Muzaki mengajakku duduk di deret
bangku agak belakang. Aula sudah penuh sesak dengan para alumni. Suasanya
terasa sangat tenang, semua orang berkonsentrasi pada tauziah yang disampaikan
ustad dari salah satu pesantren terkenal di jawa timur. Sesekali aku menoleh ke
kanan, melihat wajah Muzaki yang tampak serius.
Aku mulai bosan.
Berkali-kali kucoba mengajak
Muzaki untuk meninggalkan aula, berjalan ke tempat yang lebih luas daripada
ruang ini, tapi manusia yang satu ini masih sibuk dengan handphone di tangannya.
Kumencoba melihat isi pesan yang sedang dia tulis, tapi mata rabun membuat
ukuran hurufnya tampak kecil. Rasa mual membuatku berhenti mencari tahu dengan
siapa dia berbalas pesan. Setelah banyak cara aku lakukan, akhirnya Muzaki mau
beranjak dari tempat duduknya.
“Kita mau kemana?”
“Entahlah…” aku mendahuluinya.
Diujung lorong sana terdapat kelas
3 IPA 1, kelas Muzaki. Pintunya terbuka, itu tandanya kelas akan digunakan
untuk ruang makan saat adzan magrib sudah berkumandang. Aku berlari menyusuri
lorong. Akhirnya aku behenti didepan pintu kelas 3 IPA 1.
“Hari Rabu, mata pelajaran seni budaya
dan olah raga” Muzaki tertawa.
Aku mengernyitkan dahi, “kenapa
tertawa?”
Muzaki memandangku dengan tatapan
menyelidik. “Kamu masih ingat dengan ‘Tomat’?”
Aku melotot kearah Muzaki yang
tertawa semakin keras.
***
“Rahmi..” aku menoleh kearah suara
itu berasal. “Coba kamu kesini.”
“Ada apa pak?”
Beliau membuka buku daftar nilai
dan mengeluarkan selembar kertas. “Tolong berikan kertas ini kepada guru yang
mengajar di kelas 3 IPA 1”
“Baik pak”
Aku berlari kecil untuk mempersingkat
waktu perjalanan. Jarak lapangan basket dengan kelas 3 IPA 1 yang jauh membuat
nafasku nyaris putus ketika sampai di depan ruang kelas 3 IPA 1. Sengaja
kuhentikan langkah jauh dari pintu masuk kelas supaya aku bisa menata nafas
sambil membaca tulisan yang ada di kertas ini. Tapi diluar dugaan ada suara
lantang menyambar indra pendengaranku.
“Sedang apa kamu disana! Cepat
kemari!”
Aku berusaha menyeret kakiku yang
gemetar menuju seorang wanita paruh baya di ambang pintu. “Emm.. anu bu..” kucoba
merapikan kondisi kerudung untuk menyamarkan rasa gugup.
“Ona anu!” bentaknya lagi. “Kertas
apa itu?” beliau langsung merampas kertas yang ada pada genggamanku. Sejenak
pandangannya mengedar diantara siswa yang duduknya saling berkelompok.
“Kamu!” beliau menunjuk salah
seorang yang duduk menghadap ke belakang. Lagi-lagi suara guru wanita ini
berhasil memecah kegaduhan dalam kelas. “Ada panggilan dari Pak Joko”.
“Emm.. terima kasih bu. Kalau
begitu saya permisi dulu” suaraku sedikit bergetar.
“Kamu ini bagaimana? Tidak
menjalankan amanah dengan baik,” seluruh mata kini menatapku. “Jadi wanita itu
harus tegas, tidak boleh lembek. Dari suaramu saja saya sudah bisa menilai
bahwa kamu adalah wanita dengan mental lemah,” aku hanya bisa tertunduk sambil
mendengarkan beliau bicara ngelantur.
“Dari mukamu yang memerah seperti
tomat, saya rasa kamu adalah seseorang yang pemalu dan bernyali kecil…”
tambahnya.
“Permisi bu,” suara yang tak asing
ditelingaku. “Apa saya boleh meninggalkan kelas sekarang juga?” kali ini aku
memberanikan diri mengangkat kepala, mencari tahu pemilik suara yang tak asing
itu.
Ketua? Untuk kesekian kalinya dia membuat
jantungku rontok. Aku masih mematung dihadapannya, sedang guru dengan volume
suara sterio itu sudah kembali ke tempat duduknya setelah mempersilahkan Ketua
meninggalkan kelas. Ketua hanya melempar sedikit senyum padaku, melewatiku, dan
berlalu begitu saja.
Buru-buru aku mengekor
dibelakangnya. Dari sini aku hanya bisa melihat punggung Ketua dibalut dengan
baju seragam yang mulai menguning. Aku mengumpat dalam hati atas kejadian
didepan kelas tadi. Sejak saat ini aku kibarkan berdera perang kepada guru seni
budaya itu, karena guru wanita itu telah menghancurkan reputasiku dihadapan
Ketua.
“Terima kasih,” dilanjut dengan
tawa yang meledak. “Kamu adalah siswa dengan mental diamond, maka dari itu Pak Joko menyuruhmu mengantar surat ke
kelasku saat jam pelajaran Bu Nasti belangsung”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar