Metamorfosa Cinta 2


Hari terakhir masa orientasi siswa. Seluruh siswa baru berkumpul untuk melaksanakan upacara penutupan. Tak peduli dengan terik matahari yang membuat muka bagian kanan terbakar hebat, para anggota OSIS masih terus berteriak lantang saat menata barisan sesuai dengan gugusnya masing-masing.
Sementara di sudut lain terlihat beberapa anggota OSIS membentuk sebuah kerumunan. Salah seorang dari mereka terlihat membentak anggota  lainnya dengan wajah penuh emosi. Sesekali dua orang anggota OSIS laki-laki berbadan sama tinggi saling beradu mulut, sedang anggota OSIS yang lain hanya melongo melihat kelakuan dua orang itu. Tak lama setalah adu mulut, salah seorang dari anggota OSIS berbadan tinggi itu memisahkan diri dari kerumunan.
Anggota OSIS itu berjalan menuju tempat teduh di tepi lapangan upacara. Jaraknya sekitar 12 meter dari tempatku berdiri. Matanya menerawang diantara ratusan siswa baru yang kini telah berbaris rapi. Tanpa sengaja matanya bertemu dengan mataku yang sedari tadi mengamati gerak geriknya. Sorot matanya tampak seperti predator yang sedang mengintai mangsa. Sedetik kemudian aku tak lagi melihatnya duduk di tempat semula. Dengan sorot mata yang tak berubah dia berlari melintasi lapangan.
Jarakku dengan salah seorang anggota OSIS itu semakin dekat, matanya terus memelototiku. Aku mulai salah tingkah. Ini hari terakhir, hanya menunggu penutupan pekan orientasi siswa saja, kesalahan apa yang aku buat? Detak jantungku semakin tak karuan. Sontak aku menundukkan kepala untuk menghindari sorot matanya yang begitu menakutkan.
Sekarang aku bisa melihat ujung sepatu anggota OSIS itu. Dari jarak sedekat ini tentu saja aku bisa mendengar suara nafasnya yang terengah-engah. Apa yang akan dia lakukan, batinku.
“Angkat kepalamu..” suaranya putus-putus.
Engsel kepalaku rasanya kaku karena takut melihat sorot mata predator yang sejak tadi dia tujukan padaku.
“Angkat kepalamu!!” teriakannya membuat siswa lain memandang kearahku.
Perlahan kuangkat kepalaku. “Bagus. Pandangan tetap lurus”
Dia masih betah berdiri dihadapanku. Sementara banyak mata menyaksikan wajahku yang memerah karena menahan tangis, bahkan ekor mataku bisa menangkap bayangan beberapa orang anggota OSIS perempuan yang sedang berbisik dengan rekannya di sudut sana. Sebenarnya apa yang sedang dia amati dari aku yang hampir mati gugup ini?
“Ikut aku..” dia menarik lenganku dengan kasar. Menyeretku kearah kerumunan anggota OSIS diujung lapangan.
“Aku dapat penggantinya,” semua senior melihat kearahku. Aku masih tertunduk. “Cepat panggil para petugas upacara lainnya. Kita berikan arahan sekali lagi.”
“Siap ketua” sahut seorang perempuan berkerudung.
Setelah sepuluh menit pengarahan aku sudah berdiri di deretan petugas upacara, sebagai pengibar bendera. Tanpa persiapan apa pun aku dipaksa menuruti perintah anggota OSIS. Semoga tak ada insiden bendera terbalik, mengingat aku bukan anggota paskibra saat di SMP dan aku tak punya kesempatan sama sekali untuk latihan.
Protokol mulai membacakan satu persatu susunan acara. Rasa gugup mulai merasuki akal sehatku. Bulir-bulir keringan telah membasahi sekujur tubuhku. Aku masih kebingungan dengan pengarahan yang telah di berikan anggota OSIS tadi, tapi sekarang? Sekarang aku sudah berdiri disini dengan baju seragam putih-putih.

“Semangat!” seseorang berkata lirih dari belakang. Spontan aku menoleh, kudapati wajah anggota OSIS yang menyeretku dalam masalah ini sedang tersenyum riang. Aku membalasnya dengan senyum kecut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar