Satu minggu
terakhir aku, Pria, Reo, Banyu, dan Geraldy disibukkan dengan berbagai deadline
terkait film pendek gagasan Pria. Entah dapat wangsit dari mana, tiba-tiba
malam itu Pria mengumpulkan kami berempat untuk membahas konsep pembuatan film
pendek. Katanya kalau film ini bisa selesai dan layak tayang, Pria akan
mengikut sertakan karya kami berlima dalam sebuah ajang penghargaan film
pendek.
Aku tidak pernah
ragu pada kreativitas yang ada di dalam kepala Pria. Semua hal yang di ucapkan
memang tidak akan pernah terpikir oleh manusia pada umumnya. Salah satunya film
pendek ini. Lagi-lagi dia ingin mengangkat tema seorang pahlawan, tapi tidak
melulu tentang seorang yang rela mati di medan perang. Otakku berkerja keras untuk mencari ujung pemikiran dari seorang Pria. Entahlah! Aku menyerah!
Sampai detik
dimana kumpul kedua harus dilakukan, pikiranku masih belum bisa mengerti apa
yang Pria inginkan. Kumpul kedua dilaksanakan tak jauh dari tempat mereka
berempat tinggal; tempat kos Pria, Reo, Banyu, dan Geraldy. Sialnya setelah
mereka berempat kehabisan akal untuk mengerucutkan tema yang mereka sepakati
sendiri, tiba tiba Reo mengetuk pintu kosku tepat pukul 10 malam. Gila memang.
Lebih mengejutkannya lagi Reo memintaku untuk membawa selimut dan celana kolor
untuk persiapan kalau ternyata adegan kumpul kedua ini tidak selesai dalam
waktu dua jam.
Ya, sesuai
dengan perkiraan Reo. Sampai pagi pun kumpul kedua itu tidak juga membuahkan
hasil. Sampai jam 10 siang, sesaat sebelum Reo pergi ke kampus untuk konsultasi
dengan dosen pembimbingnya, sebuah ide brilian muncul dari mulut Pria.
“Bagaimana kalau kita menyoroti single
parent?” ucapnya dengan penuh rasa lega.
“Bisa..” jawab Banyu datar.
***
Malam ini akan
dilakukan rapat perdana all crew pembuatan film pendek yang digagas Pria. Pukul delapan
di Bujang, tulis Pria pada pesan singkatnya. Dia memintaku untuk mampir ke
tempat kosnya sebelum menuju ke Bujang. Katanya ada beberapa hal yang perlu
diperjelas. Aku pun mengiyakan perintahnya.
“Assalamualaikum,”
tanganku hampir saja lecet akibat terlalu lama mengetuk pintu kamar Pria.
Sampai rasa putus asa menguasai alam bawah sadarku pun tak ada jawaban dari si
empunya kamar.
“Assalamualaikum,”
aku berjanji, ini ucapan salam terakhirku. Jika tidak ada satu orang pun yang menjawab,
aku akan angkat kaki dari tempat ini.
Aku baru mundur
satu langkah dari depan pintu, bertekat buat meninggalkan pintu keparat di
depanku ini, ketika ada suara gagang pintu yang bergerak.
“Sudah lama
berdiri disitu?” senyum kecut itu muncul dari wajah Pria.
“Sini masuk,”
dia berjalan terseok-seok menuju meja computer di sudut ruangan. “Maaf, tadi
saya masih ngumpulin nyawa, jadi lama bukain pintunya.”
“Santai wae..”
aku tersenyum maksa.
“Jadi gini, Ra, ada
beberapa orang yang sudah saya pilih untuk terlibat langsung dalam pembuatan
film kita. Tapi sebelum aku ngelamar mereka untuk jadi crew saya mau kamu lihat dulu list namanya.”
Aku mengamati
satu persatu nama yang ada di dalam list tersebut.
“Gimana?” tanya
Pria.
“Yak.. anda
sudah memilih orang-orang yang tepat pak produser,” aku menjabat tangannya.
Pria terkekeh.
“Kamu tunggu disini sebentar ya, saya mau mandi dulu, lalu kita berangkat ke
Bujang bareng.”
“Shaaap bosku!”
***
“Kamu tau..” ucap Pria setelah keluar dari
kamar mandi. Aku hanya menggeleng. “Saya gugup,” lanjutnya.
“Seng semangat
boss!” kataku sambil mengepalkan kedua tangan.
Pria membalasnya
dengan dua kepalan tangan.
“Yuk..” ajak
Pria setelah berdandan rapi menurut versinya sendiri.
“Reo?”
“Ah.. Reo belum
pulang dari tadi sore. Katanya mau langsung nyusul ke TKP”
Keluar dari
kamar Pria aku mendongak ke atas, mengamati kamar gelap di ujung koridor lantai
dua yang sedang ditinggal pergi penghuninya. “Reo pasti nyusul kok, Ra” ucapnya
genit.
Aku tersipu malu
mengetahui Pria memergokiku mengamati kamar Reo.