“Santai aja..” Buru-buru dia turun dari motor.
“Besok aku berangkat ke Brebes jam 7, tapi aku mau ajak kamu sarapan bareng, bisa?”
“Iya, bisa.”
Pasti bisa, batinku.
Dia menyalakan mesin motor sesaat setelah
aku menutup pintu gerbang kos.
---
Tiba-tiba seseorang
menyentuh pundakku. “Kamu baik-baik aja?” bisiknya lirih.
Kapalaku masih
menunduk saat aku melihat ujung sepatu hitam kesayangannya berada dekat dengan
sepatuku. “Kenapa?” ucapnya sekali lagi.
Belaian
lembutnya membuatku tak kuasa menahan bulir air mata yang sudah lama mengambang
dipelupuk mata. “Masa baru sampek jogja udah nangis aja?” godanya.
“Aku sudah
sering bilang, kamu tipe orang yang gampang percaya sama orang lain. Kadang
saking percayanya kamu sama orang lain sampai-sampai kamu tertipu; seperti
sekarang.” Dia menghela nafas panjang. “Sudah. Kita masih di stasiun lempuyangan
lho, di tujuan terakhir kereta api sri tanjung, dan kamu tau..” Dia berbisik
padaku, “ini tempat umum.”
Seketika aku
mengangkat kepala dan menyeka air mata. Dia memberiku selembar tisu untuk
mengusap ingus yang meluber kesegala arah. “Nah, gini kan enak. Aku jadi ngerasa
ngomong sama orang. Kamu tau gak? Aku dari tadi berasa ngobrol sama bangku di
depan situ.” Tangannya menunjuk deret bangku kosong di hadapan kami.
“Muka kamu
pucat. Kamu sakit? Gimana kalo kamu makan roti dulu?” dia menyodorkan roti
padaku.
Aku menikmati
roti pemberiannya sambil sesenggukan.
“Sudah berapa
lama nunggu disini?”
“Sejam,”
jawabku singkat.
“Waktu tau
temenmu gak ada kamu gak berusaha ngehubungin orang lain?”
“Udah..” Aku
menarik nafas panjang, mencoba merapikan nafas agar tidak sesenggukan lagi. “
Tapi, nomornya gak aktif.”
“Usahamu cuma
gitu aja?” tanyanya lagi
“Jadi gini..” aku
menggeser posisi duduk sampai berhadapan. “Waktu tau temanku gak ada, aku
sempat panik dan duduk disini kaya orang bodho. Aku berusaha otak-atik
phonebook di hape android karena hape BB-ku batrainya abis. Nama pertama yang
terlintas di kepalaku itu Mas **** tapi setelah berkali-kali aku hubungi
nomornya gak aktif. Aku mulai hopeless tuh. Otakku mulai konslet waktu salah
satu dari empat nomer di handphoneku gak bisa dihubungi. Aku sempat kepikiran
buat telfon teman yang lain. Hubunganku sama teman satu ini memang lagi gak
baik tapi dalam situasi seperti ini akhirnya aku rela memurahkan diri untuk
telfon dia lagi. Dan diluar dugaan, aku kira dia bakalan tutup telfon waktu aku
sebutin nama, tapi ternyata dia malah nyapa dengan renyahnya. Sayang, dia lagi
kumpul bareng temannya dan gak bisa jemput aku. Dengan rasa malu campur kecewa
aku tutup telfon.”
Dia
mengangguk. “Untungnya aku lagi di Jogja dan di rumah aja. Jadi waktu baca PM
kamu, aku bisa langsung meluncur kesini.”
“Terimakasih..”
aku tersenyum kecut. “Bukannya sekarang masih masa KKN? Ngapain di Jogja?”
“Aku kabur dari
tempat KKN.”
“Apa iya?” rasanya
jantungku mau copot saat mendengar jawabannya.
Dia tersenyum
tipis, “kamu masih ingat kan kalau aku ikut proyek dosen untuk menghemat biaya
skripsi?” Aku mengangguk. “Aku ke Jogja buat jenguk anakku di kandang karena
sudah waktunya sampling.”
“Sampling?”
kataku heran.
“Iya, sampling.
Sebelum aku mulai proyeknya, aku juga ngelakuin sampling pakai darah dan urin
tikus putih itu. Setelah 91 satu hari dipejanin atau diberi obat sambil
diteliti, si tikus putih harus di sampling lagi. Hampir mirip kaya hari ke nol,
semua tikus putihku diambil darah dan urinnya, tapi untuk hari ke 91 tikus
putih sudah waktunya dibedah untuk diambil organ dalamnya supaya tau efek apa
saja yang timbul pada jantung, limpa, lambung, paru-paru, hati, dan ginjalnya
setelah diberi obat.” Dia menatapku lurus. “Kepo ya?” godanya.
“Lanjutin
ceritanya..” aku merengek dengan wajah memelas. Dia tertawa keras-keras hingga beberapa mata mengarah pada kami.
“Aku lanjutin
nih..” Aku mengangguk. “Tidak semua tikus dibedah hari itu juga. Ada beberapa
tikus yang dibiarkan hidup selama 14 hari lagi. Tujuannya untuk mengetahui efek
yang ditimbulkan setelah pemberian obat dihentikan. Tamat.”
Aku menggeleng
kagum, “kereeen!”
“Karena
ceritanya sudah selesai bagaimana kalau kita pulang?” dia beranjak dari tempat
duduk sambil menenteng barang bawaanku.
Dan aku
mengikutinya dari belakang.