Dua Minggu Lalu

Dua minggu lalu aku bertemu dengan wanitamu. Dia menggunakan kerudung merah dengan jas almamaternya. Iya, waktu itu aku memang tak sengaja bertemu dengan dia di sebuah sekolah tempat sosialisasi. Pagi itu aku dan beberapa teman lain memang sengaja datang terlambat ke tempat sosialisasi karena tau kalau universitas wanitamu mendapat jam lebih awal untuk presentasi di hadapan puluhan murid SMK tersebut. Aku baru turun dari motor dan menunggu teman memarkir motor di dekat masjid sekolah. Entah sekenario macam apa yang Tuhan rancang untuk cerita ini, saat aku menoleh kearah pintu masuk aula, aku melihat seorang wanita berdiri tepat di depan pintu. Aku menyipitkan mata, dengan minus yang mengurangi jarak pandang aku berusaha meyakinkan diri bahwa wanita yang berdiri jauh disana bukanlah wanitamu, tapi ternyata..
Wanita yang selalu kamu puji itu tampak lebih cantik ketimbang di foto yang pernah kamu tunjukkan padaku. Dengan jarak sejauh ini aku berusaha mengamati gerak gerik wanitamu yang sedang sibuk mondar mandir di depan pintu aula dengan handphone di tangannya. Sesekali dia melihat kearahku dengan santai. Ah, seandainya dia tau apa yang pernah kita lakukan. Apa dia masih bisa memandangku dengan wajah santai seperti waktu itu? Aku masih larut dengan lamunanku saat dia melangkah masuk ke dalam aula. Kalau saja nyaliku sedang penuh, tentu aku sudah menghampiri wanitamu, menjabat tangannya sembari mengucapkan kata maaf.
Malam harinya aku coba mengirimkan pesan singkat untuk kamu dengan harapan mendapat respon yang menyenangkan seperti hari-hari kemarin. Namun tak selamanya harapan bisa menjadi kenyata karena pada malam itu kamu sendang bersama wanitamu.
aku sedang bersama wanitaku
 Aku kira kamu masih di study tour di Bali, tapi ternyata kamu sudah kembali untuk menemui wanitamu tanpa memberitahuku. Jelas aku merasa kaget saat membaca balasan pesan singkat darimu, mendadak hatiku berdenyut sakit. Aku hanya bisa tersenyum tipis sambil meletakkan handphone di sofa dan permisi untuk ke kamar mandi pada kakakku. Senyum tipis yang aku tampakkan hanya menjadi topeng karena beberapa saat sebelum rasa sakit menyerang aku sedang bercerita tentang kelucuan Dodit Mulyanto yang akhir-akhir ini wajahnya semakin sering muncul di layar kaca.
Di kamar mandi aku mengusap wajah dengan air agar semua kesakitan ini tak berubah menjadi tangis. Sejenak aku merenungi setiap kebodohan yang sudah aku perbuat dan entah kenapa denyutan menyakitkan ini tak segera hilang. Mungkin benar kata beberapa orang yang semberiku nasehat, dalam jangka pendek semuanya akan baik-baik saja tapi dalam jangka panjang akan ada kesakitan-kesakitan yang siap hinggap dan membunuh secara perlahan. Ketika nasehat itu berdatangan aku masih bisa mengelaknya dengan kalimat “aku kan baik-baik saja” sebab dari awal perkenalan kita, ini adalah kali pertama kamu bertemu dengan wanitamu. Ternyata kalimat yang aku anggap paling mujarap untuk mengelak semua perkiraan para temanku tak lagi berfungsi ketika situasi seperti ini benar-benar datang.
Dalam sebuah statusnya di salah satu jejaring sosial, wanitamu pernah menyebut pertenuan kalian hanyalah mimpi dan perpisahan akan jarak adalah kehidupan nyata. Dari situ aku mengerti bahwa posisiku sebenarnya ada di dunia nyata, saat jarak menjadi koma, saat kalian tak lagi bersama. Namun ketika kamu dan wanitamu bersama aku mah da apa atuh? Aku bukan siapa-siapa. Aku hanya akan menjadi butiran debu di kaca matamu yang akan segera kamu usap dengan selembar kain lembut ketika kamu berasa terganggu. Benar saja.. kamu sedang mengusirku dengan lembut. Berusaha menyingkirkan setelah kamu dapatkan semua hal yang kamu mau dari aku. Apa kamu tak punya cara yang lebih menyakitkan daripada ini?