Warung Anglo dan Segelas Root Beer

Sebelumnya Tugu Jogja


Jalanan masih tampak basah akibat hujan tadi sore tapi aku masih kukuh ingin ikut rapat dengan pimpinan redaksinya. Meski udara berhembus dingin dan rapat kali ini tak mungkin selesai dibawah jam 12 malam tapi sekali lagi; aku ikut. Sepanjang perjalanan kamu terus berkicau menyalahkan gaya berpakaianku yang malam ini mengenakan tangtop berbalut kaos tipis dengan belahan dada rendah.

"Anglo lagi.." grutunya.

"Kenapa? Gak suka? Tempatnya enak kok" kataku.

"Iya, tempatnya enak tapi setiap kali ke Anglo kesannya mau rapat. Bukan mau nongkrong happy sama teman."

"Makanya aku ikut, biar kita berasa nongkrong cantik" ucapku sembari memilih duduk di sebuah banggu yang terbuat dari drum bekas.

Seorang wanita menghampiri kami untuk menyodorkan daftar menu. Aku masih asik memilih menu saat tiba-tiba dia menarik daftar menu dari tanganku. "Sudah gausa kebanyakan milih, disini menu andalannya Root Beer. Kita pesan itu aja," ucapnya berbisik. Bodohnya aku hanya mengangguk pasrah mengiyakan tawarannya padahal aku belum tau bagaimana rasanya Root Beer.

"Tenang, minumannya halal kok. Gak beralkohol dan yang jelas gak bikin kamu mabuk," tambahnya.

Kali ini seorang pria dengan nampan berisi dua gelas Root Beer mendatangi meja kami. "Terima kasih," katanya.

Tangannya dengan sigap membuang kedua sedotan yang ada di dalam gelas. "He! Kenapa?" ucapku kesal.

"Kowe ki.. ngombe beer mosok gawe sedotan." matanya memelototiku.

"Eheeem.. ketika orang batak sudah bisa bahasa Jogja," kataku.

"Rasis wooy" katanya sambil terkekeh.

"Kamu tau gak kenapa aku ngeyel minta ikut kamu rapat?" ucapku lirih.

Dia hanya menggeleng dan menatapku lurus.

"Aku kangen kamu," seketika kepalaku tertunduk malu.

"Terus?"

"Yaudah, aku kangen kamu."

"Terus aku harus gimana?"

"Gak tau. Jangankan kamu, aku aja yang kangen bingung harus gimana."

Hening.

Aku mengamati gelas besar yang luarnya berembun, menyisakan sedikit genangan air di meja. "Mungkin dulu aku belum bisa terima kalau kamu sibuk dengan skripsi. Mungkin dulu aku juga belum bisa terima sama situasi dimana kamu bicara panjang lebar tentang perasaanmu ke aku tapi akhirnya kamu malah jadian sama yang lain hanya karena kita beda iman," aku bicara sambil melirik kearahnya. "Tapi sekarang aku sudah bisa terima dan aku kangen kamu."

Dia hanya diam. Menatapku dalam.

"Kamu harus cari pacar, Ra" tangannya meraih tanganku dan menggenggamnya lama. "Cinta dari orang tua dan adik-adikmu memang sudah lebih dari cukup, tapi kamu juga butuh cinta yang lain," lanjutnya.

"Kenapa? Sekarang aku sudah punya kamu. Aku nyaman sama kamu. Saking nyamannya sampai-sampai aku ngerasa kalau aku gak butuh pacar lagi."

"Ra.. aku gak mau denger apa pun alasan dari kamu. Mulai sekarang coba kamu buka hati dan mulai cari pacar."

"Cariin," ucapku ketus.

Dia hanya diam lalu menyalakan sepuntung rokok dalam genggamannya.

"Saranku, kamu jangan pacaran sama orang dari lingkungan kita."

"Kenapa?"

"Kamu taulah, ketika kita berada di lingkungan yang sama, kita sering ketemu, kemudian kamu jadian sama salah seorang dari 'kita', terus pait paitnya kalian putus, apa yang terjadi? Musuhan" jelasnya.

Aku masih menatap matanya menanti kalimat selanjutnya.

"Kita berdua sudah pernah mengalami itu semua. Dari kita yang gak kenal, terus kita kenal. Dari kita yang hambar biasa aja sampai akhirnya kita punya rasa satu sama lain. Dari kita yang baik-baik saja, sampai dengan tololnya aku membuat keputusan untuk berhenti perjuangin kita dan lebih memilih untuk jelan bareng orang lain. Apa yang kita lakukan setelah itu? Setiap kali ketemu kita cuma berani saling tatap tapi gak berani saling sapa," lanjutnya.

Aku mengangguk pelan.

Dia menarik nafas panjang lalu berkata, "Aku minta maaf karena kejadian tempo hari. Kamu gak salah, pacarku juga gak salah, yang salah aku. Harusnya aku kasih penjelasan ke kalian berdua. Aku kenalin kamu ke dia secara baik-baik biar gak terkesan aku sembunyiin kamu dari dia. Maaf.."

"Mellow banget sih.." ucapku terkekeh. "Santai aja yoo, sekarang semuanya sudah baik-baik saja."

"Aku serius!" bentaknya.

"Hei, sama cewek kok ngomongnya pakai nada tinggi," ucap seorang lelaki sembari menyentuh pundaknya.

"Hehehe.. abis ceweknya ngeselin kaya dia," jari telunjuknya mengarah padaku.

Aku hanya bisa nyengir kuda mendengar ucapannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar