Kesan Ketiga, Pria, dan Pra Rapat Perdana

Satu minggu terakhir aku, Pria, Reo, Banyu, dan Geraldy disibukkan dengan berbagai deadline terkait film pendek gagasan Pria. Entah dapat wangsit dari mana, tiba-tiba malam itu Pria mengumpulkan kami berempat untuk membahas konsep pembuatan film pendek. Katanya kalau film ini bisa selesai dan layak tayang, Pria akan mengikut sertakan karya kami berlima dalam sebuah ajang penghargaan film pendek.

Aku tidak pernah ragu pada kreativitas yang ada di dalam kepala Pria. Semua hal yang di ucapkan memang tidak akan pernah terpikir oleh manusia pada umumnya. Salah satunya film pendek ini. Lagi-lagi dia ingin mengangkat tema seorang pahlawan, tapi tidak melulu tentang seorang yang rela mati di medan perang. Otakku berkerja keras untuk mencari ujung pemikiran dari seorang Pria. Entahlah! Aku menyerah!

Sampai detik dimana kumpul kedua harus dilakukan, pikiranku masih belum bisa mengerti apa yang Pria inginkan. Kumpul kedua dilaksanakan tak jauh dari tempat mereka berempat tinggal; tempat kos Pria, Reo, Banyu, dan Geraldy. Sialnya setelah mereka berempat kehabisan akal untuk mengerucutkan tema yang mereka sepakati sendiri, tiba tiba Reo mengetuk pintu kosku tepat pukul 10 malam. Gila memang. Lebih mengejutkannya lagi Reo memintaku untuk membawa selimut dan celana kolor untuk persiapan kalau ternyata adegan kumpul kedua ini tidak selesai dalam waktu dua jam.

Ya, sesuai dengan perkiraan Reo. Sampai pagi pun kumpul kedua itu tidak juga membuahkan hasil. Sampai jam 10 siang, sesaat sebelum Reo pergi ke kampus untuk konsultasi dengan dosen pembimbingnya, sebuah ide brilian muncul dari mulut Pria. “Bagaimana kalau kita menyoroti single parent?” ucapnya dengan penuh rasa lega.

“Bisa..” jawab Banyu datar.


***

Malam ini akan dilakukan rapat perdana all crew pembuatan film pendek yang digagas Pria. Pukul delapan di Bujang, tulis Pria pada pesan singkatnya. Dia memintaku untuk mampir ke tempat kosnya sebelum menuju ke Bujang. Katanya ada beberapa hal yang perlu diperjelas. Aku pun mengiyakan perintahnya.

“Assalamualaikum,” tanganku hampir saja lecet akibat terlalu lama mengetuk pintu kamar Pria. Sampai rasa putus asa menguasai alam bawah sadarku pun tak ada jawaban dari si empunya kamar.

“Assalamualaikum,” aku berjanji, ini ucapan salam terakhirku. Jika tidak ada satu orang pun yang menjawab, aku akan angkat kaki dari tempat ini.

Aku baru mundur satu langkah dari depan pintu, bertekat buat meninggalkan pintu keparat di depanku ini, ketika ada suara gagang pintu yang bergerak.

“Sudah lama berdiri disitu?” senyum kecut itu muncul dari wajah Pria.

“Sini masuk,” dia berjalan terseok-seok menuju meja computer di sudut ruangan. “Maaf, tadi saya masih ngumpulin nyawa, jadi lama bukain pintunya.”

“Santai wae..” aku tersenyum maksa.

“Jadi gini, Ra, ada beberapa orang yang sudah saya pilih untuk terlibat langsung dalam pembuatan film kita. Tapi sebelum aku ngelamar mereka untuk jadi crew saya mau kamu lihat dulu list namanya.”

Aku mengamati satu persatu nama yang ada di dalam list tersebut.

“Gimana?” tanya Pria.

“Yak.. anda sudah memilih orang-orang yang tepat pak produser,” aku menjabat tangannya.

Pria terkekeh. “Kamu tunggu disini sebentar ya, saya mau mandi dulu, lalu kita berangkat ke Bujang bareng.”

“Shaaap bosku!”

***

“Kamu tau..” ucap Pria setelah keluar dari kamar mandi. Aku hanya menggeleng. “Saya gugup,” lanjutnya.

Seng semangat boss!” kataku sambil mengepalkan kedua tangan.

Pria membalasnya dengan dua kepalan tangan.

“Yuk..” ajak Pria setelah berdandan rapi menurut versinya sendiri.

“Reo?”

“Ah.. Reo belum pulang dari tadi sore. Katanya mau langsung nyusul ke TKP”

Keluar dari kamar Pria aku mendongak ke atas, mengamati kamar gelap di ujung koridor lantai dua yang sedang ditinggal pergi penghuninya. “Reo pasti nyusul kok, Ra” ucapnya genit.

Aku tersipu malu mengetahui Pria memergokiku mengamati kamar Reo.

Mas, sekarang aku sudah dewasa..

Malam ini aku hanyut dalam tiga tahun lalu, dimana kamu dan aku sering berbalas BBM sampai larut malam, dimana kamu dan aku rajin melempar rayuan gombal dalam setiap aksara. Aku bisa tertawa guling-guling ketika membaca screenshot chat BBM kita, waktu itu aku masih pakai BB dengan aplikasi screenmunched, itu lho aplikasi yang bisa bunyi krauuuuk sambil getar kalau dipakai screenshot. Udah jadul banget dan terasa basi kalau harus dibahas sekarang.

Celakanya hal basi itu mengingatkan satu hal yang tak berbekas lagi. Sebuah kenyataan kalau ternyata kita pernah lebih dari sekedar dekat. Kalau aku putar otak sekali lagi, aku tidak akan menemukan sebuah jawaban dari pertanyaan, “sebenarnya kita ini apa?”Jelas tidak ada jawabannya karena waktu itu aku terlalu kecil untuk menagih kejelasan dari caramu ngegombal, titik dua bintang diakhir kalimat dalam chatmu, dan caramu memberikan dukungan penuh dalam hal tulis menulis.

Ohya, karena kamu, sampai hari ini aku masih aktif menulis meski kamu tak lagi mengikuti tulisanku. (aku kangen). Jangankan mengikuti tulisanku, waktu aku ulang tahun saja kamu mengucapkan selamat lewat message facebook karena merasa kontak bbmku hilang. Padahal sampai detik ini kita masih menyimpan kontak bbm satu sama lain meski tak pernah sempat untuk berbagi kabar. Bukan tidak sempat, tapi tidak pernah berusaha untuk saling menyempatkan.

Karena jauh disana, entah dimana kamu berada, jauh disana kamu sedang sibuk mencari sesuatu yang belum kamu temukan. Dan ternyata sama, di sini, di Jogja, aku juga sedang sibuk mencari sesuatu yang belum aku temukan. Kita terlalu sibuk memikirkan hidup masing-masing sampai melupakan tiga kata yang mengejutkan; kita pernah dekat. Jangan terkejut dulu. Ada satu hal lagi yang harusnya membuat kita terkejut bersama; kita tidak pernah kehabisan topic bahasan.

Aku sudah lupa kapan terakhir kita berbalas pesan, mungkin awal bulan Januari kemarin, saat kamu ulang tahun. Tapi kelihatannya chat kita hanya bertahan beberapa baris saja. Berakhir karena kamu mengirim kata hahaha padaku dan aku paling malas dengan kata hahaha itu. Lagian kalau dilihat-lihat, dulu aku paling suka dengan gombalan dari kamu, tapi sekarang aku lebih tertarik pada kejelasan. Jadi, kalau disuruh ngelucu dan ngikuti alur ngelucumu aku sudah tidak sanggup.

Kamu tau, aku kangen, kangen banget malah. Kangen pada kedekatan kita dulu, kangen pada ucapan selamat pagi dari kamu, kangen pada cara kamu meyakinkan aku untuk terus nulis sambil bilang ‘tetap nulis ya suatu saat pembacamu akan banyak’ padahal sampai hari ini setiap postingku pembacanya tidak pernah menyentuh angkat 50. Ohya, aku juga kangen sama banyolanmu dan aku sudah gatel banget pengen tanya ‘kapan nikah?’ padahal kalau kamu mendadak nikah aku bakalan syok.

Dari sekian banyak hal yang aku kangenin ada satu hal yang benar-benar aku kangenin. Aku kangen kamu yang ganteng. Sekarang kamu keliatan tua banget hahaha Kurus kaya orang cacingan dan udah gak keren kaya dulu. Kamu harus jaga kesehatan, jangan banyak begadang, rokoknya dikurangin, kalau pulang kerja jangan lupa makan, jangan kebanyakan ngegame, jangan terlalu mikirin aku juga. Disini aku sudah bertemu seseorang yang suka nulis blog kaya kamu waktu masih muda. Beberapa waktu lalu ketika aku mutung dan memutuskan untuk berhenti nulis, dia juga nyemangati aku buat nulis lagi.

Kamu ya! Kalau keinget sama kamu, aku suka sebel sendiri. Bukan sebel sama kamu, tapi aku sebel sama takdir yang bikin selisih usia kita jauh banget dan dengan nyebelinnya lagi takdir mempertemukan kita disaat aku masih labil. Yakali cowok lulusan pendidikan ekonomi, mantan anak band indie Jember, kerjanya jadi pegawai bank yang seusia kamu tertarik sama aku yang masih SMA. Apalagi waktu kita dekat kamu baru aja pacaran sama mbak mbak cantik. Siapa ya namanya? Kotang? Yang model itu lho.

Ngomongin tentang pacarmu, pernah suatu hari aku mendadak kesel sendiri, padahal harusnya kita kesel berdua biar aku bisa salahin kamu. Waktu itu tiba-tiba aku pengen stalking twittermu dan oh my god, who is she? I get drunk on jealousy banget. Lama gak stalking twitter kamu tiba tiba kamu punya pacar baru yang kondisinya lagi garap skripsi. Lebih ngeselinya lagi isi mention kalian gak jauh dari kata kowe kudu cepet mari skripsine cek ndang tak lamar. Itu artinya sesaat setelah mbak itu lulus kuliah kalian bakalan nikah. Oh no! Aku gak rela.

Banyak hal yang pengen aku ceritain tapi kamu terlalu asik dengan duniamu dan aku terlalu egois dengan segala macam kesibukanku. Kalau duniamu sudah gak asik lagi, jangan lupa pulang ya, pintu hatiku masih terbuka untukmu *eaaaa!

Semoga kamu bisa jatuh cinta pada aksaraku,
karena bagimu
“jatuh cinta pada aksaranya lebih ganas
daripada jatuh cinta pada tubuhnya”
(tweet Dec 20, 2013 6:17am)


Kesan Kedua, Revisi Tujuh, dan Film Pendek



"Ra, bangun. Tidurnya di kamar aku aja" ia menepuk bahuku pelan-pelan. "Disini dingin, Ra, nanti kamu masuk angin loh"

"Aduuh, aku gak kuat jalan. Ngantuk banget, Re" 

"He! Bangun nggak? Aku seret nih!" 

Mataku terbelalak setelah mendengar teriakannya. "Apasih?" bentakku.

"Apanya yang apasih? Kalo kelamaan disini lo bisa masuk angin bego!" 

"Iya deh iya.." aku menyeret kaki menuju kamar tidur Reo. 

Kamar kos Reo adalah sebuah ruangan tiga kali tiga yang bisa menghadirkan cerita tersendiri Selain memiliki aroma khas antara parfum dan rokok, ruangan ini juga bisa membuatku betah berlama-lama disana. Padahal setiap kali aku main ke tempat kosnya, Reo selalu duduk di depan laptop dan sibuk dengan tumpukan buku, catatan, dan lembaran foto hasil lab lambung, paru-paru, jantung, ginjal, dan hati tikus kesayangannya. Walau pun kadang aku suka jengkel dengan perlakukannya, tapi setidaknya mengamati cara kerja dia yang tak kenal waktu dan berusaha memenuhi targetnya sendiri membuatku merasa 'aku pengen punya semangat kaya Reo'.

***

Sudah jam tujuh pagi, itu artinya aku melewatkan waktu sholat subuh, dan aku baru kepikiran sama keadaan Reo yang tadi sudah mimisan tapi kamarnya malah aku bajak. Dia tidur dimana semalam? batinku. 

Buru buru aku merapikan tempat tidur agar bisa segera keluar kamar dan mencari tau dimana Reo tidur semalam. Setelah beres aku bergegas keluar kamar. Kudapati seseorang sedang tidur di depan teras kamar berbalut selimut hijau pupus tebal bersama tiga orang lain. 

Aku melangkah perlahan melewati tubuhnya. Saat kakiku berada tepat di depan tubuhnya, handphone milik Reo berdering. Seketika Reo langsung bangun dan duduk, mencari letak handphonenya. 

"Selamat pagi, Pak.." ucap Reo setengah sadar. "Iya, pak, jam 10 drafnya sudah ada di meja bapak." Reo berkedip padaku. Bibirnya memberi isyarat padaku untuk menyalakan PC. "Baik pak, terima kasih."

Reo menarik nafas dalam-dalam. Sesekali dia menggelengkan kepala sambil berusaha mengumpulkan nyawa. "Ra.." panggilnya.

"Ha?" 

Kini Reo duduk di belakangku menghadap monitor yang sama. "Coba buka folder skripsi, cari yang ada tulisannya revisi tujuh" ia mengamati setiap tulisan yang ada di situ. Namun tiba-tiba kepalanya disandarkan pada bahuku. "Sebentar aja.." ucapannya nyaris tak terdengar.

Tak berselang lama ia mengangkat kepalanya. "Langsung print aja, Ra" perintahnya.

"Emang udah kamu revisi?" 

"Udah, sebagian." jawabnya datar-datar saja.

Reo menyambungkan handphone dengan kabel speaker di dekat pintu kamar. "Bangun woy!" Reo meneriaki tiga manusia tak berdosa yang tergeletak dilantai teras depan kamar.

"Ra.." 

"Kenapa lagi, Re?" aku menoleh ke belakang. 

Pria cuma tersenyum, "Suara kami memang terdengar sama"

"Eh, enggak kok, maaf"

"Santai aja.." Pria menyalakan rokoknya sambil duduk di depan pintu. "Untung ada kamu, Ra" ucapnya tiba-tiba.

"Maksudnya?" 

"Cewek mana sih yang rela tidur di tempat kos cowok cuma demi nyumbingin konsep buat film pendek konyol  bikinan anak eksak kaya kami," pandangan kami beradu. Aku mencari penjelasan lebih dari ucapan 'untung ada kamu'. 

"Ah, lupakan.. lupakan.. masih pagi," lanjutnya.