauh dariku. Dia duduk di sisi trotoar yang lain, mencari angle lain, katanya agar karya milik dia tidak mirip dengan karyaku. Aku hanya cekikikan setelah mengetahui alasannya.
***
“Sudah dapat?” sekali lagi dia mengulang pertanyaan yang sama.
“Sudah,” jawabku.
“Aku antar pulang sekarang. Aku baru ingat kalau ada beberapa urusan kampus yang sedang menunggu untuk dijamah,” katanya genit.
“Dih, sok sibuk lagi.”
“Memang sibuk..” dia terdiam sejenak. “Kamu masih ingat kata-kataku minggu lalu?”
“Iya, aku ingat. Kamu sudah memulai proyek kedua, kamu sedang mencari dana untuk research skripsi, kamu sedang menyusun proposal skripsi, dan selasa besok kamu seminar proposal. Aku ingat.”
“Maksudku bukan yang itu..” Aku hanya menatap matanya sekejap lalu melewatinya. Dia berusaha mengimbangi langkahku, “untuk semester ini saja.. aku minta pengertiannya.”
Aku mengehentikan langkah. Tersadar bahwa semester ini adalah semester paling menentukan, semester paling berat, dan dia butuh dukungan. “Maaf..” ucapku lirih.
Tangannya menyentuh bahuku, dia berdiri tepat di belakangku sekarang, namun aku takut untuk berbalik arah. “Gak perlu minta maaf..” dia membalik tubuhku. Kini dia manatapku tajam, “Point dari percakapan minggu lalu bukan tentang kesibukanku. Tapi sesibuk apa pun aku atau sesibuk apa pun kamu, kita harus menyempatkan waktu untuk berbagi kabar, karena kesibukan kita dan status hubungan kita yang begitu rumit membuat hubungan ini rentan.”
Hening.
Dia menarik nafas dalam-dalam. “Ayo aku antar pulang,” ucapnya sembari menyeret tubuhku menyebrangi jalan.

Kehancuran yang sama (?)

Kutarik sebatang lagi..
Sudah satu jam kami duduk di dekat jendela sebuah cafe. Aku masih setia mendengarkan sumpah serapahnya meski rasa malu yang kupungut sudah terkumpul banyak. Semua mata tertuju pada kami, bukan kami, tapi dia yang berkali-kali menggebrak meja.
Ditemani secangkir kopi aku mencoba berfikir. Di depanku duduk seorang lelaki dengan baju flanel kotak-kotak biru. Wajahnya merah padam, mulutnya terus mengeja nama-nama hewan dan nafasnya terengah-engah menahan amarah.
Aku menikmati asap yang masuk dan kuhembuskan perlahan. Tak ada yang bisa aku lakukan, aku hanya diam melihatnya semakin naik darah. Sudah terlambat. Ketakutanku kini menjelma jadi nyata.
Dia terus menyalahkanku atas kebodohan yang dia ciptakan sendiri. Aku sudah lama menanti momen seperti ini, momen dimana dia duduk dihadapanku, menatapku dengan mata berkaca-kaca, dan mengumpat sejadi-jadinya. Sejujurnya aku lebih menanti momen dimana dia sadar bahwa selama ini nasihatku ada benarnya.
Seorang pramusaji mengantar secangkir kopi dan menyingkirkan gelas kosong dihadapannya. Dia mengamati kepulan asap dari kopi tersebut. Air matanya leleh, menyisakan isak yang bersembunyi dalam tangkupan tangan. Aku tak peduli. Bukankah lelaki juga boleh menangis?
Yang bisa kulakukan saat ini hanya mengusap lembut rambut hitamnya. Tanpa banyak kata aku berusaha menenangkan dia. Bagiku disaat genting seperti ini dia hanya butuh seorang pendengar, bukan sebuah komentar.
Perlahan dia mengangkat kepala, menyeka air matanya sendiri, dan menggapai jemariku. Dia ucapkan terimakasih atas semua perhatianku dan ucapkan maaf untuk keegoisannya selama ini, dan dia mulai bercerita seperti orang normal.
Dengan kehancuran yang sama kusulut rokok terakhir. Dia selalu menggunakan ‘KITA’ sebagai kata ganti aku dan kamu. Namun bicaranya mengarah pada cinta yang lain. Aku menelan pahit cerita yang keluar dari mulutnya. Berusaha kembalikan diri ke posisi ‘sahabat’nya bukan sebagai seorang wanita. Mataku tak lepas dari matanya, dia tak berhenti manatapku, dia masih menggenggam tanganku erat.

"Hentikan! Berhentilah! Jangan pura-pura simpati bila nyatanya hati ini terjemahkannya sebagai bahagia. Iya aku bahagia dia merasakan kehancuran yang sama denganku beberapa waktu lalu. Aku bahagia atas deritanya!" batinku.

Stasiun Lempuyangan

Sebelumnya KFC Depan Suka


“Terimakasih..”
“Santai aja..” Buru-buru dia turun dari motor. “Besok aku berangkat ke Brebes jam 7, tapi aku mau ajak kamu sarapan bareng, bisa?”
“Iya, bisa.”
Pasti bisa, batinku.
Dia menyalakan mesin motor sesaat setelah aku menutup pintu gerbang kos.
---
Tiba-tiba seseorang menyentuh pundakku. “Kamu baik-baik aja?” bisiknya lirih.
Kapalaku masih menunduk saat aku melihat ujung sepatu hitam kesayangannya berada dekat dengan sepatuku. “Kenapa?” ucapnya sekali lagi.
Belaian lembutnya membuatku tak kuasa menahan bulir air mata yang sudah lama mengambang dipelupuk mata. “Masa baru sampek jogja udah nangis aja?” godanya.
“Aku sudah sering bilang, kamu tipe orang yang gampang percaya sama orang lain. Kadang saking percayanya kamu sama orang lain sampai-sampai kamu tertipu; seperti sekarang.” Dia menghela nafas panjang. “Sudah. Kita masih di stasiun lempuyangan lho, di tujuan terakhir kereta api sri tanjung, dan kamu tau..” Dia berbisik padaku, “ini tempat umum.”
Seketika aku mengangkat kepala dan menyeka air mata. Dia memberiku selembar tisu untuk mengusap ingus yang meluber kesegala arah. “Nah, gini kan enak. Aku jadi ngerasa ngomong sama orang. Kamu tau gak? Aku dari tadi berasa ngobrol sama bangku di depan situ.” Tangannya menunjuk deret bangku kosong di hadapan kami.
“Muka kamu pucat. Kamu sakit? Gimana kalo kamu makan roti dulu?” dia menyodorkan roti padaku.
Aku menikmati roti pemberiannya sambil sesenggukan.
“Sudah berapa lama nunggu disini?”
“Sejam,” jawabku singkat.
“Waktu tau temenmu gak ada kamu gak berusaha ngehubungin orang lain?”
“Udah..” Aku menarik nafas panjang, mencoba merapikan nafas agar tidak sesenggukan lagi. “ Tapi, nomornya gak aktif.”
“Usahamu cuma gitu aja?” tanyanya lagi
“Jadi gini..” aku menggeser posisi duduk sampai berhadapan. “Waktu tau temanku gak ada, aku sempat panik dan duduk disini kaya orang bodho. Aku berusaha otak-atik phonebook di hape android karena hape BB-ku batrainya abis. Nama pertama yang terlintas di kepalaku itu Mas **** tapi setelah berkali-kali aku hubungi nomornya gak aktif. Aku mulai hopeless tuh. Otakku mulai konslet waktu salah satu dari empat nomer di handphoneku gak bisa dihubungi. Aku sempat kepikiran buat telfon teman yang lain. Hubunganku sama teman satu ini memang lagi gak baik tapi dalam situasi seperti ini akhirnya aku rela memurahkan diri untuk telfon dia lagi. Dan diluar dugaan, aku kira dia bakalan tutup telfon waktu aku sebutin nama, tapi ternyata dia malah nyapa dengan renyahnya. Sayang, dia lagi kumpul bareng temannya dan gak bisa jemput aku. Dengan rasa malu campur kecewa aku tutup telfon.”
Dia mengangguk. “Untungnya aku lagi di Jogja dan di rumah aja. Jadi waktu baca PM kamu, aku bisa langsung meluncur kesini.”
“Terimakasih..” aku tersenyum kecut. “Bukannya sekarang masih masa KKN? Ngapain di Jogja?”
“Aku kabur dari tempat KKN.”
“Apa iya?” rasanya jantungku mau copot saat mendengar jawabannya.
Dia tersenyum tipis, “kamu masih ingat kan kalau aku ikut proyek dosen untuk menghemat biaya skripsi?” Aku mengangguk. “Aku ke Jogja buat jenguk anakku di kandang karena sudah waktunya sampling.”
“Sampling?” kataku heran.
“Iya, sampling. Sebelum aku mulai proyeknya, aku juga ngelakuin sampling pakai darah dan urin tikus putih itu. Setelah 91 satu hari dipejanin atau diberi obat sambil diteliti, si tikus putih harus di sampling lagi. Hampir mirip kaya hari ke nol, semua tikus putihku diambil darah dan urinnya, tapi untuk hari ke 91 tikus putih sudah waktunya dibedah untuk diambil organ dalamnya supaya tau efek apa saja yang timbul pada jantung, limpa, lambung, paru-paru, hati, dan ginjalnya setelah diberi obat.” Dia menatapku lurus. “Kepo ya?” godanya.
“Lanjutin ceritanya..” aku merengek dengan wajah memelas. Dia tertawa keras-keras hingga  beberapa mata mengarah pada kami.
“Aku lanjutin nih..” Aku mengangguk. “Tidak semua tikus dibedah hari itu juga. Ada beberapa tikus yang dibiarkan hidup selama 14 hari lagi. Tujuannya untuk mengetahui efek yang ditimbulkan setelah pemberian obat dihentikan. Tamat.”
Aku menggeleng kagum, “kereeen!”
“Karena ceritanya sudah selesai bagaimana kalau kita pulang?” dia beranjak dari tempat duduk sambil menenteng barang bawaanku.
Dan aku mengikutinya dari belakang.

Bangunlah,

Bangunlah,
hidupmu tidak akan berubah.

Jangan menangis lagi,
wanita tak tau malu ini tidak pantas kau tangisi
kau lebih pantas menangis bahagia meski kau pun tau
bahagiamu bukan lagi aku.

Sayang,
Aku masih ingin mengganti namamu dengan sebutan sayang.

Terimakasih,
bukan kamu yang “terlalu baik buat aku”
tapi aku yang busuk.

Berbahagialah karena..
hari ini aku memutuskan untuk sudahi kenyataan yang kau sebut drama.
hari ini aku putuskan untuk berhenti menjadi lebih baik
karena kau anggap aku sama saja.

Kau bilang..
Kau bilang kita sudah cukup dewasa untuk menjaga cinta agar tetap segar,
kau bilang kita pasti bisa meski jarak akan menjadi koma diantara kita,
dan masih banyak “kau bilang..” lain yang yakinkan aku untuk bertahan.

Sayangnya,
kau belum bisa percayai kata-katamu sendiri.

Bahkan,
kau masih belum bisa melepas label penipu dari keningku
kau masih anggap aku murahan seperti dulu.

Jadi, mari kita akhiri.


TERAKHIR BERAKHIR

Aku : Pertanyaan buat siapa?

Dia : Menurut kamu?

Aku : Bukan buat aku. Karena kalo emang buat aku harusnya udah ditanyain langsung kan mulai tadi bbman. Nah kamu tanyanya lewat PM jadi banyak kemungkinan..

Dia : Yaudah kalo mikirnya bukan buat kamu? Menurut kmu hape aku ramai bbm? Yaudah intinya kan kamu belom tau aku.

Aku : Intinya, sebaiknya kita gak memulai sebuah percakapan yang menyangkut perasaan. Ketika kita ngomongin perasaan yang ada malah kita tengkar lagi kaya dulu. Karena kita cuma dua orang yang saling sayang dan pernah dibuat jatuh cinta berkali-kali tapi gak pernah punya nyali buat ungkapin.

Dia : Itu kamu tau.. Sekarang gmn?

Aku : Kenapa kita selalu ngebahas kaya beginian di bbm? Dan kenapa kita gak ngebahas ini waktu ketemu? Kenapa!

Dia : Aku pun gak bisa jawab dan gak pernah ada kesempatan yang pas untuk membicarakan itu

Aku : Sebenernya masalah kita cuma 3
1. Aku egois dan kamu juga
2. Kamu kaku dan aku juga
3. Aku gak suka diatur dan kamu juga

Dia : Sudah tahu 3 hal itu. Lalu?

Aku : Lalu dengan bodohnya kita bertahan pada keegoisan masing masing

Dia : Gak mau. Aku berharap jalan beriringan dan bersama

Aku : Jadi?

Dia : Jadi gimana?

Aku : Menurutmu?

Dia : Hubungannya mau tetep gini gini aja. Apa mau lanjut? Jawab

Aku : Lanjut dalam artian kaya gimana?

Dia : Ini tentang status.

Aku : Kalau kamu mau dapet status yang jelas, kamu harus nyatain perasaan kamu langsung di depan aku. Bukan lewat bbm. Gampang kan?



Seratus Hari Pertama

Kami salah,
Karena terlalu memaksakan diri untuk bersama walau perpisahan sudah jelas di depan mata. Kami sadar hubungan ini tak akan memiliki titik temu. Kecuali ada salah satu dari kami yang mengalah. Dan, 'salah satu' itu pasti bukan aku.

Aku,
Bukan seorang muslim yang sempurna. Aku berangkat kuliah menggunakan hijab dan berangkat nongkrong dengan rambut merah tergerai, tapi setidaknya sholatku sudah tertib. Bermodalkan ilmu dari Taman Baca Al-Quran aku terus berusaha mengkhatamkan 30 juz. Mengingat cara membacaku yang masih blekak-blekuk, mengkhatamkan kitab suci pun terasa sulit.

Dia,
Seorang anak pemuka agama. Dia dan keluarganya sangat memegang teguh perintah agama. Disaat laki-laki seusianya malas berangkat ibadah dengan alasan "males" "capek" "gak sempat" "sibuk" dan "gak ada yang nemenin" dia malah dengan senang hati melangkahkan kaki ke tempat ibadah.

Ah seandainya kita melangkah ke tempat yang sama..

Kami sudah coba untuk saling menjauh, berusaha temukan orang yang lebih baik yang tentunya seiman. Tapi hati..

Ketika ditanya, "kalian pacaran?"

Kami bisa saja menipu banyak orang dengan menjawab "cuma temen kok" atau "kita beda, mana bisa jalan bareng". Tapi sekali lagi..

Hati, segumpal daging yang tidak bisa ditipu!

Hari ini adalah hari ke-100 bersama dia. Memang belum layak untuk dirayakan, tapi aku sangat bersyukur telah dipertemukan dengan manusia seperti dia. Semoga tiga bulan yang kami jalani tidak sia-sia dan berakhir bahagia.

Aamiin.

KFC Depan Suka

Sebelumnya Lembah UGM


Saat menjemputku dia mengenakan jaket rei abu-abu dengan celana jins pendek dan sandal jepit ala kadarnya.

"Mau kemana?" tanyaku.

"Cari magrib" jawabnya singkat.

Kami sudah menyusuri lembah ugm sampai lampu merah sagan lalu berbelok kearah jalan kolombo dan menuntaskan jalan gejayan hanya untuk "cari magrib". Hampir satu jam kami menyusuri selokan mataram dan berkutat dikeramaian kota Jogja. Sampai akhirnya dia putuskan untuk mampir di Kaefci depan Suka.

Setelah memesan banyak makanan, kami memilih duduk di bagian luar Kaefci. Dia langsung melahap burger pesanannya. Puas menikmati burger, dia merogoh kantong dan mengeluarkan satu pak rokok plus korek. Dia menarik sebatang lalu menyalakannya.

"Baru buka puasa sudah ngerokok aja" celetukku.

"Biar gak edan" katanya.

"Aku gak pernah ngerokok tapi kok gak edan?"

"Beda" sekali lagi dia menjawab dengan kata-kata singkat.

Aku sudah menghabiskan satu piring spageti dan burger saat dia mulai berkata, "tadi aku mau ngajak kamu makan di preksu deket Gor UNY tapi rame banget. Harusnya aku jemput kamu lebih awal biar bisa makan disana"

"Ooh.. Jadi ini alasannya kenapa mulai tadi kamu diam aja"

"Gini lho.." kali ini dia mendekatkan wajahnya kearahku. " Hari rabu besok aku berangkat KKN. Aku mau makan preksu dulu sebelum berangkat ke Brebes. Aku takut kangen sama preksu.."

"..dan kamu" sambungnya.

Hampir saja air di dalam mulutku keluar lewat hidung ketika mendengar dua kata terakhirnya. Aku menarik nafas panjang agar tidak cegukan.

"Mas, kamu itu KKN cuma dua bulan. Apa iya sampek sekangen itu sama preksu?" jawabku ketus.

Aku teringat waktu terakhir kali kami makan di preksu. Dia memesan ayam geprek dengan cabe 20 sementara aku hanya berani memesan ayam geprek dengan satu cabe. "Dasar lemah!", komentarnya.

"Ah gak peka! Bukan preksunya.. tapi kamu" dengan geram dia membanting tubuhnya ke sandaran kursi.

Aku tak menjawab rayuan yang satu ini karena pikiranku sedang fokus pada ice cream yang jadi menu penutup buka puasa kali ini.

Sekedar Sampah!

Hari ini satu bulan yang lalu aku menangis  semalam suntuk padahal pagi harinya aku harus melakukan praktik produksi televisi. Job desk yang aku dapat tidak main-main, aku menjadi seorang pengarah acara. Tentu aku harus menjalankan rundown dengan benar, memberi arahan pada switcher, dan lain sebagainya.

Aku memasuki ruang studio dengan mata bengkak. Beberapa orang menanyaiku, "Rahmi kenapa?" "Baru diputusin atau Homesick?" sementara aku hanya bisa menjawab dengan senyum kecut.

Menjelang siang hari bengkak dimataku mulai berkurang. Kesibukanku untuk mengkoordinasi all crew dan install alat membuat membuat proses penyembuhan luka ini semakin cepat.

Ah, tiba-tiba sudah satu bulan..

Selama satu bulan ini aku merasa seperti buronan. Seolah aku yang paling salah, aku yang paling jalang, dan aku yang paling hina. Sedangkan kamu? Hahaha! Laki-laki macam apa kamu ini? Bukankah kamu yang selalu mengemis perhatian dariku, kenapa setelah masalah ini merebak kamu seolah tutup mata? Seolah berkata, "aku tidak tau apa-apa, dia yang menggodaku".

Selama satu bulan ini aku dengan susah payah menghindar. Beberapa hari setelah kejadian itu kamu masih terus mengajakku bertemu dengan alibi ingin selesaikan masalah ini. Bahkan sampai satu minggu berselang pun kamu masih berusaha mengajakku bertemu dengan dalih wanitamu butuh bukti. Bukti macam apa lagi? Bukti bahwa aku tidak lagi menjalin hubungan denganmu? Hahaha! Padahal kita tidak pernah punya hubungan apapun.

Selama satu bulan ini aku berusaha mati-matian untuk keluar dari lingkup organisasimu. Tapi sekali lagi, sahabatmu dengan manisnya menarikku masuk. Meminta bantuan ini itu agar aku tidak merasa tersisih. Memasukkan aku kedalam kepanitiaan HUT agar aku tidak merasa terbuang. Mengajakku ngamen bersama di lampu merah Gejayan agar aku tidak merasa dikucilkan.

Lucu!

Hari sabtu dua minggu lalu sahabatmu menyuruhku datang ke Nol KM untuk menjaga stand. Sahabatmu bilang tidak ada lagi yang bisa dimintai tolong selain aku. Karena semua orang sedang sibuk mendampingi para mahasiswa baru yang akan mengikuti tes keesokan harinya. Dengan lugu, polos, dan tololnya aku datang kesana. Dari kejauhan aku melihat sahabatmu mengitari monumen 1 Maret untuk mencariku. Aku melambaikan tangan, dia membalasnya. Dia mengisyaratkan padaku untuk masuk lewat pintu gerbang dekat benteng. Saat aku sedang asik bercerita ngalor ngidul dengan sahabatmu, tiba-tiba kamu muncul dengan baju panitia. Aku mengumpat dalam hati. Kenapa dia tidak bilang kalau kamu ada disini sebagai panitia, batinku. Aku tak henti-hentinya mengucap sumpah serapah untuk sahabatmu yang dengan rapinya menjebakku.

Pada malam perayaan HUT organisasi aku mengenakan baju yang sama denganmu. Aku dan kamu sama-sama menjadi panitia. Kamu koordinator konsumsi dan aku divisi dokumentasi. Rasanya masih trauma dengan pertemuan sebelumnya, tapi kali ini pertemuan tak bisa lagi dielakkan. Ketika aku menyantap nasi kotak yang sahabatmu dapat entah dari mana, tiba-tiba kamu muncul lagi. Mengacau percakapan sengit kami dan yang lebih parah kehadiranmu membuat nafsu makanku hilang.

Selama satu bulan ini aku tak bisa lupa dengan caramu menimpali caci maki wanitamu. Seperti aku yang paling salah sementara kamu tidak. Seperti aku yang menggoda sementara kamu hanya jadi pihak yang tergoda. Aku rasa kamu tidak cukup bodoh untuk memahami kata-kata ini, "cewek gak akan baper kalo cowoknya gak caper".

Selama satu bulan ini aku belajar untuk memahami bahwa laki-laki yang dulu aku anggap spesial ternyata tidak lebih dari sekedar sampah!

Lembah UGM



Dia masih mengenakan jaket hitam kesayangannya ditambah dengan celana jins panjang dan sepatu nike hitam berjalan tepat di depanku. Menggandeng tanganku menembus kerumunan orang yang mengantri di depan stand makan.

"Bentar lagi magrib. Kamu mau sholat dulu atau makan dulu?"

"Aku mau beli es pisang ijo aja, terus sholat dulu" jawabku.

Dia mengangguk sambil melanjutkan langkahnya menuju sebuah stand es pisang ijo. Tubuhnya yang tinggi menjulang membuatku merasa kecil. Sesekali dia menoleh kebelakang untuk memastikan aku tidak hilang dalam riuhnya pasar sore di lembah UGM.

Suara adzan magrib telah berkumandang, membuat jalanan lebih lega karena semua orang menepi duduk di trotoar sambil menyantap makanan yang dibelinya dari stand-stand makanan.

Aku melihat sekeliling, setiap sudut menyuguhkan pemandangan yang sama. Ini tahun pertama aku puasa di Jogja. Semuanya masih terasa asing. Kalau dia tidak memaksaku untuk ikut aku juga tidak akan tau kalau selama bulan ramadhan lokasi yang dulunya menjadi tempat Sunday Morning disulap menjadi pasar sore.

Pasar sore di Lembah UGM hampir sama seperti "Sunday Morning". Selain lokasinya yang sama, efek macet yang ditimbulkan juga sama persis. Hanya ada satu perbedaannya; jenis barang yang dijajakan.

Kalau Sunday Morning barang yang dijajakan cukup bervariasi, dari baju, sepatu, kerudung, tas, seprai, selimut, dan kelambu semuanya ada. Lengkap. Tapi pedagang di pasar sore Lembah UGM hanya menjajakan makanan. Walau begitu makanan yang dijajakan cukup beragam, mulai dari es pisang ijo, batagor, es buah, kerak telor, sosis bakar, dan lain sebagainya.

Cup yang tadinya berisi es pisang ijo kini kosong. Setelah membayarkan selembar uang 10ribu dan 2 lembar uang 2ribu, kami melanjutkan perjalanan menuju masjid kampus untuk menunaikan ibadah sholat magrib.

Sekilas Tentang Kamu

Sekilas tentang kamu, seorang laki-laki yang sedang berusaha mati-matian menghilangkan namaku dari dalam ingatan.

Ini kali kedua, tapi aku sama sekali tak pernah bertemu denganmu. Sampai kapan kamu menghindar dari aku?

Beberapa hari lalu kamu bicara tentang "Jadi diri sendiri". Apa kamu sudah benar-benar jadi diri sendiri? Apa kamu sudah cukup jujur pada dirimu sendiri? Ayolah, kita hanya saling jatuh cinta bukan berniat untuk saling bunuh.

Hari Rabu lalu kamu mengenakan baju praktik dengan celana coklat plus sandal perahu kesayanganmu itu. Kamu berjalan melewati aku yang duduk di bangku bawah pohon mangga dekat tempat parkir. Apa ekor matamu tak menangkap siluetku yang terus menerus mengamatimu? Sampai kapan kamu harus pura-pura buta?

Jumat lalu aku berulang tahun. Kamu tau.. Dihari itu aku hanya menunggu dua kata dari kamu. Iya, hanya dari kamu. Sementara kamu? Hahaha!

Jangankan diberi kado, diberi sedikit waktu untuk bertemu saja aku sudah merasa bahagia. Sayangnya kamu lebih memilih menyibukkan diri dengan serentetan aktivitas yang entah sungguhan atau hanya dibuat-buat.

Sehari berikutnya, aku sedang di garasi Gedung C saat kamu berada di Gedung yang sama pula. Aku hanya ingin membelikanmu satu cup ice cream karena aku belum cukup egois untuk menikmati bahagiaku sendiri, tapi sekali lagi kamu menghindar. Sebenarnya isi otakmu itu apa?

Sekilas tentang kamu, laki-laki yang terlalu munafik untuk berkata "Aku sayang kamu".

Saranku kamu jangan terlalu memaksakan diri untuk menyingkirkan aku dari hidupmu karena hati kecilmu masih memilih aku.

Kebahagiaan Malam Ini

Seseorang dengan jaket merah marun sedang duduk di depan salon. Wajahnya tak asing lagi. Dia menyanding sebuah kotak kecil yang dibungkus kantong plastik berwarna putih.

"Hai.." Sapaku hangat. "Sudah lama nunggu disini? Maaf ya, tadi ada workshop di kampus."

"Iya gapapa, santai aja. Aku baru sampai juga kok."

Melihat banyaknya puntung rokok yang tercecer di sekitar tempat duduknya tadi membuatku tau kalau dia sedang berbohong. "Jangan bohong. Kamu sudah lama nunggu kan?"

Dia hanya tersenyum tipis. "Ohya.. aku bawain ini buat kamu. Tapi tunggu, aku hidupin dulu lilinnya."

Setelah semuanya siap dia menyodorkan kue tart dengan beberapa lilin diatasnya, "Jangan lupa make a wish dulu". Lagi-lagi senyum simpulnya membuat hatiku rontok.

"Waaaa! Terimakasih!"

Buru-buru aku merapal doa lalu menarik nafas panjang dan meniup lilin. Jari telunjukknya mencolek krim yang ada di atas lalu mengoleskannya di hidungku.

"Maaf cuma bisa beliin kue tart kaya gini di toko roti sebelah, gak bisa beliin kado juga"

Aku menatapnya lurus. "Ini sudah lebih dari cukup. Aku tau akhir-akhir ini kamu sibuk. Kamu sibuk dengan kuliah, praktikum, proyek, dan sebentar lagi kamu KKN. Ketika kamu datang kesini dan sisihkan sedikit waktumu hanya untuk ucapkan Happy Birthday rasanya sudah lebih dari cukup. Karena aku tau waktumu sangat berharga, tidak bisa diganti dengan uang, tapi demi aku.."

Belum sempat aku menyelesaikn kalimat terakhir tiba-tiba dia maju dan memelukku. Waktu berhenti berputar. Mendadak suara bising kendaraan pun tak terdengar. Aku hanya bisa mendengar degup jantungnya. "Terimakasih buat pengertiannya. Terimakasih juga karena sudah mau dipeluk."

Aku segera menyingkirkan lengannya. "Dasar bodoh!" batinku. Ayo bangun! Ini bukan drama korea yang bisa melakukan adegan mesra di sembarang tempat. Aku sedikit mendongak karena penasaran dengan ekspresi wajahnya. Tawaku hampir saja meledak saat mendapati wajahnya yang merah merona.

Lama kami duduk di depan salon sambil menonton kendaraan lalu-lalang. Sekedar informasi, kebetulan aku ngekos disekitar jalan kaliurang. Tepatnya di belakang sebuah salon. Peraturan ditempat kosku sangat ketat, tidak ada laki-laki yang boleh masuk ke dalam kos. Jadi ketika ada teman laki-laki bertandang ke kos aku biasa menemuinya di depan salon alias di pinggir jalan.

"Udah jam 10 nih. Aku mau pamit dulu ya. Lagian besok pagi aku ada acara bersih-bersih maskam," dia berkata dengan sangat hati-hati. Seolah-olah aku adalah wanita yang sangat mudah tersingguh.

"Ooh.. Iya iya. Acara khusus untuk para mahasiswa yang hendak mengikuti KKN kan?"

"Kok kamu tau?" Dia selalu menunjukkan ekspresi heran saat aku tiba-tiba melanjutkan ceritanya.

"Tau dong.. Udah sana kamu pulang terus tidur. Aku tau kamu seharian ini ribet sama proyek. Kamu juga belum makan dari pagi. Dan sepertinya kamu juga belum mandi dari pagi."

Kali ini dia tertawa keras, "kamu paling tau ya."

 Sebelum pulang dia mengelus kepalaku sambil berkata, "jadi anak yang baik ya. Sholatnya jangan bolong-bolong lagi. Konsisten sama kerudungnya. Rajin belajar. Fokus kuliah juga."

Aku mengangguk mantap. Aku sengaja berdiri di depan salon sampai dia menyebrang jalan dan menunggu sampai bayangannya hilang berbaur dengan pengendara motor yang lain.

Benang Kusut Dalam Otakku

"Kamu selalu sms aku. Aku selalu bales sms kamu. tapi, kenapa kamu gak pernah bales smsku lagi?"

Lama aku berpikir harus membalas smsmu dengan kata-kata macam apa. Akhirnya aku hanya membalas, "Soalnya aku gak tau harus bales apa".

Sebenarnya aku punya banyak pertanyaan untuk kamu. Pertanyaan tentang kamu dan masalah yang entah sudah berlalu atau masih harus berlanjut. Saking banyaknya pertanyaan itu sampai-sampai aku bingung harus memulainya dari mana.

Kamu bilang, "aku males kalo udah ketemu tapi kamu gak mau ngomong. Wetmeruwet."

Aku sudah siapkan daftar panjang pertanyaan sebelum menemuimu, tapi lagi-lagi tatapan matamu selalu mengoyak hati dan membuat susunan kataku menjadi benang kusut. Aku tak tau harus memintalnya dengan cara apa jika benangnya saja sudah kusut.

Kamu bilang, "aku kan sudah bilang waktu itu, kamu ngomong aja. Aku denger, aku juga tanya-tanya sama kamu. Tapi kamu malah balik tanya"

Hei, aku tau betul, waktu itu kamu masih setengah sadar. Baru tidur magrib dan harus buru-buru bangun sekitar jam 8 karena ada aku yang hampir setengah jam berdiri di depan pintu kamarmu. Kamu suruh aku masuk kamarmu yang gelap, menghidupkan lampu, lalu aku hanya bisa duduk sambil melihatmu bergulung-gulung malas di atas kasur. Jadi, bagaimana bisa aku memulai obrolan serius dengan orang setengah sadar seperti kamu waktu itu?

Aku juga masih sangat ingat, waktu itu kamu memaksa aku untuk jelaskan isi pesan singkat yang aku kirim di malam sebelum.  Belum sempat aku jelaskan apapun ketika perbincangan kita mendadak panas dan aku geram dengan percakapan kita yang masih aku ingat sampai sekarang.

Kamu : percuma kamu kesini kalo gak mau ngomong. Kamu pulang gak dapet apa-apa.

Aku : percuma juga aku ngomong panjang lebar. Toh akhirnya aku juga gak bisa dapetin kamu kan?

Kamu : ya gak bisalah!

Percakapan itu membuat hatiku dongkol. Aku beranjak dari tempat duduk dan meninggalkan kamu yang masih saja gulung-gulung diatas kasur. Mau tidak mau aku alihkan kekesalanku dengan cara ngobrol di ruang tamu sambil menonton tv  bersama salah seorang teman kosmu. Beberapa saat kemudian kamu melintasi ruang tamu, melewati aku begitu saja, dan berlalu meninggalkan tempat kos. Entah kamu pergi kemana, mungkin membeli makan. Tapi caramu melewatiku membuat aku semakin geram, seolah kamu lupa dengan nada tinggi yang sempat keluar 5 menit lalu.

Kali ini aku ingin jelaskan maksud smsku malam itu. Aku bilang, "aku benar-benar kehilangan kamu". Dulunya aku kira melepaskanmu pergi, membiarkanmu menatap sinis ketika bertemu, dan menjaga jarak denganmu akan sama mudahnya dengan yang aku lakukan pada "mantan calon pacar"ku. Tapi aku salah. Membiarkan kamu larut dalam kebencian atas kesalahanku yang perlahan masuk dalam hubunganmu karena merasa dibukakan pintu oleh sang tuan rumah ternyata malah membuatku semakin tersiksa.

Terlebih ketika kamu bilang, "kamu sudah tidak spesial lagi". Seolah ada belati yang tiba-tiba menusuk tepat di jantungku. Sesak. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa cerita ini sudah hampir mendekati ending? Dan masih banyak lagi pertanyaan yang berkecamuk dalam benakku saat itu.

Aku benar-benar kehilangan kamu yang ternyata sudah aku anggap sebagai hujannya kemarau. Aku menganggapku lebih dari sekedar orang "spesial". Tenyata rasa sayangku sama besarnya seperti rasa sayangku kepada kakak laki-lakiku dan sahabatmu. Aku sudah menanggap kamu dan sahabatmu seperti kakakku. Ketika kamu putuskan untuk menjauh, aku benar-benar merasa sendiri. Aku kehilangan penunjuk arah sekaligus pohon rindang untuk berteduh dari teriknya matahari.

Kamu bilang, "males sama kamu". Aku memang orang yang "malesi". Aku bukan tipe orang asik, mudah berjabat tangan dengan orang, bertukar nomor handphone lalu berteman akrab seperti wanitalain di luar sana. Aku sang wanita tak tau malu ini selalu penasaran dengan akhir ceritanya, kapan kamu ada waktu? Aku ingin mendengarkan ceritanya dengan seksama. Kemudian membuat kesimpulanku sendiri.

Aku rindu..

Pagi tadi aku sampai di Jogja Istimewa..
Dengan malasnya aku membuka pintu kamar kos, menyingkirkan barang-barang yang berserakan diatas kasur dan merebahkan diri. Ah, rasanya baru kemarin aku sampai di rumah tapi hari ini aku harus kembali ke dunia nyata. Tak terasa sudah dua semester aku hidup di Sleman. Tak banyak yang berubah, aku masih bebal seperti dulu..

Tahun lalu usiaku masih belasan. Terlalu kekanak-kanakan untuk memahami niat baik ibu. Terlalu angkuh untuk menyerah dan kuliah di Jember. Alasan aku menolak untuk kuliah di Jember hanya satu; jadi anak dosen itu tidak enak dan serba salah. Iya, serba salah.. ketika anak dosen pintar, disayang banyak dosen, dan jadi salah satu mahasiswa yang di perhitungkan para haters pasti akan berpendapat "iyalah pinter, kan anak dosen". Tapi, ketika anak dosen bodho, jarang masuk kuliah, dan jadi mahasiswa kasta bawah para haters juga akan berpendapat "anak dosen kok bodho".

Selain itu aku juga sudah bosan hidup di Jember. Bukannya tidak cinta dengan Jember, tapi aku ingin merasa bebas. Waktu itu aku baru saja menanggalkan seragam putih abu-abu dan tak bisa dipungkiri, selalu ada fase dimana seorang remaja ingin hidup bebas, jauh dari orang tua, dan tidak ingin dikekang dengan nasihat berisi perintah ini itu. Walau ibu bukan tipe seorang ditaktor tapi ingin hidup bebas dan bisa pulang larut sempat jadi salah satu alasan aku kukuh ingin kuliah di Jogja.

Aku bukan seorang anak pintar. Hanya seorang anak pemalas yang alergi dengan buku-buku pelajaran. Masih seperti anak-anak pada umumnya, aku selalu remidi dibeberapa mata pelajaran. Sampai suatu hari aku bilang, "ibu.. tolong carikan tempat kuliah yang gak usah mikir". Akhirnya ibu dapatkan info tentang sebuah Sekolah Tinggi yang baru saja berstatus negeri. Iya, sekolah tinggi itu letaknya di Jalan Magelang Km 6,5 Sleman.

Di sini aku bukan lagi anak dosen. Aku hanya mahasiswa biasa yang berusaha pertahankan IP diatas 3,5. Memang bukan hal mudah tapi aku sadar bahwa ada wanita berusia 49 tahun yang menungguku pulang dengan gelar. Dulu, ketika ada tugas yang susah untuk di kerjakan aku selalu bertanya pada ibu. Namun sekarang berbeda, ibu dosen pertanian dan aku berkuliah di teknik broadcasting. Habislah! Aku harus kerjakan semuanya sendiri.

Bicara tentang Jember dan kebebasan.. aku selalu rindu dengan alun-alun Jember, beberapa cafe tempat biasa aku habiskan malam, dan aku selalu rindu dengan rumah. Ketika jauh dari ibu, aku bisa pulang semalam apa pun yang aku mau. Namun disisi lain aku ingin tetap di rumah. Aku ingin ibu menelfonku setiap kali pulang larut. Aku juga rindu dengan marahnya ibu ketika aku telat makan. Disini anakmu jarang sarapan dan jarang makan malam karena malas keluar untuk beli makan.


Aku Menyerah!

Lagi-lagi aku mengakhiri sebuah hubungan yang baru aku mulai awal semester kemarin. Dalam hati aku menghitung jumlah hubungan yang berakhir hanya karena kerasnya sikapku. Aku mengenalnya dengan tidak sengaja. Bertabrakan lalu saling tukar nomor handphone? Tidak, ceritanya tidak sedramatis itu, tapi dalam gelap malam aku selalu berhayal bisa memulai hubungan bahagia bersama dia yang tak sempurna.

Pesan singkat dengan bumbu perhatian sering dia kirim hingga membuat hatiku luluh. Wanita mana yang tidak kesengsem dengan sejuta kata-kata manis yang selalu dia umbar tiap malam. Demi dia yang masih aku agungkan sampai di akhir cerita ini, aku rela tidur larut malam untuk berbalas pesan singkat dengannya. Pesan singkatnya aku balas dengan penuh antusisas, setiap kali handphoneku bergetar aku berharap itu balasan pesan singkatnya.

Dari awal berkenalan hingga hari ini namanya masih menempati tab paling atas dalam daftar chat. Sikap dinginku pun akhirnya leleh bersama perhatiannya. Aku mulai tertarik dengan dia yang aku kira punya pemikiran dewasa. Harapan demi harapan mulai bermunculan. Setiap malam aku merangkai mimpi indah bersama dia. Aku tak mau mimpiku dijamah oleh laki-laki lain selain dia. Namun semua mimpi yang aku rangkai itu tak lekas menjadi nyata.


Hingga suatu malam dia membuka pembicaraan serius, bicara tentang perasaan dan arah hubungan kami selama ini. Dia mengungkapkan semua rasanya. Aku pun juga. Dia berharap aku menerima tawaran sebagai wanita nomor satu di hatinya. Sayang pengakuan yang dia buat malam itu hanya lewat pesan singkat. Walau pun memiliki definisi setia yang sama tapi aku tetap tak mau menerima tawarannya jika dia tak katakan langsung di depan mataku.

Aku hanya ingin melihat matanya, melihat betapa besar keseriusannya dan seberapa keberaniannya dalam mengungkapkan perasaan di depan wanita. Namun di luar dugaan, dia hanya menjawab "aku butuh waktu yang pas". Spontan hati kecilku mengumpat. Apa waktu yang selama ini aku berikan tak cukup untuk merangkai kata cinta?

Sejak saat itu aku terus berjuang, berharap waktu yang dia maksud segera tiba. Nyatanya, setelah tiga bulan kami bersama, waktu yang dia maksud belum juga datang. Aku yang telah mati-matian bertahan, berusaha mengubah tabiatku, dan jadi yang dia mau pun mendadak lelah. Semua terasa tidak imbang. Dia acuhkan aku dengan segala kesibukannya dan dia tetap memaksa aku untuk pahami maunya. Dia tak pernah mengerti aku dan suka menuntut ini itu. Menyakitkan!

Aku juga wanita. Aku ingin diperjuangkan seperti wanita-wanitanya yang dulu. Aku juga ingin di rayu saat merajuk, tapi nada tinggiku selalu dibalas dengan nada yang lebih tinggi lagi. Dalam keadaan sekacau itu dia masih sempat memojokkan aku dengan rangkaian kalimat panjang lebar yang sejujurnya tak pernah aku tau arahnya . Dia selalu memposisikan aku sebagai dukun yang bisa menerka-nerka maunya tanpa dia harus bicara. Dia selalu memberiku sandi-sandi morse yang harus segera aku terjemahkan. Dia selalu memberi kode-kode aneh dan berharap aku peka. Jadi, dalam cerita ini siapa yang berperan jadi wanita?

Ayolah aku ini wanita, apa aku salah jika menunggu dia menyapaku terlebih dahulu ketika berpapasan dengan dia di kampus? Karena selama ini dia selalu melewatiku, perlakukan aku seperti orang yang baru dia kenal kemarin sore. Seolah kami tak ada rasa sedikitpun. Bahkan terkadang aku merasa bahwa dia tak menganggapku ada.

Pujian-pujian yang sering dia sematkan kini berubah jadi cemoohan. Kata sayang yang sering dia ucap pun berubah jadi hinaan. Kami bertengkar hebat kemarin malam. Mengosongkan emosi yang selama ini terpendam..

Dia bilang otakku telah di racuni kata-kata busuk dari para sahabatku. Dia bilang telingaku terlalu lebar sehingga banyak mendengar kata orang. Aku sudah jelaskan berkali-kali bahwa aku tak pernah dengar kata orang, tapi lagi-lagi dia memojokkan aku dan bersembunyi dibalik kata "konsekuensi". Konsekuensi apa lagi yang dia maksud? Sudah terlalu banyak konsekuensi yang aku pikul demi bersama dia. Mungkin dia tidak sadar bahwa  aku selalu tutup mata dengan semua kekurangannya. Rela korbankan yang aku punya demi lengkapi ketidaksempurnaannya. Namun semua pengorbananku sia-sia. Otak dungunya selalu menganggap aku lebih memihak pada mereka yang tidak suka melihat kami bersama.

Iya, aku wanita keras kepala. Aku tak bisa pasrah dengan cara dia menindasku. Hanya karena aku menyayanginya bukan berarti dia bisa menganggap aku sapi dengan hidung tercocok. Aku tak bisa diperlakukan seperti boneka! Aku lelah. Aku ingin menjalani hubungan normal seperti yang lainnya. Aku jadi wanita dan dia jadi pria. Aku ingin dia yang mengantar aku kampus, membelikan aku makan saat sakit, rela berhujan-hujan hanya untuk bertemu aku, dan mau luangkan waktunya untuk membantuku kerjakan tugas kuliah. Sayangnya peran kita terbalik.. aku yang lakukan semua kebodohan itu demi dia!

Aku memang tak bisa jadi yang dia mau..
Aku ingin sampaikan banyak terimakasih untuk dia, karena aku cukup bahagia telah mengenal dia yang rajin sholat, tak lupa dengan sholat jum'at, dan rajin puasa sunah. Tak banyak yang bisa aku lakukan untuk pertahankan dia. Aku sudah lelah berjuang sendiri. Aku menyerah.


Spesial Pake Telor Karet Dua Bungkusnya Disobek

Sekarang pukul 11 malam, aku baru saja memasuk kamar kos dengan sambutan dari setumpuk boneka yang memaksaku untuk menjamahnya. Sayangnya aku masih enggan untuk menghampirinya. Banyak tugas yang menunggu, batinku. Aku berganti pakaian dan ke kamar mandin untuk gosok gigi, cuci muka, dan berwudhu. Setelah menyelesaikan empat rakaatku, tenaga yang sedari pagi terus menggebu akhirnya tumbang ditebas rasa kantuk. Aku menyerah, aku merebahkan diri di atas ranjang. Berusaha tutup mata.. tapi tiba-tiba kenangan bersamamu berlalu lalang dalam pikiranku.

Apa aku benar-benar merindukan kamu?

Dua jam lalu aku mendatangi tempat kosmu, bukan untuk bertemu kamu lagi, tapi untuk bertemu orang lain. Dengan penuh rasa canggung aku menyusuri lorong dan melewati beberapa kamar kos. Kamar di ujung lorong ini adalah kamarmu, kamar yang biasa aku masuki dan berbagi banyak hal dengan kamu. Segerombolan lelaki tampan sedang asik berbincang didepan sebuah kamar dengan pintu tertutup dengan lampu padam. Aku tau kamu ada di dalam kamar berukuran 3x3 itu. Kamu suka mematikan lampu saat tidur. Aku tau.. kamu suka tidur pagi, bangun pagi, dan tidur dari siang hingga malam hari. Jam tidurmu terbalik. Aku tau!

Aku habiskan banyak waktu untuk berbincang dengan sesorang yang namanya pernah kamu pinjam. Diam-diam aku mencuri pandang ke arah pintu kamarmu. Berharap kamu keluar kamar dalam keadaan acak-acakan dan melihat aku duduk manis di depan kamarmu. Dalam setiap kedatangnku ke tempat kosmu, aku selalu berharap bisa bertemu dengan kamu walau sebenernya tujuanku kesana bukanlah bertemu kamu. Aku rasa caci maki wanitamu tak bisa habiskan nyaliku untuk terus memburumu. Aku kira aku masih cukup berani untuk merangsek masuk dalam hidupmu lagi. Bukan sebagai pengacau, tapi sebagai penyejukmu. Ingatkah kamu.. beberapa bulan terakhir aku adalah wanita yang menjadi nyala dalam baramu. Namun seiring padamnya baramu, aku tak lagi kamu anggap ada.

Sampai pukul 9 malam pun kamu tak kunjung terjaga dari mimpi indah. Mau tak mau aku bangkit dari tempat duduk, bergegas menuju IDM bersama salah seorang teman kosmu. Aku tidak sedang berkencan atau berusaha gantikan posisimu dengan orang lain. Walau kamu sudah tak menganggapku seseorang yang spesial pakai telor karet dua dan bungkusnya disobek, tapi kamu masih menyandang gelar yang sama seperti dulu. Ah.. aku masih kerap membaca sms terakhir dari kamu Berharap kalimat terakhir itu tak ada. Berharap semua sama dan baik-baik saja. tapi harapan tak selamanya bisa jadi nyata.. semua berubah. Kamu bilang aku tak spesial lagi, sementara dalam diam aku masih menganggap kamu sebagai orang spesial. Apa harus semenyakitkan ini? Entah bodoh atau dungu.. setelah melewati hari yang cukup menyakitkan dan sempat tersentak akibat kabar putusnya kamu dan wanitamu dengan tololnya aku berharap bisa bertemu dengan kamu lagi walau kamu sudah memaksa aku untuk menjauhimu. Dengan polosnya pula aku tetap mengagungkan kamu, memberimu posisi sebagai satu-satunya orang spesial.

Lama aku menunggu temanmu menginstall software yang akan digunakan untuk mengerjakan tugasku. Dalam diam aku berharap semoga kamu terjaga dan buru-buru datangi kami. Aku tau ini tempat favoritmu untuk habiskan malam. Temanmu bilang, kemarin malam kamu habiskan malam bersamanya di sini. Bukan sebuah kesengajaan, aku butuh earphone untuk menyelesaikan editing audio dan temanmu bilang kalau kamu sudah bangun tidur dengan suka hati kamu akan antarkan earphone itu untuk kami. Buru-buru dia mengetik pesan singkat untuk kamu, berharap kamu bangun, membalas pesan itu, datang kemari, dan bertemu aku. Ah, skenario yang muluk-muluk karena nyatanya pesan singkat yang dia kirim pun tak terkirim. Sungguh.. aku sudah benar-benar kehilangan kamu.


Apa kamu sempat menjadi milikku? Jika tidak, kenapa aku merasa kehilangan kamu ketika kamu putuskan untuk menyenangkan hati wanitamu dan tinggalkan aku? Apa semuanya telah berakhir? Aku ingin melihatmu lagi, tapi aku takut hal itu mengingatkan kamu pada kekhilafan kita waktu itu. Kamu bilang aku harus jauhi kamu tapi aku tak boleh jauhi teman-temanmu, lalu apa yang harus aku lakukan ketika aku bertandang ke kosmu, bertemu kamu, dan mata kita saling bertemu? Apa aku harus bertindak acuh atau aku harus menyapamu dengan sebutan giant seperti dulu? Ah, aku takut.. aku takut kehilangan akal ketika bertemu dengamu lagi. Aku takut.

Jika Aku Jatuh Cinta Lagi

Jika aku jatuh cinta lagi, aku mau orang itu dia. Seorang remaja asal Magelang yang sering aku temui di mushola kampus selepas sholat duhur. Seorang yang aktif di Badan Eksekutif Mahasiswa. Seorang yang mendampingi mentri komunikasi saat sang mentri bertandang ke kampus beberapa minggu lalu. Waktu itu aku duduk diantara sekian banyak mahasiswa lain, tapi enatah kenapa mata kami masih bisa  bertemu. Cukup lama kami bertatap mata,  tapi masih seperti biasa, tatap mata itu seolah memberi sebuah isyarat yang belum bisa aku tebak maknanya.
Aku ingin orang itu dia.. dia yang duduk disampingku saat sakit asma kambuh disela-sela aktifitas Ospek. Sudah hampir setahun lamanya, tapi aku selalu ingin mendapat moment yang pas untuk memulai percakapan dengan dia. Ingin aku menyapanya, bertukar pin bbm, dan mulai membangun komunikasi yang intensif dengan dia. Sayangnya aku seorang wanita yang mementingkan gengsi ketimbang rasa kagumku padanya.

Dari Dunia Untuk Yang Di Surga

Kalau kamu izinkan aku untuk tetep disini, aku tak akan pergi.
Percuma aku pergi. Aku sudah lama kehilangan arah dan tujuan. Hingga bayangmu memudar pun aku masih belum bisa temukan arah dan tujuan yang baru. Sejak awal perkenalan, aku sudah begitu mantap untuk memusatkan hati dan pikiran hanya pada kamu. Tak akan pernah berpaling dari wajah tampanmu yang selalu mengkilat akibat lama tersengat cahaya matahari. Sejak bertemu denganmu, aku bisa tutup mata dengan semua kekuranganmu. Kamu yang mengobati lukaku, merubah tabiatku, dan izinkan aku melepas lelah di bahumu. Bukan, kamu memang bukan seorang malaikat tapi caramu memperlakukan aku yang hina ini membuatku begitu mengagungkanmu.
“Siapa yang sedang kamu tunggu?”
Apa aku harus menyebut namamu di depan mereka? Orang nomor satu yang pantas tau akan segala hal yang terjadi di hidupku. Sementara aku adalah orang yang tak boleh banyak tau tentang kehidupanmu. Memang tak adil tapi aku menyukai caramu menanggapi semua ceritaku. Entah mengapa aku tak banyak protes jika pertanyaan seputar kehidupanmu tak berbuah jawaban. Lambat laun kita mengerti kelemahan satu sama lain dan akhir-akhir ini kamu mulai jatuh cinta pada sisi gelapku. Seolah mengampuni semua dosaku dimasa lalu, kamu mengajakku membuka lembaran baru.
Kita sering bertengkar hebat, membuatku menangis sesenggukan sampai kamu mengutuk diri atas semua perbuatanmu. Kamu memilih untuk diam ketika emosi mulai meracuni akal sehatku. Sementara aku selalu balik memaki ketika sumpah serapah mulai keluar dari mulutmu. Sejujurnya banyak perbedaan dari diri kita. Aku hanya anak dari keluarga yang terbiasa makan sehari sekali dan kamu berasal dari keluarga terpandang dengan latar belakang pendidikan tinggi. Namun semua perbedaan itu membuat kita semakin utuh.
Diam-diam kita juga memiliki kesamaan. Kita sering bermain PS bersama hingga larut malam. Kamu bernyanyi dan aku memetik senar gitar. Aku gemar menulis dan kamu gemar membaca. Kesamaan yang terkesan dipaksakan itu membuat kita bertahan lama. Mungkin sudah dua belas bulan kita jalan bersama tanpa seorang pun yang tau bahwa kita saling mencinta. Banyak orang yang bilang, kalau cinta tak pernah diucapkan lama kelamaan akan hilang. Kita? Kita tak pernah terikat dalam suatu hubungan yang jelas namun keheningan malam selalu mengingatkan kita untuk saling mengucapkan “cinta kamu” sebelum terlelap dan itu semua membuat kita lebih dari bahagia.

Setelah banyak hal yang kita lewati, setelah banyak waktu yang kita habiskan bersama, dan setelah sekian banyak ujian yang kita taklukkan bersama.. bolehkah aku meminta pada Tuhan untuk mengakhiri drama dan kembalikan kamu kedunia lagi?

Dua Minggu Lalu

Dua minggu lalu aku bertemu dengan wanitamu. Dia menggunakan kerudung merah dengan jas almamaternya. Iya, waktu itu aku memang tak sengaja bertemu dengan dia di sebuah sekolah tempat sosialisasi. Pagi itu aku dan beberapa teman lain memang sengaja datang terlambat ke tempat sosialisasi karena tau kalau universitas wanitamu mendapat jam lebih awal untuk presentasi di hadapan puluhan murid SMK tersebut. Aku baru turun dari motor dan menunggu teman memarkir motor di dekat masjid sekolah. Entah sekenario macam apa yang Tuhan rancang untuk cerita ini, saat aku menoleh kearah pintu masuk aula, aku melihat seorang wanita berdiri tepat di depan pintu. Aku menyipitkan mata, dengan minus yang mengurangi jarak pandang aku berusaha meyakinkan diri bahwa wanita yang berdiri jauh disana bukanlah wanitamu, tapi ternyata..
Wanita yang selalu kamu puji itu tampak lebih cantik ketimbang di foto yang pernah kamu tunjukkan padaku. Dengan jarak sejauh ini aku berusaha mengamati gerak gerik wanitamu yang sedang sibuk mondar mandir di depan pintu aula dengan handphone di tangannya. Sesekali dia melihat kearahku dengan santai. Ah, seandainya dia tau apa yang pernah kita lakukan. Apa dia masih bisa memandangku dengan wajah santai seperti waktu itu? Aku masih larut dengan lamunanku saat dia melangkah masuk ke dalam aula. Kalau saja nyaliku sedang penuh, tentu aku sudah menghampiri wanitamu, menjabat tangannya sembari mengucapkan kata maaf.
Malam harinya aku coba mengirimkan pesan singkat untuk kamu dengan harapan mendapat respon yang menyenangkan seperti hari-hari kemarin. Namun tak selamanya harapan bisa menjadi kenyata karena pada malam itu kamu sendang bersama wanitamu.
aku sedang bersama wanitaku
 Aku kira kamu masih di study tour di Bali, tapi ternyata kamu sudah kembali untuk menemui wanitamu tanpa memberitahuku. Jelas aku merasa kaget saat membaca balasan pesan singkat darimu, mendadak hatiku berdenyut sakit. Aku hanya bisa tersenyum tipis sambil meletakkan handphone di sofa dan permisi untuk ke kamar mandi pada kakakku. Senyum tipis yang aku tampakkan hanya menjadi topeng karena beberapa saat sebelum rasa sakit menyerang aku sedang bercerita tentang kelucuan Dodit Mulyanto yang akhir-akhir ini wajahnya semakin sering muncul di layar kaca.
Di kamar mandi aku mengusap wajah dengan air agar semua kesakitan ini tak berubah menjadi tangis. Sejenak aku merenungi setiap kebodohan yang sudah aku perbuat dan entah kenapa denyutan menyakitkan ini tak segera hilang. Mungkin benar kata beberapa orang yang semberiku nasehat, dalam jangka pendek semuanya akan baik-baik saja tapi dalam jangka panjang akan ada kesakitan-kesakitan yang siap hinggap dan membunuh secara perlahan. Ketika nasehat itu berdatangan aku masih bisa mengelaknya dengan kalimat “aku kan baik-baik saja” sebab dari awal perkenalan kita, ini adalah kali pertama kamu bertemu dengan wanitamu. Ternyata kalimat yang aku anggap paling mujarap untuk mengelak semua perkiraan para temanku tak lagi berfungsi ketika situasi seperti ini benar-benar datang.
Dalam sebuah statusnya di salah satu jejaring sosial, wanitamu pernah menyebut pertenuan kalian hanyalah mimpi dan perpisahan akan jarak adalah kehidupan nyata. Dari situ aku mengerti bahwa posisiku sebenarnya ada di dunia nyata, saat jarak menjadi koma, saat kalian tak lagi bersama. Namun ketika kamu dan wanitamu bersama aku mah da apa atuh? Aku bukan siapa-siapa. Aku hanya akan menjadi butiran debu di kaca matamu yang akan segera kamu usap dengan selembar kain lembut ketika kamu berasa terganggu. Benar saja.. kamu sedang mengusirku dengan lembut. Berusaha menyingkirkan setelah kamu dapatkan semua hal yang kamu mau dari aku. Apa kamu tak punya cara yang lebih menyakitkan daripada ini?