Hari terakhir masa orientasi siswa. Seluruh siswa baru berkumpul untuk melaksanakan upacara penutupan. Tak peduli dengan terik matahari yang membuat muka bagian kanan terbakar hebat, para anggota OSIS masih terus berteriak lantang saat menata barisan sesuai dengan gugusnya masing-masing.
Sementara di sudut lain terlihat
beberapa anggota OSIS membentuk sebuah kerumunan. Salah seorang dari mereka
terlihat membentak anggota lainnya
dengan wajah penuh emosi. Sesekali dua orang anggota OSIS laki-laki berbadan
sama tinggi saling beradu mulut, sedang anggota OSIS yang lain hanya melongo melihat
kelakuan dua orang itu. Tak lama setalah adu mulut, salah seorang dari anggota
OSIS berbadan tinggi itu memisahkan diri dari kerumunan.
Anggota OSIS itu berjalan menuju
tempat teduh di tepi lapangan upacara. Jaraknya sekitar 12 meter dari tempatku
berdiri. Matanya menerawang diantara ratusan siswa baru yang kini telah
berbaris rapi. Tanpa sengaja matanya bertemu dengan mataku yang sedari tadi
mengamati gerak geriknya. Sorot matanya tampak seperti predator yang sedang
mengintai mangsa. Sedetik kemudian aku tak lagi melihatnya duduk di tempat
semula. Dengan sorot mata yang tak berubah dia berlari melintasi lapangan.
Jarakku dengan salah seorang
anggota OSIS itu semakin dekat, matanya terus memelototiku. Aku mulai salah
tingkah. Ini hari terakhir, hanya menunggu penutupan pekan orientasi siswa
saja, kesalahan apa yang aku buat? Detak jantungku semakin tak karuan. Sontak
aku menundukkan kepala untuk menghindari sorot matanya yang begitu menakutkan.
Sekarang aku bisa melihat ujung
sepatu anggota OSIS itu. Dari jarak sedekat ini tentu saja aku bisa mendengar
suara nafasnya yang terengah-engah. Apa yang akan dia lakukan, batinku.
“Angkat kepalamu..” suaranya putus-putus.
Engsel kepalaku rasanya kaku
karena takut melihat sorot mata predator yang sejak tadi dia tujukan padaku.
“Angkat kepalamu!!” teriakannya
membuat siswa lain memandang kearahku.
Perlahan
kuangkat kepalaku. “Bagus. Pandangan tetap lurus”
Dia masih betah berdiri dihadapanku.
Sementara banyak mata menyaksikan wajahku yang memerah karena menahan tangis,
bahkan ekor mataku bisa menangkap bayangan beberapa orang anggota OSIS
perempuan yang sedang berbisik dengan rekannya di sudut sana. Sebenarnya apa
yang sedang dia amati dari aku yang hampir mati gugup ini?
“Ikut aku..” dia menarik lenganku
dengan kasar. Menyeretku kearah kerumunan anggota OSIS diujung lapangan.
“Aku dapat penggantinya,” semua
senior melihat kearahku. Aku masih tertunduk. “Cepat panggil para petugas
upacara lainnya. Kita berikan arahan sekali lagi.”
“Siap ketua” sahut seorang
perempuan berkerudung.
Setelah sepuluh menit pengarahan
aku sudah berdiri di deretan petugas upacara, sebagai pengibar bendera. Tanpa
persiapan apa pun aku dipaksa menuruti perintah anggota OSIS. Semoga tak ada
insiden bendera terbalik, mengingat aku bukan anggota paskibra saat di SMP dan
aku tak punya kesempatan sama sekali untuk latihan.
Protokol mulai membacakan satu
persatu susunan acara. Rasa gugup mulai merasuki akal sehatku. Bulir-bulir
keringan telah membasahi sekujur tubuhku. Aku masih kebingungan dengan pengarahan
yang telah di berikan anggota OSIS tadi, tapi sekarang? Sekarang aku sudah
berdiri disini dengan baju seragam putih-putih.
“Semangat!” seseorang berkata
lirih dari belakang. Spontan aku menoleh, kudapati wajah anggota OSIS yang
menyeretku dalam masalah ini sedang tersenyum riang. Aku membalasnya dengan
senyum kecut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar