Akan Lenyap Dimakan Waktu

Aku kecewa!
Kemarin malam kamu sudah berhasil membuatku kecewa. Bukannya kita sudah rencanakan ini sejak jauh-jauh hari? Lalu kamu batalkan begitu saja tanpa alasan yang jelas. Ah, ayolah.. kamu kira hanya kamu yang punya segudang aktivitas penting? Aku juga. Aku sudah kosongkan agenda, batalkan beberapa janji dengan teman, dan aku sudah dengan bodohnya melakukan itu semua demi kamu. Lantas apa balasanmu? Kamu bilang kita tak bisa bertemu hari Jumat dan kita tak bisa membuat makanan kesukaanku pada hari Sabtu. Sungguh aku tak bisa terima dengan caramu memperlakukan janji yang sudah kamu keluarkan sendiri dari mulutmu. Cukup! Berhenti disini.. aku tak akan menghubungimu lagi.
Beberapa saat kemudian handphone-ku bergetar hebat. Melihat namamu muncul di layar membuat aku lupa dengan janji untuk tidak menghubungimu lagi. Awalnya aku ingin menyapamu dengan lembut seperti biasa. Namun ketika kamu langsung mengucapkan “Kamu marah?” aku langsung kehilangan selera. Aku hanya diam, aku juga tak lantas menjawab pertanyaanmu sebab aku mau kamu sadar akan sebuah tata krama yang kamu lewatkan ketika menelfon seseorang. “Baiklah.. Assalamualaikum. Aku minta maaf karena sudah batalkan janji dengan kamu”.
“Walaikumsalam..” beberapa lama percakapan terhenti. Aku hanya menjawab salam tanpa merespon permintaan maaf mu. Hening. Sudah bisa dipastikan kamu sedang berfikir ekstra keras untuk memulai percakapan tanpa membuatku marah. Bagaimana? Apa perlakuanku ini sudah cukup menyesakkanmu? Aku tau itu karena kamu sudah berkali-kali menghela nafas dalam jeda waktu yang sangat rapat.
“Aku minta maaf, aku tau aku salah dan kamu pantas untuk mengacuhkan aku”, nada bicaranya semakin pelan. “Apa kamu sedang tidak ingin bicara denganku? Maaf”
Aku tertawa cekikikan sebelum mulai buka mulut. “Aku nggak marah. Bukannya masih banyak hari lain untuk melakukan hal tak penting itu?”, sekali lagi kamu menghela nafas. “Sudahlah, kita bicarakan hal yang lain saja”.
Seperti acara eksklusif di televisi, kamu mengajakku bicara ngalor ngidul hingga dua jam tanpa jeda iklan. Teh hangat yang aku buat dengan penuh rasa kecewa pun sedikit demi sedikit habis, tapi kamu masih terus bicarakan hal-hal tak penting. Walau itu adalah percakapan tak penting, tapi aku tetap mendengarkannya karena aku tau suatu saat aku merindukan setiap hal tak penting dari kamu. Aku sadar betul bahwa kita tak akan lakukan hal yang salah secara terus menerus. Hanya tinggal menunggu waktu dimana kamu sadar bahwa yang kamu lakukan sekarang merupakan sebuah kesalahan lalu kita pun akan lenyap dimakan waktu. Diakhir pembicaraan kamu bilang besok kamu ingin bertemu denganku. Kebodohan yang sama pun terjadi, aku meng-iya-kannya.
Tadi siang kamu menyapaku dengan senyuman manis. Kita baru tak bertemu satu minggu, tapi seolah-olah rasa rindu yang kita bagi via telfon semalam benar-benar memenuhi kepalamu. Kamu tak pernah berubah, kamu datang menjemputku disaat matahari tepat diatas kepala tanpa menggunakan jaket untuk melindung lenganmu dari sengatan matahari. Sepanjang perjalanan menuju tempat tinggalmu aku terus mengeluh kepanasan sementara kamu hanya merespon dengan kata-kata, “dasar manusia kalau panas ngeluh kalau hujan juga ngeluh”. Ah, cara bicaramu yang ketus membuatku berhenti mengeluh sampai tempat tujuan.
Berbeda dengan agenda pertemuan rutin yang biasa aku lakukan dengan kamu, kali ini tujuan kita jelas.. ketempat tinggalmu karena cuaca yang bisa mendadak berubah, aku yang ringkih, dan kita sama-sama tak mau jatuh sakit disaat ujian. Terimakasih atas pengertianmu, aku sayang kamu *eh oke maaf* Setibanya di rumahmu aku segera menyibukkan diri dengan materi ujian yang sengaja aku bawa, sedangkan kamu mulai mengobrak-abrik kertas dari dalam map sampai kamu mulai larut dalam duniamu sendiri. Ah, dasar laki-laki tak tau diuntung.. kamu mengajakku keluar disaat matahari terik dan mengabaikan aku begitu saja. Luar biasa.
Handphone-mu berdering. Segera kamu menjawab telfon -dari seseorang yang sudah bisa aku tebak- sembari menjauh dariku. Aku hanya bisa menghela nafas panjang. Kenapa wanitamu harus menelfon disaat kamu sedang bersamaku? Tak bisakah kamu abaikan dia seperti cara kamu abaikan aku? Ayolah.. buat aku lupa bahwa aku bukan satu-satunya. “Siapa?” tanyaku basa-basi saat dia kembali duduk disampingku. Kamu hanya nyengir kuda  sebagai tanda bahwa dugaanku benar.
Tak lama setelah itu kamu merapikan lembaran kertas kedalam map kemudian memalingkan pandanganmu kepada aku  yang sudah manyun akibat pengacuhanmu. “Aku sudah temukan resepnya” katamu.


Buang Aku Dari Hidupmu

Jika kamu bertanya apa yang sedang aku inginkan sekarang, aku akan menjawabnya dengan satu kata; kamu. Selepas acara perayaan pergantian tahun semalam aku tak henti-hentinya memikirkan kamu. Memikirkan betapa acuhnya kamu akan kehadiranku karena kamu terlalu asik dengan duniamu. Semalam, aku berkali-kali mencuri pandang ke arahmu dan tak sekalipun pandangan kita bertemu. Aku kira kamu tak tau bahwa aku datang ke acara perayaan itu. Kamu juga tak berusaha mencariku ketika kamu tak melihatku diantara kerumunan banyak orang. Apa aku tak spesial lagi? Bukankah kamu yang bilang bahwa aku kan menjadi seorang yang spesial untukmu? Apa kamu sudah lupakan itu? Semua pertanyaan itu terus berkecamuk dalam benakku.
Hingga 16 jam lepas dari acara perayaan itu kamu belum mengirimkan pesan singkat padaku. Iya, selepas perayaan pergantian tahun kamu memutuskan untuk pulang kekampung halaman. Aku juga tau waktu tempuh untuk sampai ke kotamu lebih dari 12 jam. Lalu apa karena kamu terlalu lelah hingga kamu tak sempat memberiku kabar? Ketahuilah, aku sudah benar-benar lelah menunggu kabar dari kamu. Aku selalu menunggu dari pagi hari hingga larut malam dan tak jarang penantian itu sia-sia. Akhir-akhir ini kamu mulai tega membiarkan aku terlelap dalam penantian, dan ketika pagi membangunkanku pesan singkatmu juga tak ada. Apa aku sudah benar-benar tak berarti untukmu?
Padahal dua hari lalu kita sempat bertemu dan masih seperti biasa.. kita menyusuri jalan protokol tanpa memiliki tujuan yang jelas. Kamu juga masih berusaha menggenggam tanganku setiap kali berhenti di lampu merah. Kita bicarakan banyak hal saat itu. Kita bicara tentang masa depan kita masing-masing. Sesungguhnya aku paling benci membicarakan masa depan denganmu. Bukan karena kamu tak punya prinsip hidup yang jelas, tapi karena aku tau masa depan yang kamu bicarakan denganku tak akan pernah bisa kita jalani bersama. Aku tau benar jauh disana ada seorang wanita yang menunggumu untuk pulang, tapi dalam kehidupan nyata hanya aku wanita yang bisa membuatmu lebih kuat dari sebelumnya.
Kali ini aku mulai menanyakan hal yang pernah kamu tanyakan kepadaku diawal perkenalan kita. Kenapa bukan aku yang dapatkan kamu? Kenapa perkenalan ini datang terlambat? Dulu, ketika kamu yang menanyakan hal ini padaku aku menjawabnya dengan santai. Aku bilang perkenalan ini, hubunganmu dengan wanita itu, dan kedekatan kita bukan semata-mata kebetulan saja, suatu saat kita akan tau apa makna dari takdir ini. Namun sekarang ketika kamu sudah berhenti menanyakan hal itu, akulah orang yang berbalik menanyaimu. Lalu apa jawabmu? Jika kamu sempat membaca tulisan ini segeralah beri aku sebuah jawaban yang bisa membuat aku iklas melihatamu kembali pada wanita itu.
Kamu bilang aku acuh, tak peduli denganmu, dan tak pernah menganggapmu spesial. Dari caraku menyapa, caraku bicara, dan caraku memandangmu apa kamu tak rasakan bahwa aku menganggap kamu lebih dari orang spesial? Apa kamu terlalu bodoh untuk memahami situasi hatiku? Atau bahkan kamu tak pernah bedakan bahwa aku menurunkan nada bicaraku ketika aku bicara denganmu. Apa ketidakpekaanmu sudah separah itu? Ayolah, aku ingin kamu mengerti bahwa rasa ini benar-benar datang padaku diwaktu yang salah. Jangan buat aku terus larut dalam perasaan yang salah. Buang aku dari hidupmu dan kembalikan seluruh kepingan hatiku yang diam-diam kamu curi.