8 Oktober 2013

Happy Birthday Kidal..
Baiklah, tahun ini aku tidak akan menyanyikan lagu “Happy Birthday to you” lagi. Suaraku memang dibawah rata-rata, tapi kali ini kamu tak perlu mengomentarinya. Iya, suaraku hanya suara tanpa nada kalau dibandingkan dengan suaramu yang sudah terasa merdu walau terdengar dari ujung telfon dari  ujung telfon. Bahkan sampai saat ini, 3 bulan setelah kamu angkat kaki dari kabupaten Jember pun, suaramu masih sering kudengar dalam sepinya malam.
Ah, aku rindu dengan cara tertawamu yang khas. Setiap kali kita bertemu kau selalu menanyakan sampai mana perkembanganku dalam belajar membaca huruf arab. Setelah mendengar jawabanku yang tak pernah berubah, kamu tertawa dengan keras. Kamu selalu menyebutku dengan sebutan “penghianat” karena kamu yang bukan muslim saja bisa membaca tulisan arab dengan lancar, bahkan mendapat nilai tertinggi di mata pelajaran bahasa Arab. Di sekolahku yang baru aku dituntut untuk bisa membaca Al-Quran. Jadi mau tidak mau aku harus belajar membaca huruf arab. Bagaimana kalau kita adu kemampuan membaca huruf arab sekarang?
Kembali ke acara perayaan ulang tahunmu. Apa kamu masih merayakan ulang tahunmu di tempat yang sama, Pizza Hut? Aku sedang membayangkan kamu merayakan ulang tahun ke-20 dengan sangat meriah, bersama teman-teman barumu di Jogja. Entah kenapa setiap kali mendengar kata Jogja aku menjadi bergidik ngeri. Terasa diseret pada masa dimana kamu berpamitan untuk pergi. Melepaskan kamu pergi ke kota dengan waktu tempuh 12 jam dari Jember itu tidak mudah.
Aku tidak suka makan Pizza, tapi dihari ini satu tahun yang lalu kamu menyeretku ke Pizza Hut untuk merayakan ulang tahunmu. Ah, waktu itu keluargamu sedang berlibur ke Bali, kamu yang sadar akan pentingnya sekolah lebih memilih tinggal di rumah dan merayakan ulang tahunmu hanya bersamaku. Malam ini aku tak bisa mengucapkan selamat karena aku sudah kehabisan cara untuk mencari celah di sosial media untuk menghubungimu, tapi hasilnya nihil.
Sudahlah, hari ini kita sudah memiliki kehidupan yang berbeda. Kamu di Jogja dengan gaya hidup remaja Jogja dan aku di Blitar dengan gaya hidup remaja desa. Aku akan berusaha lebih giat dari sekarang untuk bisa menjemputmu di kota Gudeg. Tahun depan aku sudah menanggalkan seragam abu-abuku dan namaku akan tedaftar di salah satu jurusan di Universitas Gajah Mada.
Harapanku untuk kamu di tahun ini..
Tetaplah menjadi koko terbaik untuk peri cantik berusia 5 tahun itu, menjadi titi terhebat untuk kakak perempuanmu yang lebih mirip dengan chelsi olivia, jadilah putra mahkota paling tangguh untuk ayahmu dan jadilah anak laki-laki yang penuh tanggung jawab demi ibumu.
Dariku, Rahmi


Metamorfosa Cinta 3

Muzaki mengajakku duduk di deret bangku agak belakang. Aula sudah penuh sesak dengan para alumni. Suasanya terasa sangat tenang, semua orang berkonsentrasi pada tauziah yang disampaikan ustad dari salah satu pesantren terkenal di jawa timur. Sesekali aku menoleh ke kanan, melihat wajah Muzaki yang tampak serius.
Aku mulai bosan.
Berkali-kali kucoba mengajak Muzaki untuk meninggalkan aula, berjalan ke tempat yang lebih luas daripada ruang ini, tapi manusia yang satu ini masih sibuk dengan handphone di tangannya. Kumencoba melihat isi pesan yang sedang dia tulis, tapi mata rabun membuat ukuran hurufnya tampak kecil. Rasa mual membuatku berhenti mencari tahu dengan siapa dia berbalas pesan. Setelah banyak cara aku lakukan, akhirnya Muzaki mau beranjak dari tempat duduknya.
“Kita mau kemana?”
“Entahlah…” aku mendahuluinya.
Diujung lorong sana terdapat kelas 3 IPA 1, kelas Muzaki. Pintunya terbuka, itu tandanya kelas akan digunakan untuk ruang makan saat adzan magrib sudah berkumandang. Aku berlari menyusuri lorong. Akhirnya aku behenti didepan pintu kelas 3 IPA 1. 
“Hari Rabu, mata pelajaran seni budaya dan olah raga” Muzaki tertawa.
Aku mengernyitkan dahi, “kenapa tertawa?”
Muzaki memandangku dengan tatapan menyelidik. “Kamu masih ingat dengan ‘Tomat’?”
Aku melotot kearah Muzaki yang tertawa semakin keras.
***
“Rahmi..” aku menoleh kearah suara itu berasal. “Coba kamu kesini.”
“Ada apa pak?”
Beliau membuka buku daftar nilai dan mengeluarkan selembar kertas. “Tolong berikan kertas ini kepada guru yang mengajar di kelas 3 IPA 1”
“Baik pak”
Aku berlari kecil untuk mempersingkat waktu perjalanan. Jarak lapangan basket dengan kelas 3 IPA 1 yang jauh membuat nafasku nyaris putus ketika sampai di depan ruang kelas 3 IPA 1. Sengaja kuhentikan langkah jauh dari pintu masuk kelas supaya aku bisa menata nafas sambil membaca tulisan yang ada di kertas ini. Tapi diluar dugaan ada suara lantang menyambar indra pendengaranku.
“Sedang apa kamu disana! Cepat kemari!”
Aku berusaha menyeret kakiku yang gemetar menuju seorang wanita paruh baya di ambang pintu. “Emm.. anu bu..” kucoba merapikan kondisi kerudung untuk menyamarkan rasa gugup.
“Ona anu!” bentaknya lagi. “Kertas apa itu?” beliau langsung merampas kertas yang ada pada genggamanku. Sejenak pandangannya mengedar diantara siswa yang duduknya saling berkelompok.
“Kamu!” beliau menunjuk salah seorang yang duduk menghadap ke belakang. Lagi-lagi suara guru wanita ini berhasil memecah kegaduhan dalam kelas. “Ada panggilan dari Pak Joko”.
“Emm.. terima kasih bu. Kalau begitu saya permisi dulu” suaraku sedikit bergetar.
“Kamu ini bagaimana? Tidak menjalankan amanah dengan baik,” seluruh mata kini menatapku. “Jadi wanita itu harus tegas, tidak boleh lembek. Dari suaramu saja saya sudah bisa menilai bahwa kamu adalah wanita dengan mental lemah,” aku hanya bisa tertunduk sambil mendengarkan beliau bicara ngelantur.
“Dari mukamu yang memerah seperti tomat, saya rasa kamu adalah seseorang yang pemalu dan bernyali kecil…” tambahnya.
“Permisi bu,” suara yang tak asing ditelingaku. “Apa saya boleh meninggalkan kelas sekarang juga?” kali ini aku memberanikan diri mengangkat kepala, mencari tahu pemilik suara yang tak asing itu.
Ketua? Untuk kesekian kalinya dia membuat jantungku rontok. Aku masih mematung dihadapannya, sedang guru dengan volume suara sterio itu sudah kembali ke tempat duduknya setelah mempersilahkan Ketua meninggalkan kelas. Ketua hanya melempar sedikit senyum padaku, melewatiku, dan berlalu begitu saja.
Buru-buru aku mengekor dibelakangnya. Dari sini aku hanya bisa melihat punggung Ketua dibalut dengan baju seragam yang mulai menguning. Aku mengumpat dalam hati atas kejadian didepan kelas tadi. Sejak saat ini aku kibarkan berdera perang kepada guru seni budaya itu, karena guru wanita itu telah menghancurkan reputasiku dihadapan Ketua.

“Terima kasih,” dilanjut dengan tawa yang meledak. “Kamu adalah siswa dengan mental diamond, maka dari itu Pak Joko menyuruhmu mengantar surat ke kelasku saat jam pelajaran Bu Nasti belangsung”

Metamorfosa Cinta 2


Hari terakhir masa orientasi siswa. Seluruh siswa baru berkumpul untuk melaksanakan upacara penutupan. Tak peduli dengan terik matahari yang membuat muka bagian kanan terbakar hebat, para anggota OSIS masih terus berteriak lantang saat menata barisan sesuai dengan gugusnya masing-masing.
Sementara di sudut lain terlihat beberapa anggota OSIS membentuk sebuah kerumunan. Salah seorang dari mereka terlihat membentak anggota  lainnya dengan wajah penuh emosi. Sesekali dua orang anggota OSIS laki-laki berbadan sama tinggi saling beradu mulut, sedang anggota OSIS yang lain hanya melongo melihat kelakuan dua orang itu. Tak lama setalah adu mulut, salah seorang dari anggota OSIS berbadan tinggi itu memisahkan diri dari kerumunan.
Anggota OSIS itu berjalan menuju tempat teduh di tepi lapangan upacara. Jaraknya sekitar 12 meter dari tempatku berdiri. Matanya menerawang diantara ratusan siswa baru yang kini telah berbaris rapi. Tanpa sengaja matanya bertemu dengan mataku yang sedari tadi mengamati gerak geriknya. Sorot matanya tampak seperti predator yang sedang mengintai mangsa. Sedetik kemudian aku tak lagi melihatnya duduk di tempat semula. Dengan sorot mata yang tak berubah dia berlari melintasi lapangan.
Jarakku dengan salah seorang anggota OSIS itu semakin dekat, matanya terus memelototiku. Aku mulai salah tingkah. Ini hari terakhir, hanya menunggu penutupan pekan orientasi siswa saja, kesalahan apa yang aku buat? Detak jantungku semakin tak karuan. Sontak aku menundukkan kepala untuk menghindari sorot matanya yang begitu menakutkan.
Sekarang aku bisa melihat ujung sepatu anggota OSIS itu. Dari jarak sedekat ini tentu saja aku bisa mendengar suara nafasnya yang terengah-engah. Apa yang akan dia lakukan, batinku.
“Angkat kepalamu..” suaranya putus-putus.
Engsel kepalaku rasanya kaku karena takut melihat sorot mata predator yang sejak tadi dia tujukan padaku.
“Angkat kepalamu!!” teriakannya membuat siswa lain memandang kearahku.
Perlahan kuangkat kepalaku. “Bagus. Pandangan tetap lurus”
Dia masih betah berdiri dihadapanku. Sementara banyak mata menyaksikan wajahku yang memerah karena menahan tangis, bahkan ekor mataku bisa menangkap bayangan beberapa orang anggota OSIS perempuan yang sedang berbisik dengan rekannya di sudut sana. Sebenarnya apa yang sedang dia amati dari aku yang hampir mati gugup ini?
“Ikut aku..” dia menarik lenganku dengan kasar. Menyeretku kearah kerumunan anggota OSIS diujung lapangan.
“Aku dapat penggantinya,” semua senior melihat kearahku. Aku masih tertunduk. “Cepat panggil para petugas upacara lainnya. Kita berikan arahan sekali lagi.”
“Siap ketua” sahut seorang perempuan berkerudung.
Setelah sepuluh menit pengarahan aku sudah berdiri di deretan petugas upacara, sebagai pengibar bendera. Tanpa persiapan apa pun aku dipaksa menuruti perintah anggota OSIS. Semoga tak ada insiden bendera terbalik, mengingat aku bukan anggota paskibra saat di SMP dan aku tak punya kesempatan sama sekali untuk latihan.
Protokol mulai membacakan satu persatu susunan acara. Rasa gugup mulai merasuki akal sehatku. Bulir-bulir keringan telah membasahi sekujur tubuhku. Aku masih kebingungan dengan pengarahan yang telah di berikan anggota OSIS tadi, tapi sekarang? Sekarang aku sudah berdiri disini dengan baju seragam putih-putih.

“Semangat!” seseorang berkata lirih dari belakang. Spontan aku menoleh, kudapati wajah anggota OSIS yang menyeretku dalam masalah ini sedang tersenyum riang. Aku membalasnya dengan senyum kecut.

Metamorfosa Cinta 1


Sekali lagi aku menghela nafas. Entah setan macam apa yang membuatku nekat menghadiri acara buka bersama seperti ini. Sejak setengah jam lalu aku mengamati satu persatu manusia yang lalu lalang di depan mobilku dan tak seorang manusia pun yang ku kenal. Kucoba menghubungi beberapa teman SMA untuk menemaniku masuk ke dalam acara membosankan ini, tapi tak satu pun dari mereka membalas pesan singkatku.
Aku sedang asik mengutuk diri saat seseorang mengetuk kaca mobilku. Ternyata seorang laki-laki dengan hem dan celana jins. Dari gaya berpakaiannya yang terkesan rapi sepertinya dia bukan orang desa biasa. Wajahnya tidak asing, mungkin dia beberapa tahun diatasku. Lagi-lagi kaca mobilku diketuknya. Kali ini dia melambaikan tangan, memberi isyarat agar aku cepat keluar. Sebelum keluar dari mobil, kurapikan kerudung pasmina biru di kepalaku.
“Rahmi?”
“Iya” jawabku singkat.
“Mau masuk kedalam bersamaku?”
“Iya” tanpa memandang wajahnya aku langsung melenggang pergi meninggalkan dia yang masih mematung.
Dia berlari kecil agar bisa mengimbangi langkah kakiku.“Bagaimana kabarmu, dik?”
“Baik”
Aku dan dia jalan beriringan tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Tangannya menekan tombol di handphonenya, mungkin dia sedang menulis pesan singkat untuk pacar atau bahkan istrinya. Sedang aku  membuka dokumen lama dalam otakku untuk mencari tahu siapa dia, tapi hasilnya nihil. Mendadak suasana menjadi ramai saat memasuki lobi, kepalaku mulai pusing ketika melihat lautan manusia seperti ini.
Kurasakan ada seseorang menarik tanganku. Beberapa kali aku menabrak segerombolan orang saat laki-laki yang sejak tadi bersamaku menerobos lautan manusia dengan kasar. Laki-laki itu terus menarik tanganku hingga ujung lobi, hanya beberapa orang yang berdiri disana. Cukup lama aku dan dia berdiri di ujung lobi, tampaknya laki-laki satu ini sedang mencari seseorang.
Tiba-tiba dia menarik tanganku, berlari menuju seseorang yang duduk di bawah pohon.
“Hai, apa kabar muz?” sapa orang itu dari kejauhan.
“Alhamdulillah, kabar baik. Kamu sendiri apa kabar?”
“Alhamdulillah, kabarku jauh lebih baik dari kamu.” mereka tertawa bersama.
Aku menjauh dari mereka berdua yang sedang larut dalam nostalgia. Mereka berbincang-bincang cukup lama. Sebenarnya aku tak begitu peduli dengan apa yang mereka bicarakan, tapi dari pembicaraan itu aku bisa menarik kesimpulan bahwa laki-laki yang sedari tadi bersamaku bernama Muz. Setelah mengeluarkan selembar 50 ribu dari dalam dompetnya, Muz menghampiriku dan memberi dua lembar tiket masuk.
Dalam tiket itu ada nama panjangku dan nama panjangnya. Ahmad Muzaki. Aku melongo melihat nama yang ada di dalam tiket itu.
“Kenapa?”
Muzaki hanya tersenyum melihat ekspresi wajahku. Senyuman yang bisa merontakkan isi dadaku. Aku masih menikmati detak jantung dengan irama tidak karuan ini. Kaget? Jelas.
“Hello..” Muzaki melambaikan tangannya di depan wajahku.
“Ini benar mas Muzaki?”
“Iya, apa kamu lupa?”
“Aku tidak lupa. Hanya saja…” aku mencoba mengontrol rasa bahagia yang meledak ledak dalam hati. “Penampilanmu sangat berubah, mas.”
Muzaki tertawa mendengar jawaban atas pertanyaannya. “Mungkin itu hanya perasaanmu saja. Tak ada yang berubah dik, saya masih sama seperti dulu,” senyum Muzaki mengembang. “Hmm… bagaimana kalau kita masuk kedalam aula? Mendengarkan sedikit tauziah sambil menunggu adzan magrib”

Aku mengangguk dan berjalan dibelakangnya. 

Untuk Orang Nomor Satu (Tugas Ospek)

Dengan hormat,
Pertama-tama saya ingin mengucapkan selamat kepada bapak presiden yang sudah memenangkan hati 70.997.833 rakyat Indonesia pada tanggal 9 Juli lalu. Pada hari pemilihan orang nomor satu di Indonesia saya ikut berpartisipasi menyumbangkan suara saya, saat itu saya hanya bisa berdoa semoga Indonesia diberi pemimpin yang penuh tanggung jawab, saya juga berharap semoga kelak Indonesia bisa lebih baik lagi dibawah naungan bapak presiden. Sejujurnya sudah banyak sekali rakyat yang haus dengan bukti, sedangkan rakyat kecil yang perutnya keroncongan sudah kenyang dengan janji. Saya selalu berdoa semoga bapak presiden yang akan menjadi bapak dari seluruh rakyat Indonesia bisa dengan lapang dada menerima masukan dari rakyat jelata.
Bapak presiden yang saya banggakan, banyak hal yang ingin saya sampaikan. Saya ingin bapak mendengar suara rakyat lebih jelas lagi. Saya tahu, saya hanya mahasiswa tingkat satu yang masih ingusan, minim pengetahuan tentang politik dan intrik, saya juga tak begitu mengerti tentang dampak dari kebijakan yang sering para presiden terdahulu ambil, tapi kali ini saya memutuskan untuk buka mulut. Saya tidak sedang mengomentari kinerja pemimpin negara yang terdahulu, tapi saya hanya ingin menyampaikan aspirasi saya lewat sepucuk surat.
Sedikit bercerita tentang kehidupan pribadi saya, saya hanya seorang mahasiswi yang memiliki hobi menari. Dari menari saya bisa mendapatkan banyak pelajaran, karena selain menggerakkan tubuh mengikuti irama tarian tradisional Indonesia juga memiliki makna mendalam. Masih ingatkah bapak presidenku tentang kontroversi tari pendet ditahun 2009? Waktu itu usia saya masih sangat belia, tapi sungguh hati ini merasa ikut kehilangan ketika mendengar kabar bahwa tarian asli pulau dewata itu diklaim sebagai budaya negara tetangga. Tak dapat dipungkiri bahwa tari pendet yang biasa ditampilkan sebagai bagian dari upacara penyambutan para tamu agung di pulau wisata Bali dapat menarik minat turis asing untuk mempelajarinya, karena tanpa mengurangi kesakralan dan religiusnya para penari wanita membawakan dengan hati.
Dari situ saya tahu bahwa semua yang tak ingin bangsa Indonesia banggakan justru menjadi daya tarik yang luar biasa bagi turis asing. Dari situ juga saya mengerti bahwa peran pemerintah dalam meyakinkan warganya untuk melestarikan budaya daerah masih sangat kecil. Saya harap bapak bisa memotivasi rakyat Indonesia untuk lebih peduli terhadap kebudayaannya. Serta membuat rakyat indonesia percaya diri dengan apa yang mereka miliki.
Orang nomor satu yang saya banggakan, saya tidak ingin merepotkan atau bahkan menambah jumlah beban yang sudah bapak bawa dipundak. Tapi saya hanya ingin mengingatkan bahwa nasip Indonesia lima tahun ke depan ada pada anda, entah itu rakyatnya atau pun budayanya berada dalam genggaman seorang pemimpin yang tegas seperti anda. Mayoritas rakyat Indonesia memilih anda, jangan buat mereka kecewa hanya karena hal sepele seperti kehilangan tradisi nenek moyangnya. Presidenku, anda adalah orang yang sangat berpengaruh di negeri ini. Apapun yang anda lakukan akan sangat membekas dihati rakyat, maka ukirlah kenangan indah dalam relung hati rakyat Indonesia.
Sekian surat yang saya buat untuk orang nomor satu di negaraku tercinta.


Hormat Saya,