Sekali lagi aku menghela nafas. Entah setan macam apa yang membuatku nekat menghadiri acara buka bersama seperti ini. Sejak setengah jam lalu aku mengamati satu persatu manusia yang lalu lalang di depan mobilku dan tak seorang manusia pun yang ku kenal. Kucoba menghubungi beberapa teman SMA untuk menemaniku masuk ke dalam acara membosankan ini, tapi tak satu pun dari mereka membalas pesan singkatku.
Aku sedang asik mengutuk diri saat
seseorang mengetuk kaca mobilku. Ternyata seorang laki-laki dengan hem dan
celana jins. Dari gaya berpakaiannya yang terkesan rapi sepertinya dia bukan
orang desa biasa. Wajahnya tidak asing, mungkin dia beberapa tahun diatasku.
Lagi-lagi kaca mobilku diketuknya. Kali ini dia melambaikan tangan, memberi
isyarat agar aku cepat keluar. Sebelum keluar dari mobil, kurapikan kerudung
pasmina biru di kepalaku.
“Rahmi?”
“Iya” jawabku singkat.
“Mau masuk kedalam bersamaku?”
“Iya” tanpa memandang wajahnya aku
langsung melenggang pergi meninggalkan dia yang masih mematung.
Dia berlari kecil agar bisa
mengimbangi langkah kakiku.“Bagaimana kabarmu, dik?”
“Baik”
Aku dan dia jalan beriringan tanpa
mengeluarkan sepatah kata pun. Tangannya menekan tombol di handphonenya,
mungkin dia sedang menulis pesan singkat untuk pacar atau bahkan istrinya.
Sedang aku membuka dokumen lama dalam
otakku untuk mencari tahu siapa dia, tapi hasilnya nihil. Mendadak suasana
menjadi ramai saat memasuki lobi, kepalaku mulai pusing ketika melihat lautan
manusia seperti ini.
Kurasakan ada seseorang menarik
tanganku. Beberapa kali aku menabrak segerombolan orang saat laki-laki yang sejak
tadi bersamaku menerobos lautan manusia dengan kasar. Laki-laki itu terus
menarik tanganku hingga ujung lobi, hanya beberapa orang yang berdiri disana. Cukup
lama aku dan dia berdiri di ujung lobi, tampaknya laki-laki satu ini sedang
mencari seseorang.
Tiba-tiba dia menarik tanganku,
berlari menuju seseorang yang duduk di bawah pohon.
“Hai, apa kabar muz?” sapa orang
itu dari kejauhan.
“Alhamdulillah, kabar baik. Kamu
sendiri apa kabar?”
“Alhamdulillah, kabarku jauh lebih
baik dari kamu.” mereka tertawa bersama.
Aku menjauh dari mereka berdua
yang sedang larut dalam nostalgia. Mereka berbincang-bincang cukup lama.
Sebenarnya aku tak begitu peduli dengan apa yang mereka bicarakan, tapi dari
pembicaraan itu aku bisa menarik kesimpulan bahwa laki-laki yang sedari tadi bersamaku
bernama Muz. Setelah mengeluarkan selembar 50 ribu dari dalam dompetnya, Muz
menghampiriku dan memberi dua lembar tiket masuk.
Dalam tiket itu ada nama panjangku
dan nama panjangnya. Ahmad Muzaki. Aku melongo melihat nama yang ada di dalam
tiket itu.
“Kenapa?”
Muzaki hanya tersenyum melihat
ekspresi wajahku. Senyuman yang bisa merontakkan isi dadaku. Aku masih
menikmati detak jantung dengan irama tidak karuan ini. Kaget? Jelas.
“Hello..” Muzaki melambaikan
tangannya di depan wajahku.
“Ini benar mas Muzaki?”
“Iya, apa kamu lupa?”
“Aku tidak lupa. Hanya saja…” aku
mencoba mengontrol rasa bahagia yang meledak ledak dalam hati. “Penampilanmu
sangat berubah, mas.”
Muzaki tertawa mendengar jawaban
atas pertanyaannya. “Mungkin itu hanya perasaanmu saja. Tak ada yang berubah
dik, saya masih sama seperti dulu,” senyum Muzaki mengembang. “Hmm… bagaimana
kalau kita masuk kedalam aula? Mendengarkan sedikit tauziah sambil menunggu
adzan magrib”
Aku mengangguk dan berjalan
dibelakangnya.
Aku suka gaya bahasa yang kamu gunakan...natural :)
BalasHapus