Tugu Jogja

Sebelumnya Stasiun Lempuyangan


“Sudah dapat?”
Aku menggeleng.
Dia meraih camera di tanganku lalu menekan tombol playback untuk melihat hasil fotoku. “Mau aku ajarin bikin foto bulb?” tanyanya sekali lagi.
“Caranya?”
“Ayo nyebrang ke situ dulu. Kita ambil foto low angle biar Tugu-nya kelihatan gagah,” ucapnya sembari menggandeng tanganku melintasi jalanan searah.
Sesampainya di sebrang jalan, tepatnya di depan sebuah optik, dia mulai mempersiapkan tripod. “Katanya low angle, ngapain pakai tripod?” kataku heran.
“Kamu rela kalau kameramu aku taruh di atas jalan aspal kaya gini?” jawabnya ketus. “Nih, pasang di kameramu,” dia melempar monting tripod padaku.
Aku menyodorkan kameraku padanya. Dengan cekatan dia mengotak atik settingan pada camera. Awalnya dia menekan sambil memutar tombol mode pada kamera lalu mengotak atik tombol yang lain. “Sini aku ajari,” katanya.
“Kalau kamu putar ke tombol modenya pada posisi B kameramu secara otomatis bakalan jadi mode Bulb. Bedanya mode Bulb sama mode manual itu kaya gini,” dia menekan tombol shutter. “Ketika kamu pakai mode manual, kamu cuma bisa atur shutternya sampai 30sec aja. Kalau kamu pakai mode Bulb, kamu bisa tekan shutternya sampai lebih dari 30sec. Jadi mode Bulb waktunya bisa lebih lama,” tututnya panjang lebar.
Setelah mengoceh panjang lebar dia menekan tombol playback untuk melihat hasil foto bulb miliknya. “Nih, jadi..” katanya.
“Baguuus!” seruku.
“Sini coba sendiri,” dia beranjak dari tempat duduknya lalu berdiri di belakangku. “Kamu suka warna biru kan? Kalau di kameramu ini bisa di atur color temperaturnya. Semakin kecil pada lambang  kelvin maka warnanya akan blue-ish atau kebiru-biruan.”
“Biar aku coba,” kataku.
Dia mengangguk lalu berjalan menjauh dariku. Dia duduk di sisi trotoar yang lain, mencari angle lain, katanya agar karya milik dia tidak mirip dengan karyaku. Aku hanya cekikikan setelah mengetahui alasannya.
***
“Sudah dapat?” sekali lagi dia mengulang pertanyaan yang sama.
“Sudah,” jawabku.
“Aku antar pulang sekarang. Aku baru ingat kalau ada beberapa urusan kampus yang sedang menunggu untuk dijamah,” katanya genit.
“Dih, sok sibuk lagi.”
“Memang sibuk..” dia terdiam sejenak. “Kamu masih ingat kata-kataku minggu lalu?”
“Iya, aku ingat. Kamu sudah memulai proyek kedua, kamu sedang mencari dana untuk research skripsi, kamu sedang menyusun proposal skripsi, dan selasa besok kamu seminar proposal. Aku ingat.”
“Maksudku bukan yang itu..” Aku hanya menatap matanya sekejap lalu melewatinya. Dia berusaha mengimbangi langkahku, “untuk semester ini saja.. aku minta pengertiannya.”
Aku mengehentikan langkah. Tersadar bahwa semester ini adalah semester paling menentukan, semester paling berat, dan dia butuh dukungan. “Maaf..” ucapku lirih.
Tangannya menyentuh bahuku, dia berdiri tepat di belakangku sekarang, namun aku takut untuk berbalik arah. “Gak perlu minta maaf..” dia membalik tubuhku. Kini dia manatapku tajam, “Point dari percakapan minggu lalu bukan tentang kesibukanku. Tapi sesibuk apa pun aku atau sesibuk apa pun kamu, kita harus menyempatkan waktu untuk berbagi kabar, karena kesibukan kita dan status hubungan kita yang begitu rumit membuat hubungan ini rentan.”
Hening.
Dia menarik nafas dalam-dalam. “Ayo aku antar pulang,” ucapnya sembari menyeret tubuhku menyebrangi jalan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar