Apa aku benar-benar merindukan kamu?
Dua jam lalu aku mendatangi tempat kosmu, bukan untuk bertemu kamu lagi, tapi untuk bertemu orang lain. Dengan penuh rasa canggung aku menyusuri lorong dan melewati beberapa kamar kos. Kamar di ujung lorong ini adalah kamarmu, kamar yang biasa aku masuki dan berbagi banyak hal dengan kamu. Segerombolan lelaki tampan sedang asik berbincang didepan sebuah kamar dengan pintu tertutup dengan lampu padam. Aku tau kamu ada di dalam kamar berukuran 3x3 itu. Kamu suka mematikan lampu saat tidur. Aku tau.. kamu suka tidur pagi, bangun pagi, dan tidur dari siang hingga malam hari. Jam tidurmu terbalik. Aku tau!
Aku habiskan banyak waktu untuk berbincang dengan sesorang yang namanya pernah kamu pinjam. Diam-diam aku mencuri pandang ke arah pintu kamarmu. Berharap kamu keluar kamar dalam keadaan acak-acakan dan melihat aku duduk manis di depan kamarmu. Dalam setiap kedatangnku ke tempat kosmu, aku selalu berharap bisa bertemu dengan kamu walau sebenernya tujuanku kesana bukanlah bertemu kamu. Aku rasa caci maki wanitamu tak bisa habiskan nyaliku untuk terus memburumu. Aku kira aku masih cukup berani untuk merangsek masuk dalam hidupmu lagi. Bukan sebagai pengacau, tapi sebagai penyejukmu. Ingatkah kamu.. beberapa bulan terakhir aku adalah wanita yang menjadi nyala dalam baramu. Namun seiring padamnya baramu, aku tak lagi kamu anggap ada.
Lama aku menunggu temanmu menginstall software yang akan digunakan untuk mengerjakan tugasku. Dalam diam aku berharap semoga kamu terjaga dan buru-buru datangi kami. Aku tau ini tempat favoritmu untuk habiskan malam. Temanmu bilang, kemarin malam kamu habiskan malam bersamanya di sini. Bukan sebuah kesengajaan, aku butuh earphone untuk menyelesaikan editing audio dan temanmu bilang kalau kamu sudah bangun tidur dengan suka hati kamu akan antarkan earphone itu untuk kami. Buru-buru dia mengetik pesan singkat untuk kamu, berharap kamu bangun, membalas pesan itu, datang kemari, dan bertemu aku. Ah, skenario yang muluk-muluk karena nyatanya pesan singkat yang dia kirim pun tak terkirim. Sungguh.. aku sudah benar-benar kehilangan kamu.
Apa kamu sempat menjadi milikku? Jika tidak, kenapa aku merasa kehilangan kamu ketika kamu putuskan untuk menyenangkan hati wanitamu dan tinggalkan aku? Apa semuanya telah berakhir? Aku ingin melihatmu lagi, tapi aku takut hal itu mengingatkan kamu pada kekhilafan kita waktu itu. Kamu bilang aku harus jauhi kamu tapi aku tak boleh jauhi teman-temanmu, lalu apa yang harus aku lakukan ketika aku bertandang ke kosmu, bertemu kamu, dan mata kita saling bertemu? Apa aku harus bertindak acuh atau aku harus menyapamu dengan sebutan giant seperti dulu? Ah, aku takut.. aku takut kehilangan akal ketika bertemu dengamu lagi. Aku takut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar