Tetiba Kangen Mantan

Aku menulis bersama secangkir susu coklat panas. Rasanya memang gak seenak yang kemarin, sayangnya susu coklat yang kemarin belum sempat saya habiskan karena lupa.

Kali ini aku lagi gak ingin nulis yang macam-macam. Aku lagi pengen menjadi aku.

Aku cuma mau cerita sedikit tentang ketidakpahamanku sama diriku sendiri. Aku memang jomblo udah lama banget, februari tahun depan aku ngerayain aniv 3 tahun kejombloanku. Tapi hidupku gak sepi-sepi amat kok.

Banyak hal yang sudah aku lakukan selama tiga tahun terakhir. Banyak sekali pencapaian diluar nalar yang bisa aku lakukan selama tiga tahun terakhir. Tapi untuk bisa hilangkan ingatan dan kenangan tentang satu orang ini nggak segampang dapatkan rangking 1 hanya untuk pindah sekolah ke Blitar supaya bisa satu kota dengan manusia yang satu ini. 

Dulu banget, waktu masih SMA kelas 1, waktu masih labil-labilnya, waktu banyak remaja seusia itu sedang bangga bangganya dengan pacar mereka yang bermotor satria, aku cuma bisa banggain status "in relationship" di facebook karena lagi LDR. Hahahaha.. yaelah, anak bau kencur sok LDR. 

Walau pun  di HAHAHA in sama banyak orang, tapi itu adalah satu-satunya cerita cinta yang paling berkesan. Saking berkesannya sampai-sampai sudah tiga tahun putus pun masih gak bisa lupa. 

Dulu banget, waktu aku putus sama dia aku biasa aja kok. Aku strong banget. Sampek suatu ketika dia punya pacar baru. Tau gak hal macam apa yang aku lakuin ketika tau dia punya pacar? Aku nangis. Tau gak aku nangisnya dimana? Di depan bank mandiri alun-alun jember, sampek bikin orang satu rumah heboh. Karena kejadian penuh air mata itu berlangsung antara jam 12 malem sampek jam 2 pagi. Ya bayangin aja, anak orang, cewek, nangis sendirian, pegang kain kecil buat usap umbel, duduk di depan mandir alun-alun, tengah malem, kalo tetiba disaut sama orang kan bisa wasalam. Ilang.

Aku galau berat selama berhari-hari. Untuk kali pertamanya aku yang doyan banget makan tetiba gak pengen makan apapun sampek ibuku heboh sendiri nawarin makanan enak tapi aku selalu nolak. Aku sekolah sudah gak fokus. Kelas satu semester 2 nilai rapotku hancur total. Aku kalut gak karuan. Sampai akhirnya aku kepikiran buat pindah sekolah. Waktu pembagian rapot kenaikan kelas, aku ngerengek sejadi-jadinya minta pindah sekolah di blitar. 

Ibuku bilang, ibu mau pindahin kamu kalau kamu bisa dapet rangking satu. Hello? Dari rangking 13 ke rangking 1 itu jauh banget yo. Harus berapa banyak malam yang aku habiskan untuk belajar? Harus ada berapa banyak jam main yang aku korbankan cuma buat baca buku? tapi ternyata menumbangkan 12 orang tidak sesulit yang aku bayangkan. 

Pada masa-masa itu aku percaya kalau ternyata aku itu bisa, aku gak bodoh-bodoh amat, toh hanya dengan bawa telinga setiap kali pelajaran dimulai aku sudah bisa dapetin nomor satu dalam hitungan beberapa bulan. Pada masa-masa itu aku akui aku lagi sombong-sombongnya.

Sesuai perjanjian awal, aku pun pindah sekolah. Deal! 

Setelah pindah sekolah aku mulai sadar kalau hidup gak semudah yang dibayangin. Tau kan alasan pertama aku pindah sekolah biar bisa satu kota sama dia. tapi nyatanya setelah satu kota dia malah ngilang gitu aja gak ada kabar. Sumpah aku nyesel banget!

Waktu udah akhir-akhir kelas 3 aku sempat kontak sama dia lagi. Dia keterima di UB kalo gak salah di Pertanian. Dari awal kenal sampek sekarang pun yang bikin aku kagum sama dia itu ya cuma satu; dia pinter dalam segi akademik. Plus dia berduit dan bermobil *ehkeceplosan

Curhat kangen sama mantannya udahan sampek disini aja. nanti kalo aku baper terus nangis di alun-alun kidul kan bahaya :)

Tugu Jogja

Sebelumnya Stasiun Lempuyangan


“Sudah dapat?”
Aku menggeleng.
Dia meraih camera di tanganku lalu menekan tombol playback untuk melihat hasil fotoku. “Mau aku ajarin bikin foto bulb?” tanyanya sekali lagi.
“Caranya?”
“Ayo nyebrang ke situ dulu. Kita ambil foto low angle biar Tugu-nya kelihatan gagah,” ucapnya sembari menggandeng tanganku melintasi jalanan searah.
Sesampainya di sebrang jalan, tepatnya di depan sebuah optik, dia mulai mempersiapkan tripod. “Katanya low angle, ngapain pakai tripod?” kataku heran.
“Kamu rela kalau kameramu aku taruh di atas jalan aspal kaya gini?” jawabnya ketus. “Nih, pasang di kameramu,” dia melempar monting tripod padaku.
Aku menyodorkan kameraku padanya. Dengan cekatan dia mengotak atik settingan pada camera. Awalnya dia menekan sambil memutar tombol mode pada kamera lalu mengotak atik tombol yang lain. “Sini aku ajari,” katanya.
“Kalau kamu putar ke tombol modenya pada posisi B kameramu secara otomatis bakalan jadi mode Bulb. Bedanya mode Bulb sama mode manual itu kaya gini,” dia menekan tombol shutter. “Ketika kamu pakai mode manual, kamu cuma bisa atur shutternya sampai 30sec aja. Kalau kamu pakai mode Bulb, kamu bisa tekan shutternya sampai lebih dari 30sec. Jadi mode Bulb waktunya bisa lebih lama,” tututnya panjang lebar.
Setelah mengoceh panjang lebar dia menekan tombol playback untuk melihat hasil foto bulb miliknya. “Nih, jadi..” katanya.
“Baguuus!” seruku.
“Sini coba sendiri,” dia beranjak dari tempat duduknya lalu berdiri di belakangku. “Kamu suka warna biru kan? Kalau di kameramu ini bisa di atur color temperaturnya. Semakin kecil pada lambang  kelvin maka warnanya akan blue-ish atau kebiru-biruan.”
“Biar aku coba,” kataku.
Dia mengangguk lalu berjalan menjauh dariku. Dia duduk di sisi trotoar yang lain, mencari angle lain, katanya agar karya milik dia tidak mirip dengan karyaku. Aku hanya cekikikan setelah mengetahui alasannya.
***
“Sudah dapat?” sekali lagi dia mengulang pertanyaan yang sama.
“Sudah,” jawabku.
“Aku antar pulang sekarang. Aku baru ingat kalau ada beberapa urusan kampus yang sedang menunggu untuk dijamah,” katanya genit.
“Dih, sok sibuk lagi.”
“Memang sibuk..” dia terdiam sejenak. “Kamu masih ingat kata-kataku minggu lalu?”
“Iya, aku ingat. Kamu sudah memulai proyek kedua, kamu sedang mencari dana untuk research skripsi, kamu sedang menyusun proposal skripsi, dan selasa besok kamu seminar proposal. Aku ingat.”
“Maksudku bukan yang itu..” Aku hanya menatap matanya sekejap lalu melewatinya. Dia berusaha mengimbangi langkahku, “untuk semester ini saja.. aku minta pengertiannya.”
Aku mengehentikan langkah. Tersadar bahwa semester ini adalah semester paling menentukan, semester paling berat, dan dia butuh dukungan. “Maaf..” ucapku lirih.
Tangannya menyentuh bahuku, dia berdiri tepat di belakangku sekarang, namun aku takut untuk berbalik arah. “Gak perlu minta maaf..” dia membalik tubuhku. Kini dia manatapku tajam, “Point dari percakapan minggu lalu bukan tentang kesibukanku. Tapi sesibuk apa pun aku atau sesibuk apa pun kamu, kita harus menyempatkan waktu untuk berbagi kabar, karena kesibukan kita dan status hubungan kita yang begitu rumit membuat hubungan ini rentan.”
Hening.
Dia menarik nafas dalam-dalam. “Ayo aku antar pulang,” ucapnya sembari menyeret tubuhku menyebrangi jalan.