Suara adzan magrib memaksa kita untuk mengakhiri percakapan
yang baru berjalan 10 menit. Walau sama-sama enggan untuk bertemu dan kamu tak
mungkin semerindu aku, percakapan singkat seperti ini benar-benar menyejukkan.
Bulan puasa kemarin, kamu menghabiskan banyak waktu di rumah. Berkali-kali aku
memancingmu keluar dari sarang tapi nyatanya tak pernah berhasil. Kamu
mengajakku menghadiri acara buka puasa bersama tapi aku enggan untuk datang. Iya,
aku takut bertemu kamu.
Waktu itu jam pendalaman bahasa Indonesia, di taman depan
ruang Tata Usaha. Awalnya aku tak menyadari keharian sesosok manusia dengan
rambut ikal sedikit panjang karena aku sedang sibuk menahan rasa kantuk.
Temanku mencoba memberiku isyarat akan kehadiranmu yang waktu itu menggunakan
semacam kaos lengan panjang berwarna hitam biru. Saat aku tau kalau orang yang
temanku maksud adalah kamu, aku segera memalingkan pandangan ke sebuah buku
dipangkuanku. Bukan ingin sok rajin dihadapanmu, tapi aku sedang mengatur ritme
jantungku yang tak karuan. Setelah kupastikan kamu sudah melewati kerumunan
teman sekelasku, aku baru berani mengangkat kepala dan melihat punggungmu yang
terus menjauh.
Ah, kalau aku tau hari itu akan menjadi pertemuan terakhir
kita, aku akan memandang wajahmu lebih lama. Berusaha mencarimu selepas jam
pendalaman dan berusaha bicara banyak denganmu. Kalau kamu baca tulisanku ini,
jangan sekali-kali kamu mentertawakannya. Dalam tulisan ini terlalu banyak
kata-kata yang tak layak publikasi karena semuanya berasal dari hati.
Suara handphone membuyarkan inspirasiku. Telfon dari kamu.
Mengingat percakapan kita beberapa menit lalu terasa hambar, aku jadi enggan untuk
mengangkat telfon darimu, tapi.. berhubung aku adalah seorang yang baik hati,
akhirnya kuangkat telfon dari manusia pesisir macam kamu. Sesuai dengan
perkiraan, kamu menanyakan kabar, ngomong ngelantur, kemudan berhola halo, dan
telfon mati. Sial. Apa akhir percakapannya harus setragis ini?
Dalam ingatanku kamu adalah seorang dengan rambut ikal yang
panjang, walau dalam beberapa pesan singkat kamu coba memberitahuku kalau
sekarang rambut panjangmu hanya tinggal kenangan. Kamu bilang seorang guru
harus berpenampilan rapi, jelas aku cekikikan ketika mendengar alasanmu menyerah
untuk memanjangkan rambut. Walau dulunya aku adalah seorang yang mendukungmu
untuk memanjangkan rambut, tapi ketika melihatmu sadar tentang “kerapian” aku
jadi ikut bersyukur.
Sudah ah.. Aku tak
ingin isi hatiku banyak yang mengetahuinya, apalagi isi hatiku tentang kamu.